martedì 25 novembre 2014

Kiamat: Melihat awan dari atas

Apa yang anda dipikirkan tentang kiamat? Pasti gambarannya tidak bakal jauh-jauh dari berbagai macam bencana dan petaka. Yang muncul dalam pikiran adalah bagaimana lari dari bahaya untuk menyelamatkan diri atau justru sebaliknya, menunggu dengan tenang.
Film 2012 pun menggambarkan akhir dunia ini sedemikian rupa sehingga setiap manusia harus lari dan terus lari menghindarinya. Sepertinya masih ada ruang dan tempat nun jauh di sana yang bisa aman dan terbebas dari dentuman kiamat ini. Strategi untuk bertahan hidup pun mulai dicari.
Pertanyaan tentang kiamat selalu dihidupi tiap generasi. Pengalaman-pengalaman kecil dan sederhana, juga kesulitan hidup yang besar serta beban hidup yang berat..kerap membuat manusia mengalami "sepertinya dunia kiamat" itu dihidupi ketika manusia masih hidup!
Melihat awan dari atas...
menjadi sadar kalau hidup manusia itu terbatas
Setiap orang harus menghadapi akhir hidupnya masing-masing. Segala kemegahan yang telah dibangun akan ditinggalkannya. Segala kekayaan yang telah ditumpuk, akan ditinggalkannya. Segala kehormatan yang telah diraih, akan ditinggalkannya. Segala pengharapan yang disusun satu persatu dalam iman dan kasih akan Yesus Kristus, tidak akan meninggalkannya. Mengapa? Karena inilah cara manusia untuk memahami sejarah dan makna hidup. Kesusahan hidup, penyakit, kemalangan dan penderitaan yang ditanggung tanpa salib Kristus, akan sia-sia dan mencekik manusia.
Apakah dengan datangnya kiamat, seluruh kehidupan manusia menjadi sia-sia? Kitab Wahyu 14,14-19 yang kita renungkan hari ini memberikan sebuah gambaran tentang akhir zaman, seperti Injil Lukas21,5-11. Kalau dikonfrontasikan langsung nubuat ini dengan situasi dunia saat ini... memang sepertinya akhir zaman itu sudah di ambang pintu. TETAPI, jika dibaca secara keseluruhan teks ini, injil tidak menunjukkan waktu persisnya kapan. Mari menyadari bahwa bagi orang katolik, akhir zaman atau kiamat bukanlah sebuah bencana yang menakutkan, melainkan sebuah penantian yang membahagiakan. Bukankah selama ini kita berdoa: Datanglah Kerajaan-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga? Bukankah selama ini kita berdoa kepada Allah agar menciptakan damai dan menegakkan keadilan? Bukankah dalam setiap kesulitan, kita berdoa mohon penyertaan Allah. Jika semua permohonan kita itu terkabul, bukankah justru membuat kita bahagia? Janji yang diberikan oleh Yesus adalah sebuah kepastian, karena Dia sendiri sudah mengalaminya dan sudah menyediakan tempat bagi kita.
Injil tidak menggerogoti ketajaman intelektualitas manusia, tetapi menginspirasinya untuk mencintai Kebenaran, yang menuntut kesanggupan manusia untuk bertindak selaras dengan Injil dan menghidupinya dengan berani. Seseorang yang menaklukkan diri untuk membaca Injil, kehidupannya akan tertransformasi, intelektualitas imannya akan makin tajam, kejelian untuk membedakan Kebenaran dari kepalsuan dan kebenaran semu akan menjadi seperti pedang bermata dua yang amat tajam.
P. Alfonsus Widhi, sx

mercoledì 1 ottobre 2014

Paus Fransiskus: Dayunglah, hendaklah kamu kuat, bahkan dengan angin sakal!




Ini adalah renungan Bapa Paus Fransiskus bagi para Yesuit dalam perayaan vesper di Chiesa del Gesu'. Sebuah refleksi yang sangat mendalam berkaitan dengan perayaan 200 tahun pendirian kembali Serikat Yesus. Menarik bagi saya ketika membaca teks secara keseluruhan, Bapa paus mengambil inspirasi tentang: panggilan Serikat, discernment, perutusan dan pelayanan. 

Saudara-saudara dan para sahabat yang terkasih dalam Tuhan,
....
Kapel St. Fransiskus Xaverius,
dengan reliqui tangan kanannya
di Gereja del Gesu' - Roma
Dalam masa-masa sulit dan pencobaan, selalu muncul awan keragu-raguanan dan penderitaan. Tidak mudah melangkah maju untuk melanjutkan perjalanan. Ada begitu banyak godaan, terutama di masa-masa sulit dan krisis, untuk berhenti dan mendiskusikan ide-ide, membiarkan diri dikuasai oleh kesedihan, memusatkan perhatian pada kondisi yang teraniaya dan tidak melihat cakrawala yang lain. Membaca surat Rm. Ricci, saya tersentuh oleh satu hal: kemampuannya untuk tidak membiarkan diri masuk ke dalam pencobaan ini dan mengusulkan kepada para Yesuit di saat-saat yang sulit ini, suatu cakrawala pandang yang menjadikannya lebih berakar lagi dalam spiritualitas Serikat.
Romo Jendral Yesuit, Rm. Ricci, yang menulis surat kepada para Yesuit, sambil melihat awan menebal di cakrawala, meneguhkan para anggotanya dalam membangun semangat memiliki pada keanggotaan Serikat dan pada perutusannya. Begitulah dia melakukan discernment dalam situasi keragu-raguan dan kekacauan. Dia tidak membuang waktu untuk mendiskusikan ide-ide dan mengeluh, tapi bertanggung jawab atas panggilan dari Serikat. Dia harus menjaganya, dan menjaga tanggung jawab itu.

venerdì 26 settembre 2014

Menyambut Sinode Para Uskup 2014 tentang keluarga

Bagimana kabarnya katekese keluarga? Ini berkaitan dengan pewarisan iman. Pewartaan, perbuatan dan kesaksian iman merupakan tiga aspek yang terwujudnya katekese iman. Pewartaan lahir dari pengalaman iman, perbuatan mengevaluasi kata-kata dan kesaksian iman meneguhkan apa yang diimani dan dihidupi. Keluarga merupakan tempat dimana anak-anak menimba iman dari orang tua. Pewarisan iman dalam keluarga ini  kemudian dilanjutkan dengan pendampingan dari paroki yang menyediakan kursus-kursus untuk pemantapan iman. Setelah menyelesaikan masa katekumenat, katekese umat dilanjutkan dengan katekese persiapan komuni pertama, katekese persiapan penerimaan sakramen penguatan, kursus persiapan perkawinan, hingga kembali lagi ke katekese bagi orang tua yang anaknya akan dipermandikan. Di dalam rentang ini, ditemukan juga berbagai tawaran untuk memperdalam iman seperti aneka kegiatan pertemuan lingkungan, BKSN, bulan Maria, bulan Rosario, kursus pendalaman Kitab Suci, dst.
Letakkanlah sebatang kayu kecil untuk menenangkan air yang bergelombang
letakkanlah salib Kristus untuk menenangkan badai dalam hidup
Instrumentum laboris (Dokumen kerja) Sinode para uskup sedunia tentang keluarga, yang memuat jawaban-jawaban dari konferensi-konferensi wali gereja di seluruh dunia, menggambarkan situasi global katekese keluarga demikian:
(51.) Ada berbagai banyak jawaban yang serupa dari berbagai benua berkaitan dengan persiapan perkawinan. Kami menemukan banyak sekali kursus-kursus di paroki atau di seminari, retret doa untuk pasangan, yang melibatkan baik imam dan volunteer, pasutri yang matang dalam pengalaman hidup berkeluarga sebagai pemrakarsa. Dalam kursus-kursus persiapan perkawinan ini, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah: relasi pasangan, kesadaran dan kebebasan dalam pilihan, pengenalan tugas-tugas sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat dan sebagai umat beriman, pengulangan katekese inisiasi dengan memberi perhatian secara khusus pada sakramen perkawinan serta mendorong keterlibatan pasangan pada kehidupan menggereja di lingkungan dan di masyarakat

giovedì 25 settembre 2014

io Credo?

magari... scrivere questo è inutile. Però, visto che questo video è girato pubblicamente e hanno fatto confusione tra i ragazzi, allora cercavo di scrivere qualche riga.



  1. La religione è composta  fondamentalmente dalla comunità dei credenti, dalla dottrina e dal culto.  Questo serve per organizzare meglio tutti elementi che la compongono. È come un’organizzazione naturale operata da uomo e donna come te e come me. Abbiamo la capacità per farci santi o  peccatori. Questo dipende dalla nostra maturità nel gestire la libertà, il sinonimo della responsabilità. In un periodo, una religione ben organizzata può dare un contributo molto positivo alla società, viz. A volte, la cosa peggiore della società può arrivare proprio dal conflitto all’interno della religione! Ma non dimentichiamo che la qualità della scuola (dove sta la formazione umana), lo stile della formazIone e la società in cui la persona si è inserita, attribuiscono qualcosa alla religione. Magari, prima che qualcuno abbracci una religione, sarebbe meglio che abbia la maturità personale, attinta dalla famiglia.
  2. Dio non è una legenda del passato. Quando parliamo dei nostri cari defunti, questi fanno parte della nostra storia nel passato o la favola soltanto che abbiamo dei dubbi sulla loro storicità?  Erano insieme con noi oppure la loro presenza era un’apparenza sotto la pelle? Qui si tratta della nostra capacità per intendere la realità concreta. La storia di Gesù fa parte della nostra storia. Oltre nel racconto del Vangelo, la possiamo trovare anche nel manoscritto dei romani. Visto che voi siete bravi a leggere wikipedia, allora vi do’ questo indirizzo per leggere un articolo sulla storicità di Gesù nostro Signore. In breve, nel Talmud Babilonia, negli scritti di Giuseppe Flavio, quelli di Giustino di Nablus ecc. Basta comprendere ciò che abbiamo letto, ci fa capire la storicità di un Dio fatto uomo che abita in mezzo a noi.

PIKAT V: Penyegaran Iman Katolik

PIKAT adalah sebuah kegiatan katekese umat yang diberikan oleh Paroki St. Matius Penginjil dan Santa Maria Regina Bintaro. Kegiatan ini berangkat dari sebuah kehausan umat akan adanya katekese berkelanjutan. Banyak orang merasa tidak cukup beriman hanya dengan mengikuti perayaan ekaristi mingguan dan harian. Maka dirasa mendesak untuk membuat sebuah pembelajaran bersama tentang ajaran-ajaran Gereja. 
Selama kursus PIKAT I hingga IV, tema-tema yang disodorkan berkaitan dengan aspek pemberdayaan umat. Mulai dari belajar tentang teknik repat, seni komunikasi, pengetahuan dasar tentang devosi, liturgi, sakramen, magisterium... hingga pikat yang lalu, secara khusus kita berbicara tentang CREDO dlam 23 pertemuan.
Kali ini, bertepatan dengan Sinode para uskup tentang keluarga dan juga berbagai situasi kehidupan keluarga yang ada di Jakarta, kursus Penyegaran Iman Katolik mulai membumi dengan mengikuti arus zaman dan situasi yang sedang menjadi keprihatinan dari Bapak Paus Fransiskus. Tema sakramen perkawinan menjadi topik utama. 
Berikut gambaran sekilas tentang seluk beluk Penyegaran Iman Katolik (PIKAT V) tentang keluarga.

Latar Belakang
  • Sinode para uskup sedunia pada bulan Oktober bertemakan Tantangan-tantangan pastoral tentang keluarga dalam konteks pewartaan
  • Instrumentum laboris dokumen sinode para uskup tersebut menuliskan tiga keprihatinan tantangan pastoral keluarga: krisis iman dalam relasi dengan keluarga, tantangan internal dan eksternal berkaitan dengan realitas keluarga, beberapa situasi sulit terkait dengan budaya individualisme dan ketidakpercayaan pada kestabilan relasi.
  • Rentannya kehidupan berkeluarga berangkat dari krisis iman, mulai dirasakan dalam konteks kehidupan berkeluarga di Jakarta

Menikah = SInkronisasi jam tangan (5)


5) Dari hidup bersama menuju bersama-sama menghidupi keluarga. Perasaan cinta pada pasangan kerap menjadi alasan mengapa seseorang memutuskan untuk mengkekalkan cinta itu dalam ikatan janji perkawinan. Tetapi, ikatan janji perkawinan tidak boleh dibingungkan dengan perasaan spontan mencintai pasangan. Ikatan janji bersifat tetap, sedangkan perasaan seseorang pada pasangan itu bersifat dinamis. Perasaan cinta itu kadang bernyala-nyala seperti api yang membara, kadang juga dingin seperti es  dan menjadi seperti orang asing di rumah sendiri.
Duduk dan ngopi 5 menit besama, bukanlah membuang waktu
Ketika rasa cinta mulai menghilang dan legalitas hukum ikatan janji perkawinan mulai ditekankan, muncul alarm dalam relasi yang tidak bisa ditunda lagi untuk diperhatikan. Nervosisme dalam berelasi mulai muncul dengan memberi jarak mekanisme pembelaan diri pada pasangan dengan misalnya, mencari kambing hitam pada olah raga, pekerjaan, kecapaian, sakit kepala dst.

Menikah = Sinkronisasi jam tangan (4)


4) Tetap berbeda, tetapi saling tergantung. Kita terbiasa melakukan segala sesuatu secara mandiri, sendiri dan dalam kesendirian atau bersama-sama dengan orang lain? Dalam keluarga, beberapa contoh diskusi seperti ini kerap muncul. Misalnya, apakah berpartisipasi dalam doa lingkungan atau latihan koor bersama-sama di lingkungan adalah buang-buang waktu saja? Apakah membawa anak-anak untuk ikut bina iman di wilayah, mendorong remaja untuk ikut kegiatan OMK atau melibatkan diri sebagai volunteer untuk kegiatan-kegiatan di paroki itu tidak baik bagi perkembangan mereka? Bagaimana mengefektifkan komunikasi bagi keluarga yang semuamnya berkarier, dimana waktu efektif untuk bertemu, berkumpul, tinggal bersama dan menghidupi dinamika keluarga minimal hanya tiga sampai empat jam per hari?
Bersama menjunjung
Negosiasi dan dialog dalam keluarga bukanlah sebuah kegiatan teknis atau sebuah kesepakatan semata, melainkan ingin menggarisbawahi dan menjaga ruang privat dan ruang berbagi dalam keluarga. Sampai dimana batas saya sebagai suami / istri dalam relasi dengan pasangan saya. Hal-hal mana yang bisa dan boleh dibagikan, boleh diketahui, boleh diintervensi dan mana yang tidak boleh dan tidak bisa. Ruang dialog adalah dampak dari kesiapsediaan afektif masing-masing untuk saling memberi satu sama lain, atau justru merupakan ungkapan saling ketergantungan satu sama lain untuk menemukan ukuran dan patokan yang sesuai. Logika yang ditawarkan di sini adalah transformasi sikap dasar, dari peneguhan ego hanya saya saja atau hanya kami saja (mungkin juga absah-absah saja) menuju pada ketergantungan satu sama lain yang dipilih hanya karena cinta, untuk cinta dan demi cinta, dengan menghargai dan menerima kondisi pasangan apa adanya; atau, dari sikap mau mendikte pasangan, menuju memahami pasangan.

Menikah = Sinkronisasi jam tangan (3)


3) Pengaruh masa lalu bagi hidup perkawinan. Kadang kita pernah mendengar ungkapan ini: ah, kalau suka ngotot itu mah penyakit turunan! Dia mah mau menang sendiri dan gak mau ngalah! Meskipun dia gak punya apa-apa, tapi kalau ada orang yang minta sesuatu, pasti diada-adakan deh; atau, meskipun dia kelelahan, kalau ada teman yang ngajak pergi, pasti dia pergi! Dia mah cuek mulu.. Dia itu sederhana banget! Kalau bajunya belum sobek, gak mau diganti! Dia itu pendiam, tapi kalau sekali bicara, pasti ada maknanya…
Kerapkali hal ini tidak dapat dipungkiri muncul dalam karakter dan sikap masing-masing pasangan. Variasi sikap dan perangai kita muncul karena pengaruh yang diterima dan terkondisikan secara tidak sadar di masa lampau. Sejauh mana hal itu disadari oleh masing-masing pribadi dalam relasi pasutri baru? Seolah-olah ada sebuah gejala transfer dalam kehidupan kita: cara berpikir, cara merasa dan bertindak di masa lampau itu terungkap secara tidak sadar dalam relasi kita yang sekarang dengan pasangan, dengan orang lain atau dengan peristiwa dan hal-hal di sekitar kita. Maka, PR besar buat pasutri muda adalah menyadari karakter-sikap yang muncul secara otomatis. Perlu dikenal betul asal muasal emosi yang muncul serta reaksi – sikap yang ditimbulkannya.
Banyak jalan menuju ke Roma,
banyak pengalaman kehidupan
para pasangan telah membentuk diri masing-masing
untuk tiba hingga hari ini
Bagaimana hal ini bisa mempengaruhi relasi pasutri muda? Kehidupan baru bersama pasangan bisa merupakan sebuah titik awal, tapi juga titik akhir. Perlu kita ingat bersama bahwa pasangan kita bukanlah sebuah kertas HVS putih, kosong dan halus dimana siapapun bisa menorehkan tinta semaunya. Dalam diri masing-masing pasangan, ada kecenderungan tetap untuk “memaksakan” secara tidak sadar, sebuah situasi seturut dengan gaya hidup yang selama ini dia alami bersama keluarga asalnya, yang dia pandang baik. Setiap orang berelasi dengan orang lain mirip dengan cara berelasi yang terbentuk secara perlahan-lahan di masa lampau. Misalnya, bagaimana saya menyapa orang asing? Apa yang harus saya lakukan jika bersalah? Apa yang saya lakukan ketika saya ingin menang padahal saya sendiri menyadari bahwa saya salah? Apa yang harus saya lakukan ketika ada orang meminta maaf? Bagaimana ungkapan kebahagiaan dan kemarahan saya? Apa yang saya pikirkan dan ingin terapkan dalam keluarga tentang doa bersama, makan bersama, pengaturan keuangan, kesehatan dan pendidikan? Reaksi spontan apa yang muncul di hadapan sebuah peristiwa yang mengagetkan? Dan masih banyak lagi…. Ini mirip dengan mencampur anggur lama bersama dengan anggur yang baru.
Dalam hukum sebab akibat, tekanan timbal balik dari masing-masing pasangan kerap menghasilkan pertentangan kekuasaan atau dominasi dalam keluarga, karena masing-masing bersikukuh akan kebaikan menurut pengalamannya. Tanpa masuk dalam sebuah ketegangan dan mempersalahkan atau membenarkan masa lalu dan sekarang, perlu kita menerima bahwa kepribadian kita dibentuk karena pengaruh lingkungan. Apa yang kita lakukan kepada pasangan dan orang-orang di sekitar kita saat ini, terpengaruh sedikit banyak oleh pengalaman kita di masa lalu, sejak kanak-kanak. Masalahnya bisa bervariasi, tetapi cara menanggapinya bisa serupa, karena dipahami dengan tidak sadar dengan cara serupa di masa lalu. Maka, reaksi yang muncul juga diperkirakan tidak jauh-jauh amat, meskipun situasi sekarang berbeda dengan situasi masa lalu.

Komitmen untuk membuat sebuah kehidupan bersama, kerap diwarnai dengan kerikil-kerikil tajam karena masing-masing mengeluarkan dari ranselnya, pola pikir, gaya hidup dan cakrawala yang lama, yang tidak sesuai dengan pasangannya. Masing-masing menilai pasangannya sesuai dengan apa yang dipikirkan, bukan menurut situasi dan konteks yang sedang dialami pasangannya pada waktu itu dan di situ. Mengetahui hal ini dengan sadar adalah langkah pertama. Berikutnya adalah menyadari sikap kolot masing-masing dengan tersenyum dan sadar bahwa sekarang waktunya untuk berubah dan memikirkan yang terbaik bersama. Ingat, bahtera kehidupan keluarga baru berangkat dari dermaga. Dengan demikian penting sekali mengenal lingkungan sekitar dimana pasangan kita itu hidup, untuk memahami sebab musabab munculnya sebuah reaksi yang mengagetkan kita. Reaksi yang muncul itu hanya penampakan saja, di baliknya, ada sebuah situasi yang membentuknya. Mari kita pahami situasi gunung es di bawah laut itu, karena menikah adalah mensikronkan jam tangan, menyelaraskan kehidupan dua insan.
bersambung....

Menikah = Sinkronisasi jam tangan (2)


2) Satu, tapi dua. Bersatu tapi berbeda. Itulah dinamika sebuah keluarga. Di awalnya berbicara tentang jam pulang kerja, mengobrol tentang situasi di tempat kerja, bicara sedikit tentang  jam berapa mulai tidur, siapa yang mematikan lampu, tidur dengan lampu terang benderang atau dimatikan atau pakai lampu kecil, jam berapa bangun dan makan pagi bersama, siapa yang siapkan makanan, apa yang dilakukan pada hari minggu atau hari libur … Kalau dibuat daftarnya, tentu akan sangat panjang. Dalam dialog ini perlahan kedua partner akan memahami kemampuan individuasi dan persekutuan dari masing-masing pasangan.
Ini matahari sedang terbit atau sedang tenggelam?
Ada dua kutub muncul dalam dialog ini. Di satu sisi adalah tingkat individualitas dan pemahaman tentang perbedaan, serta di sisi lain adalah tingkat persekutuan dan relasi. Dinamika kedua kutub ini menjadi bumbu dalam membangun sebuah keluarga, dalam menciptakan keharmonisan, yang tetap menghargai perbedaan identitas. Dialog mulai sulit ketika masing-masing pasangan kehilangan sudut pandang positif akan yang lain, atau dengan kata lain, hanya melihat bahwa pendapatnya saja yang paling benar dan tidak bisa dikompromikan! Individualisme yang berlebihan ini akan merugikan persekutuan hidup yang telah diputuskan bersama dan sedang dibina dengan pasangan.
Memiliki otonomi pribadi dan tahu menempatkan diri dalam relasi dengan pasangan, merupakan dua garis perkembangan sebelum pernikahan. Akar kematangan kepribadian ada dalam pengalaman dasar sejak masa kecil di keluarga dan segebok pengalaman yang dilaluinya di kemudian hari, memberikan kontribusi untuk makin membentuk atau merapuhkan dia.
Di saat pacaran, mengetahui dengan baik calon pendamping hidup itu sangat penting. Tujuannya agar masing-masing memahami identitas, kematangan kepribadian dan kesanggupannya untuk berbagi, untuk mensinkronkan dua jam tangan yang berbeda, serta tidak berpikir untuk bisa mengubah yang lain. Pribadi yang kurang dewasa dan kurang matang, justru akan memberatkan dirinya sendiri pada saat menjalani hidup perkawinan. Berpikir bahwa bisa merubah yang lain pun harus dimulai dengan perubahan dalam diri sendiri.
Beberapa bahan untuk permenungan bersama:
  • Unsur-unsur dan nilai-nilai apa sajakah yang menjadikan keluarga itu sebuah lembaga khas dan unik?
  • Alasan historis dan sosial apakah yang menjadikan keluarga modern saat ini mengalami kesulitan untuk menentukan identitasnya?
  • Apa yang menjadi isi panggilan dan perutusan keluarga-keluarga katolik di masyarakat dan di Gereja?


Tidak bisa membangun sebuah keluarga tanpa bagasi belaskasih dan iman (E. Schneider)

Menikah = sinkronisasi jam tangan (1)

Menjelang Sinode para uskup seduni tentang keluarga, tergoda keinginan saya untuk memfokuskan perhatian pastoral saya pada tema ini sebagai kerangka dasar dalam beberapa bulan ke depan. Banyak pro dan kontra yang muncul berkaitan dengan tema-tema dan paradigma yang disodorkan oleh sinode. Sebuah artikel tentang kehidupan berkeluarga saya ketemukan di antara tumpukan file lama, dari Paolo Magna, berjudul Oggi Sposi: Sincronizzare gli orologi. Artikel ini diterbitkan tahun 2009 oleh majalah Tredimensioni (6). Membacanya berulang membuat saya berpikir dan mengkonfrontasikannya dengan kehidupan berkeluarga yang ditemui oleh umat paroki di sini khususnya. Benang merah yang dituliskannya pun berbaur dengan kehidupan konkret, maka upaya menterjemahkannya pun tidak bisa lurus apa adanya, melainkan berkarakter inkarnatoris: ada kata dan fakta yang tertoreh di sini. Bagi rekan-rekan pembaca blog ini, selamat membaca dan mari kita membangun pastoral keluarga di tempat dimana kita berada.
Hidup itu kalau penuh dengan dinamika, sangat indah.

Apakah berbicara tentang pernikahan di zaman kita ini, adalah sesuatu yang menakutkan? Apakah ini “kuk” yang harus dipanggul oleh pasangan muda? Perlu disadari bahwa dengan menikah, ada dua jam tangan yang dicocokkan, ada dua ritme kehidupan yang disejajarkan (bukan disamakan!) di bawah satu atap. Ada pergeseran dari cinta romantis dan berkarakter pribadi, menuju pada cinta yang realistik dan sebuah komitmen berbagi bersama. Cinta yang sudah diresmikan dalam ikatan perkawinan ini pun, akan masuk dalam realitas hidup bersama di masyarakat.
Jarang sekali ditemukan fakta bahwa orang memutuskan untuk menikah itu terjadi dua minggu sebelum hari pernikahan! Menikah bukanlah hasil sebuah spontanitas untuk tinggal bersama, tetapi merupakan sebuah tindakan yang direncanakan secara konkrit dan sengaja direncanakan. Bicara soal pacaran, disinilah kita bisa mengevaluasi kualitas pacaran yang baik hingga menuju pada sebuah perkawinan. Tidak hanya yang baik, yang indah, yang romantis saja yang dihidupi bersama-sama, tetapi perlu juga mengenal jatidiri sesungguhnya dari pasangan, yang bersamanya aku akan tinggal seumur hidup! Banyak hal harus diketahui dan dikenal dari pasangan.
Kita patut heran, jika ada salah satu pasangan mengatakan bahwa, ternyata dia bukan yang kukenal selama ini, atau menyesal telah menikah dengannya…, atau menyampaikan litani keluhan tanpa akhir tentang pasangan beberapa saat setelah menikah. Oleh sebab itu, perlu ada beberapa tugas yang harus dilakukan.
1) Melacak jejak. Pasangan harus memiliki kekuatan jelas untuk membatasi daerah privat dan publik yang dimiliki sebagai hasil sebuah perkawinan. Daerah privatnya adalah relasinya dengan pasangan, secara internal, sebagai sebuah keluarga. Anda berdua yang baru menikah, memiliki sebuah tanggung jawab baru, daerah baru dan pasangan baru. Daerah ini harus dilindungi dari setiap “penyusup”. Beberapa penyusup dalam keluarga muda adalah: mertua (orang tua masing-masing pasangan), ritme kerja (selalu pulang malam dan lelah), tekanan ekonomi (kebutuhan membengkak sehingga harus kerja lebih banyak), stress di tempat kerja…ini semua bisa menjadi kerikil-kerikil yang merintangi relasi suami istri sebagai keluarga.
Tentang mertua, bukan berarti memutuskan relasi total dengan keluarga yang baru dibangun, tetapi, perlu mendidik mereka agar memiliki relasi yang baru, yang sejak saat ini, adalah dengan sebuah pasangan keluarga, bukan pertama-tama dengan anaknya sendiri. Bagi mertua, hal ini tidak mudah, terutama bagi keluarga yang protektif. Bagi keluarga protektif ini, anak-anak itu selalu anak-anak, muda dan tidak berpengalaman, untuk menyadari apa artinya membangun sebuah keluarga. Orang tua merasa paling tahu yang terbaik tentang apa yang dibutuhkan oleh anaknya yang sudah menikah. Wacana tentang “kebaikan” menurut mertua dan menurut keluarga baru harus dibicarakan, bukan dikondisikan dan dipaksakan. Pembatasan diri bagi pasangan muda juga tidak mudah, karena mereka merasa selalu perlu bantuan dan merasa tidak bisa dewasa dan harus terikat dengan orang tua. Wacana kemandirian keluarga baru adalah wujud dari kematangan kepribadian dua orang yang mengikat diri dan berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga. Terimakasih kepada orang tua yang sudah melahirkan, mendidik dan membesarkan anak. Sekarang jatah porsinya anak untuk membangun sebuah keluarga. 

mercoledì 28 maggio 2014

Surat Gembala KWI menyambut Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden - 9 Juli 2014

PILIHLAH SECARA BERTANGGUNGJAWAB,
BERLANDASKAN SUARA HATI



Segenap Umat Katolik Indonesia yang terkasih,

Kita bersyukur karena salah satu tahap penting dalam Pemilihan Umum 2014 yaitu pemilihan anggota legislatif telah selesai dengan aman. Kita akan memasuki tahap berikutnya yang sangat penting dan menentukan perjalanan bangsa kita ke depan. Pada tanggal 9 Juli 2014 kita akan kembali memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin bangsa kita selama lima tahun ke depan. Marilah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini kita jadikan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi serta sarana bagi kita untuk ambil bagian dalam membangun dan mangembangkan negeri tercinta kita agar menjadi damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa kita.

Ke depan bangsa kita akan menghadapi tantangan-tantangan berat yang harus diatasi di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang baru, misalnya  masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Masalah dan tantangan lain yang tidak kalah penting adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan lingkungan hidup dan upaya untuk mengembangkan sikap toleran,  inklusif dan plural demi terciptanya suasana rukun dan damai dalam masyarakat. Tantangan-tantangan yang berat ini harus diatasi dengan sekuat tenaga dan tanpa henti. Kita semua berharap semoga di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang akan terpilih, bangsa Indonesia mampu menghadapi, mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah itu.

Kami mendorong agar pada saat pemilihan mendatang umat memilih sosok yang mempunyai integritas moral. Kita perlu mengetahui rekam jejak para calon Presiden dan Wakil Presiden, khususnya mengamati apakah mereka sungguh-sungguh mempunyai watak pemimpin yang melayani dan yang memperjuangkan nilai-nilai sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja : menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warga negara yang kurang beruntung. Kita sungguh mengharapkan pemimpin yang gigih memelihara, mempertahankan dan mengamalkan Pancasila. Oleh karena itu kenalilah sungguh-sungguh para calon sebelum menjatuhkan pilihan.

Agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bisa berjalan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta berkualitas, kita harus mau terlibat. Oleh karena itu kalau saudara dan saudari memiliki kesempatan dan kemampuan, sungguh mulia jika Anda bersedia ikut menjaga agar tidak terjadi kecurangan pada tahap-tahap pemilihan. Hal ini perlu kita lakukan melulu sebagai wujud tanggungjawab kita, bukan karena tidak percaya kepada kinerja penyelenggara Pemilu.

Kami juga menghimbau agar umat katolik yang terlibat dalam kampanye mengusahakan agar kampanye berjalan dengan santun dan beretika, tidak menggunakan kampanye hitam dan tidak menggunakan isu-isu  SARA. Khususnya kami berharap agar media massa menjalankan jurnalisme damai dan berimbang. Pemberitaan media massa hendaknya mendukung terciptanya damai, kerukunan serta persaudaraan, mencerdaskan dan tidak melakukan penyesatan terhadap publik, sebaliknya menjadi corong kebenaran.

Marilah kita berupaya sungguh-sungguh untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan dengan hati dan pikiran yang jernih. Konferensi Waligereja Indonesia menyerukan agar saudara-saudari menggunakan hak untuk memilih dan jangan tidak ikut memilih. Hendaknya pilihan Anda tidak dipengaruhi oleh uang atau imbalan-imbalan lainnya. Sikap demikian merupakan perwujudan ajaran Gereja yang menyatakan, “Hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes 75).

Pada akhirnya, marilah kita dukung dan kita berikan loyalitas kita kepada siapa pun yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014 – 2019. Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada bulan Oktober 2014. Kita menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, menjadi seratus prosen Katolik dan seratus prosen Indonesia, karena kita adalah bagian sepenuhnya dari bangsa kita, yang ingin menyatu dalam kegembiraan dan harapan, dalam keprihatinan dan kecemasan bangsa kita (bdk GS 1).

Marilah kita mengiringi proses pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan memohon berkat dari Tuhan, agar semua berlangsung dengan damai dan berkualitas dan dengan demikian terpilihlah pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia. Semoga Bunda Maria, Ibu segala bangsa, senantiasa melindungi bangsa dan negara kita dengan doa-doanya.


Jakarta, 26 Mei 2014


KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA


+ I. Suharyo (Ketua)
+ Y. Pujasumarta (Sekretaris Jendral)


sabato 24 maggio 2014

Manusia adalah mahluk yang tak cukup diri

Sebuah perkampungan di Thailand
Barangkali inilah yang menjadi alasan mengapa ada system kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Sebuah system yang mengatur kebijakan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik untuk dilakukan. Kehendak untuk berbagi kerap mengiringi sebuah system kehidupan bersama. Dalam sebuah tatanan yang sehat, tema pokok yang kerap dibagikan berkaitan dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dengan merujuk pada ketiga aspek ini, maka beberapa orang berkumpul bersama dan berupaya menjaga dinamika kestabilan kehidupan mereka.
Tidak jarang pula ditemui di sekitar kita sebuah tatanan yang berpikir autarki, karena mengandaikan bahwa masing-masing orang memiliki permasalahannya sendiri-sendiri, masing-masing sanggup memenuhi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan berbagai kemajuan teknologi saat ini, pola pikir demikian bisa makin disuburkan dan bisa juga makin dimiskinkan.
Ketika manusia sudah menemukan daerah nyaman di jejak kehidupannya karena memiliki rumah beserta dengan segala isinya tempatnya berlindung, pekerjaan sebagai sarana mengaktualisasikan diri, status sosial sebagai jalan untuk menempatkan diri dalam tatanan masyarakat dan harta yang menjadi bukti kesuksesan hidupnya, bisa jadi manusia seperti terbentuk menjadi individu autarkis. Segala sesuatu tercukupi, untuk apa bersosialisasi?

venerdì 23 maggio 2014

Tuhan tidak perlu pembela


Tuhanlah Gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka, akan mengikuti aku seumur hidupku dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa (Mzm 23).
Camping musim panas di Arabba, Italia 2007
Gambaran tentang Allah yang dimiliki oleh pemazmur ini mengungkapkan sebuah keyakinan akan kesetiaan Allah dalam berbagai situasi kehidupan manusia. Kata berbagai situasi menggarisbawahi betul-betul apa yang manusia alami setiap hari: jerih payah bekerja dari pagi-pagi buta sampai larut malam, kesuksesan dan kegagalan yang ditemui, permasalahan dan solusi yang didapat untuk membongkar kerumitan problematika hidup, duka dan tawa di hadapan sebuah peristiwa, kegetiran dan kelegaan dalam menghadapi sesuatu… di setiap saat itu, Allah menyertai dan mendampingi dengan setia.
Ada dua permasalahan yang muncul dari figur Allah yang demikian. Pertama, mengapa Allah, Sang Kehidupan, tidak membebaskan saya dari pengalaman getir kehidupan dengan mujijat-Nya dan kedua, Apakah dengan mencintai, maka seseorang itu menunjukkan kelemahannya?
Untuk pertanyaan pertama, kepastian janji Yesus Kristus kepada kita adalah Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman (Mt 28,20). Salib di puncak golgota persis berada di tengah-tengah dua orang lain yang disalibkan bersama Yesus Kristus. Dia bisa membuat mujijat untuk membebaskan diri dari derita dan maut yang mengancam dari salib. Tetapi, itu tidak dilakukan-Nya demi kesetiaan pada setiap ajaran yang Dia sampaikan selama masa hidup-Nya, seperti mencintai, mengasihi musuh, mengampuni dan mendoakan mereka. Orang dewasa tahu bahwa setiap pilihan yang dibuatnya itu mengandung resiko. Jika Yesus telah mengajarkan demikian, maka Dia pun mengambil resiko total dari apa yang sudah diyakini-Nya. Yaitu, bahwa rantai kekerasan harus dipotong dengan pengampunan. Ini sebuah prinsip yang sangat kokoh karena hendak menggarisbawahi kekuatan dan kedigdayaan seseorang itu ternyata tidak diukur dari kemampuannya untuk membalas dendam, tetapi dari kesanggupannya untuk mengendalikan amarah dan ketakutan dalam dirinya.
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah menaklukkan pada dirinya segala sesuatu yang bersifat irasional dan menguasainya dengan bebas serta menurut keteraturannya sendiri. Ketika orang menjadi marah, kalut dan dunia sekitarnya nampak gelap, hampir tidak ada kebebasan dalam dirinya untuk bertindak, karena segala yang dia lakukan itu berdasar pada naluri untuk mempertahankan diri. Entah apa yang dipertahankan. Ini bisa berupa egoisme, harga diri, rasa malu ... yang penting tidak kehilangan muka.
Dengan usaha yang tak kunjung henti, maka dia akan menyadari bahwa hidup yang sungguh-sungguh adalah mencintai. Inilah titik kritis yang menjadi acuan pada jawaban atas pertanyaan kedua. Jika seseorang mencintai dengan tulus dan jujur, apakah dia itu lemah? Kemampuan seseorang untuk sanggup mencintai seperti demikian, kerap dipengaruhi oleh figur tentang Allah yang dia bangun dalam imannya. Anselmus, seorang teolog, filsuf, rahib dan uskup agung Canterbury, berpendapat bahwa iman harus dijalani secara rasional. Tentu saja isi ajaran iman tidak bisa dibantah, tetapi akal budi bisa mendekati kebenaran-kebenaran iman yang tak terbantahkan. Maka, orang beriman pun musti berani mendekati iman secara rasional.
Mengaktualisasikan pemahaman Anselmus, kita ditantang untuk bertanya, apakah orang lain yang tidak memiliki pemahaman figur tentang Allah yang berbeda dengan saya itu harus dilenyapkan? Jika rasionalitas dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan instrumental, maka akan terjadi pemutlakan hal-hal teknis, sehingga petimbangan-pertimbangan moral diabaikan karena proses musti berjalan. Ini paham ideologi yang sangat berbahaya. Jika Anselmus berpendapat bahwa pengertian tentang Allah sebagai sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak bisa dipikirkan ada dalam pikiran, maka musti harus diterima bahwa Dia juga ada di luar pemikiran, yakni dalam realitas - kenyataan. Di sini kita harus berhati-hati! Adanya Allah tidak boleh dimengerti secara empiris saja (seperti ada merpati, harimau, gunung, lautan…). Allah ada baik dalam akal budi, maupun dalam realitas, maupun dalam diri-Nya sendiri.
Jika Jhon Locke, seorang filsuf yang dikenal sebagai bapak liberalisme klasik, menyatakan bahwa keadaan alamiah manusia adalah tiap orang sederajat. Tidak ada otoritas, tidak tunduk siapa-siapa dan di bawah bimbingan akal, maka, siapakah aku sehingga berhak menghentikan kehidupan yang ada dalam diri orang lain? Atas kuasa siapa aku menjalankan hal itu dengan sah? Tidak ada! Hanya Sang Kehidupan yang berhak mengambil lagi kehidupan yang telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Allah tidak perlu seorang pembela sehingga manusia pun bisa mengambil hak Allah untuk mengambil kehidupan sesamanya. Justru hal yang sebaliknyalah yang harus dilakukan, yaitu bahwa manusia menjadi pejuang kehidupan bagi sesamanya. Dengan melakukan ini dia akan menjadi seorang pecinta. Dia mencintai orang lain, bukan karena fungsi utilitarisme, kegunaannya bagi saya, tetapi karena menyadari kualitas jati diri sebagai sesama mahluk ciptaan Allah.
Jebakan muncul ketika manusia terkotak-kotak dalam institusi agama. Dalam agama, pedoman untuk hidup baik dapat ditemukan dalam perintah-perintah Allah. Di sini, agama berusaha menjamin hidup bermoral berdasar keyakinan bahwa Allah adil: memberi surga untuk yang baik dan neraka untuk yang tidak baik. (Paham tentang keadilan Allah ini diperbarui oleh Yesus Kristus dan akan kita bicarakan di bagian lain). Jika hakekat moralitas adalah bagaimana hidup baik, maka agama mana yang dapat menjadi dasar moralitas yang benar? Jika agama menjadi dasar hidup bermoral, bagaimana orang yang tidak beragama atua beragama hanya di KTP dan tidak mempraktekkannya, ternyata kok bisa juga menampilkan hidup bermoral? Bagaimana agama-agama yang berbeda dapat tiba pada penilaian moral yang sama dalam banyak hal? Ini menandakan bahwa moralitas tidak mengandaikan agama. Sekat-sekat yang memisahkan institusi agama tidak bisa membatasi nilai-nilai moral.
Kesanggupan untuk mencinta dan membela kehidupan adalah karakter dari orang yang memiliki visi yang kokoh tentang Allah, manusia dan ciptaan. Hingga suatu saat nanti pun, ketika kita memahami jati diri Allah adalah demikian, semoga kebajikan dan kemurahan Allah saja lah yang akan mengikuti kita seumur hidup kita dan semoga... kita pun akan diam di dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

P. Alfonsus Widhi, sx

venerdì 4 aprile 2014

SURAT GEMBALA KWI MENYAMBUT PEMILU LEGISLATIF 2014

 
 
Saudara-saudari, segenap umat Katolik Indonesia yang terkasih,

Bangsa kita sedang bersiap diri menyambut Pemilu legislatif untuk memilih DPR, DPD dan DPRD yang akan diselenggarakan tanggal 9 April 2014. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Pemilu menjadi peristiwa penting dan strategis karena merupakan kesempatan memilih calon legislatif dan perwakilan daerah yang akan menjadi wakil rakyat.

Hak dan Panggilan Ikut Serta Pemilu
Warga negara yang telah memenuhi syarat berhak ikut menentukan siapa yang akan mengemban kedaulatan rakyat melalui Pemilu. Mereka yang terpilih akan menempati posisi yang menentukan arah dan kebijakan negeri ini menuju cita-cita bersama, yaitu kesejahteraaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, selain merupakan hak, ikut memilih dalam Pemilu merupakan panggilan sebagai warga negara. Dengan ikut memilih berarti Anda ambil bagian dalam menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Penting disadari bagi para pemilih untuk tidak saja datang dan memberikan suara, melainkan menentukan pilihannya dengan cerdas dan sesuai dengan hati nurani. Dengan demikian, pemilihan dilakukan tidak asal menggunakan hak pilih, apalagi sekedar ikut-ikutan. Siapa pun calon dan partai apa pun pilihan Anda, hendaknya dipilih dengan keyakinan bahwa calon tersebut dan partainya akan mewakili rakyat dengan berjuang bersama seluruh komponen masyarakat mewujudkan cita-cita bersama bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah calon legislatif macam apa yang mesti dipilih dan partai mana yang mesti menjadi pilihan kita.

Kriteria Calon Legislatif
Tidak mudah bagi Anda untuk menjatuhkan pilihan atas para calon legislatif. Selain karena banyak jumlahnya, mungkin juga tidak cukup Anda kenal karena tidak pernah bertemu muka. Para calon legislatif yang akan Anda pilih, harus dipastikan bahwa mereka itu memang orang baik, menghayati nilai-nilai agama dengan baik dan jujur, peduli terhadap sesama, berpihak kepada rakyat kecil, cinta damai dan anti kekerasan. Calon legislatif yang jelas-jelas berwawasan sempit, mementingkan kelompok, dikenal tidak jujur, korupsi dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan tidak layak dipilih. Hati-hatilah dengan sikap ramah-tamah dan kebaikan yang ditampilkan calon legislatif hanya ketika berkampanye, seperti membantu secara material atau memberi uang. Hendaklah Anda tidak terjebak atau ikut dalam politik uang yang dilakukan para caleg untuk mendapatkan dukungan suara. Perlulah Anda mencari informasi mengenai para calon yang tidak Anda kenal dengan pelbagai cara. Demi terjaga dan tegaknya bangsa ini, perlulah kita memperhitungkan calon legislatif yang mau berjuang untuk mengembangkan sikap toleran dalam kehidupan antarumat beragama dan peduli pada pelestarian lingkungan hidup. Pilihan kepada calon legislatif perempuan yang berkualitas untuk DPR, DPD dan DPRD merupakan salah satu tindakan nyata mengakui kesamaan martabat dalam kehidupan politik antara laki-laki dan perempuan, serta mendukung peran serta perempuan dalam menentukan kebijakan dan mengambil keputusan.

Kriteria Partai Politik
Kita bersyukur atas empat kesepakatan dasar dalam berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Kita percaya bahwa hanya dengan mewujudkan keempat kesepakatan tersebut, bangsa ini akan mampu mewujudkan cita-citanya. Oleh karena itu, dalam memilih partai perlu memperhatikan sikap dan perjuangan mereka dalam menjaga keempat kesepakatan tersebut. Hal yang penting untuk menjadi pertimbangan kita adalah partai yang memiliki calon legislatif dengan kemampuan memadai dan wawasan kebangsaan yang benar. Partai yang memperjuangkan kepentingan kelompoknya apalagi tidak berwawasan kebangsaan, hendaknya tidak dipilih.

Pengawasan atas Jalannya Pemilu
Setiap warga negara diharapkan ikut memantau dan mengawasi proses dan jalannya Pemilu. Pengawasan itu bukan hanya pada saat penghitungan suara, melainkan selama proses Pemilu berlangsung demi terlaksananya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil). Kita perlu mendorong dan memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang dengan cermat mengikuti dan mengritisi proses jalannya Pemilu. Hendaknya Anda mengikuti secara cermat proses penghitungan suara bahkan harus terus mengawasi pengumpulan suara dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten agar tidak terjadi rekayasa dan kecurangan.

Pemilu yang Aman dan Damai
Amat penting bagi semua warga masyarakat untuk menjaga Pemilu berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, damai dan berkualitas. Jangan sampai terjadi kekerasan dalam bentuk apapun, baik secara terbuka maupun terselubung, karena bila sampai terjadi kekerasan maka damai dan rasa aman tidak akan mudah dipulihkan. Perlu tetap waspada terhadap usaha-usaha memecah belah atau mengadu domba yang dilakukan demi tercapainya suatu target politik. Bila ada sesuatu yang bisa menimbulkan kerawanan, khususnya dalam hal keamanan dan persatuan ini, partisipasi segenap warga masyarakat untuk menangkalnya sangat diharapkan.

Calon Legislatif
Para calon legislatif, kami hargai Anda karena tertarik dan terpanggil terjun dalam dunia politik. Keputusan Anda untuk mempersembahkan diri kepada Ibu Pertiwi melalui jalan itu akan menjadi kesempatan untuk berkontribusi secara berarti bahkan maksimal bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Karena itu, tetaplah memegang nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta tetap berjuang untuk kepentingan umum dengan integritas moral dan spiritualitas yang dalam. Anda dipanggil dan diutus menjadi garam dan terang!

Saudara-saudari terkasih,

Ikutlah memilih. Dengan demikian Anda ikut serta dalam menentukan masa depan bangsa. Sebagai umat beriman, marilah kita mengiringi proses pelaksanaan Pemilu dengan doa memohon berkat Tuhan, semoga Pemilu berlangsung dengan damai dan berkualitas serta menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar memperhatikan rakyat dan berjuang untuk keutuhan Indonesia. Dengan demikian cita-cita bersama, yaitu kebaikan dan kesejahteraan bersama semakin mewujud nyata.

Semoga Bunda Maria, Ibu segala bangsa, senantiasa melindungi bangsa dan negara kita dengan doa-doanya.

Jakarta, Januari 2014

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA

Mgr. Ignatius Suharyo
Ketua
 
Mgr. Johannes Pujasumarta Sekretaris Jenderal
 
disadur dari Mirifica News

sabato 4 gennaio 2014

Doa tahun pelayanan 2014

Bapa kami di surga,
kami bersyukur karena Kau pilih kami
untuk hidup bersaudara,
saling berbagi dan melayani.

PutraMu Yesus Kristus
bersedia mengambil rupa seorang hamba.
Cinta kasih-Nya agung dan mulia.
Ia rela wafat di kayu salib
untuk melayani keselamatan umat manusia.

Bimbinglah kami dengan Roh KudusMu
agar kami bertekun mewujudkan ajaran-Nya:
supaya kami lebih suka melayani, bukan dilayani;
supaya kami berbelarasa bagi yang menderita;
supaya kami melayani dengan tulus dan gembira

Tuntunlah kami
agar mampu berbagi harta, talenta, waktu dan tenaga,
untuk mewujudkan pelayanan penuh kasih
bagi sesama yang lemah, kecil, miskin, dan tersisih.

Bunda Maria, Bunda kami,
doakanlah kami agar makin mampu melayani,
diresapi semangat pelayanan PutraMu sendiri.

Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami.
Amin.

 

Lettura d'oggi

Friends