mercoledì 28 maggio 2014

Surat Gembala KWI menyambut Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden - 9 Juli 2014

PILIHLAH SECARA BERTANGGUNGJAWAB,
BERLANDASKAN SUARA HATI



Segenap Umat Katolik Indonesia yang terkasih,

Kita bersyukur karena salah satu tahap penting dalam Pemilihan Umum 2014 yaitu pemilihan anggota legislatif telah selesai dengan aman. Kita akan memasuki tahap berikutnya yang sangat penting dan menentukan perjalanan bangsa kita ke depan. Pada tanggal 9 Juli 2014 kita akan kembali memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin bangsa kita selama lima tahun ke depan. Marilah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini kita jadikan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi serta sarana bagi kita untuk ambil bagian dalam membangun dan mangembangkan negeri tercinta kita agar menjadi damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa kita.

Ke depan bangsa kita akan menghadapi tantangan-tantangan berat yang harus diatasi di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang baru, misalnya  masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Masalah dan tantangan lain yang tidak kalah penting adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan lingkungan hidup dan upaya untuk mengembangkan sikap toleran,  inklusif dan plural demi terciptanya suasana rukun dan damai dalam masyarakat. Tantangan-tantangan yang berat ini harus diatasi dengan sekuat tenaga dan tanpa henti. Kita semua berharap semoga di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang akan terpilih, bangsa Indonesia mampu menghadapi, mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah itu.

Kami mendorong agar pada saat pemilihan mendatang umat memilih sosok yang mempunyai integritas moral. Kita perlu mengetahui rekam jejak para calon Presiden dan Wakil Presiden, khususnya mengamati apakah mereka sungguh-sungguh mempunyai watak pemimpin yang melayani dan yang memperjuangkan nilai-nilai sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja : menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warga negara yang kurang beruntung. Kita sungguh mengharapkan pemimpin yang gigih memelihara, mempertahankan dan mengamalkan Pancasila. Oleh karena itu kenalilah sungguh-sungguh para calon sebelum menjatuhkan pilihan.

Agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bisa berjalan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta berkualitas, kita harus mau terlibat. Oleh karena itu kalau saudara dan saudari memiliki kesempatan dan kemampuan, sungguh mulia jika Anda bersedia ikut menjaga agar tidak terjadi kecurangan pada tahap-tahap pemilihan. Hal ini perlu kita lakukan melulu sebagai wujud tanggungjawab kita, bukan karena tidak percaya kepada kinerja penyelenggara Pemilu.

Kami juga menghimbau agar umat katolik yang terlibat dalam kampanye mengusahakan agar kampanye berjalan dengan santun dan beretika, tidak menggunakan kampanye hitam dan tidak menggunakan isu-isu  SARA. Khususnya kami berharap agar media massa menjalankan jurnalisme damai dan berimbang. Pemberitaan media massa hendaknya mendukung terciptanya damai, kerukunan serta persaudaraan, mencerdaskan dan tidak melakukan penyesatan terhadap publik, sebaliknya menjadi corong kebenaran.

Marilah kita berupaya sungguh-sungguh untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan dengan hati dan pikiran yang jernih. Konferensi Waligereja Indonesia menyerukan agar saudara-saudari menggunakan hak untuk memilih dan jangan tidak ikut memilih. Hendaknya pilihan Anda tidak dipengaruhi oleh uang atau imbalan-imbalan lainnya. Sikap demikian merupakan perwujudan ajaran Gereja yang menyatakan, “Hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes 75).

Pada akhirnya, marilah kita dukung dan kita berikan loyalitas kita kepada siapa pun yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014 – 2019. Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada bulan Oktober 2014. Kita menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, menjadi seratus prosen Katolik dan seratus prosen Indonesia, karena kita adalah bagian sepenuhnya dari bangsa kita, yang ingin menyatu dalam kegembiraan dan harapan, dalam keprihatinan dan kecemasan bangsa kita (bdk GS 1).

Marilah kita mengiringi proses pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan memohon berkat dari Tuhan, agar semua berlangsung dengan damai dan berkualitas dan dengan demikian terpilihlah pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia. Semoga Bunda Maria, Ibu segala bangsa, senantiasa melindungi bangsa dan negara kita dengan doa-doanya.


Jakarta, 26 Mei 2014


KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA


+ I. Suharyo (Ketua)
+ Y. Pujasumarta (Sekretaris Jendral)


sabato 24 maggio 2014

Manusia adalah mahluk yang tak cukup diri

Sebuah perkampungan di Thailand
Barangkali inilah yang menjadi alasan mengapa ada system kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Sebuah system yang mengatur kebijakan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik untuk dilakukan. Kehendak untuk berbagi kerap mengiringi sebuah system kehidupan bersama. Dalam sebuah tatanan yang sehat, tema pokok yang kerap dibagikan berkaitan dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dengan merujuk pada ketiga aspek ini, maka beberapa orang berkumpul bersama dan berupaya menjaga dinamika kestabilan kehidupan mereka.
Tidak jarang pula ditemui di sekitar kita sebuah tatanan yang berpikir autarki, karena mengandaikan bahwa masing-masing orang memiliki permasalahannya sendiri-sendiri, masing-masing sanggup memenuhi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan berbagai kemajuan teknologi saat ini, pola pikir demikian bisa makin disuburkan dan bisa juga makin dimiskinkan.
Ketika manusia sudah menemukan daerah nyaman di jejak kehidupannya karena memiliki rumah beserta dengan segala isinya tempatnya berlindung, pekerjaan sebagai sarana mengaktualisasikan diri, status sosial sebagai jalan untuk menempatkan diri dalam tatanan masyarakat dan harta yang menjadi bukti kesuksesan hidupnya, bisa jadi manusia seperti terbentuk menjadi individu autarkis. Segala sesuatu tercukupi, untuk apa bersosialisasi?

venerdì 23 maggio 2014

Tuhan tidak perlu pembela


Tuhanlah Gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka, akan mengikuti aku seumur hidupku dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa (Mzm 23).
Camping musim panas di Arabba, Italia 2007
Gambaran tentang Allah yang dimiliki oleh pemazmur ini mengungkapkan sebuah keyakinan akan kesetiaan Allah dalam berbagai situasi kehidupan manusia. Kata berbagai situasi menggarisbawahi betul-betul apa yang manusia alami setiap hari: jerih payah bekerja dari pagi-pagi buta sampai larut malam, kesuksesan dan kegagalan yang ditemui, permasalahan dan solusi yang didapat untuk membongkar kerumitan problematika hidup, duka dan tawa di hadapan sebuah peristiwa, kegetiran dan kelegaan dalam menghadapi sesuatu… di setiap saat itu, Allah menyertai dan mendampingi dengan setia.
Ada dua permasalahan yang muncul dari figur Allah yang demikian. Pertama, mengapa Allah, Sang Kehidupan, tidak membebaskan saya dari pengalaman getir kehidupan dengan mujijat-Nya dan kedua, Apakah dengan mencintai, maka seseorang itu menunjukkan kelemahannya?
Untuk pertanyaan pertama, kepastian janji Yesus Kristus kepada kita adalah Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman (Mt 28,20). Salib di puncak golgota persis berada di tengah-tengah dua orang lain yang disalibkan bersama Yesus Kristus. Dia bisa membuat mujijat untuk membebaskan diri dari derita dan maut yang mengancam dari salib. Tetapi, itu tidak dilakukan-Nya demi kesetiaan pada setiap ajaran yang Dia sampaikan selama masa hidup-Nya, seperti mencintai, mengasihi musuh, mengampuni dan mendoakan mereka. Orang dewasa tahu bahwa setiap pilihan yang dibuatnya itu mengandung resiko. Jika Yesus telah mengajarkan demikian, maka Dia pun mengambil resiko total dari apa yang sudah diyakini-Nya. Yaitu, bahwa rantai kekerasan harus dipotong dengan pengampunan. Ini sebuah prinsip yang sangat kokoh karena hendak menggarisbawahi kekuatan dan kedigdayaan seseorang itu ternyata tidak diukur dari kemampuannya untuk membalas dendam, tetapi dari kesanggupannya untuk mengendalikan amarah dan ketakutan dalam dirinya.
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah menaklukkan pada dirinya segala sesuatu yang bersifat irasional dan menguasainya dengan bebas serta menurut keteraturannya sendiri. Ketika orang menjadi marah, kalut dan dunia sekitarnya nampak gelap, hampir tidak ada kebebasan dalam dirinya untuk bertindak, karena segala yang dia lakukan itu berdasar pada naluri untuk mempertahankan diri. Entah apa yang dipertahankan. Ini bisa berupa egoisme, harga diri, rasa malu ... yang penting tidak kehilangan muka.
Dengan usaha yang tak kunjung henti, maka dia akan menyadari bahwa hidup yang sungguh-sungguh adalah mencintai. Inilah titik kritis yang menjadi acuan pada jawaban atas pertanyaan kedua. Jika seseorang mencintai dengan tulus dan jujur, apakah dia itu lemah? Kemampuan seseorang untuk sanggup mencintai seperti demikian, kerap dipengaruhi oleh figur tentang Allah yang dia bangun dalam imannya. Anselmus, seorang teolog, filsuf, rahib dan uskup agung Canterbury, berpendapat bahwa iman harus dijalani secara rasional. Tentu saja isi ajaran iman tidak bisa dibantah, tetapi akal budi bisa mendekati kebenaran-kebenaran iman yang tak terbantahkan. Maka, orang beriman pun musti berani mendekati iman secara rasional.
Mengaktualisasikan pemahaman Anselmus, kita ditantang untuk bertanya, apakah orang lain yang tidak memiliki pemahaman figur tentang Allah yang berbeda dengan saya itu harus dilenyapkan? Jika rasionalitas dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan instrumental, maka akan terjadi pemutlakan hal-hal teknis, sehingga petimbangan-pertimbangan moral diabaikan karena proses musti berjalan. Ini paham ideologi yang sangat berbahaya. Jika Anselmus berpendapat bahwa pengertian tentang Allah sebagai sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak bisa dipikirkan ada dalam pikiran, maka musti harus diterima bahwa Dia juga ada di luar pemikiran, yakni dalam realitas - kenyataan. Di sini kita harus berhati-hati! Adanya Allah tidak boleh dimengerti secara empiris saja (seperti ada merpati, harimau, gunung, lautan…). Allah ada baik dalam akal budi, maupun dalam realitas, maupun dalam diri-Nya sendiri.
Jika Jhon Locke, seorang filsuf yang dikenal sebagai bapak liberalisme klasik, menyatakan bahwa keadaan alamiah manusia adalah tiap orang sederajat. Tidak ada otoritas, tidak tunduk siapa-siapa dan di bawah bimbingan akal, maka, siapakah aku sehingga berhak menghentikan kehidupan yang ada dalam diri orang lain? Atas kuasa siapa aku menjalankan hal itu dengan sah? Tidak ada! Hanya Sang Kehidupan yang berhak mengambil lagi kehidupan yang telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Allah tidak perlu seorang pembela sehingga manusia pun bisa mengambil hak Allah untuk mengambil kehidupan sesamanya. Justru hal yang sebaliknyalah yang harus dilakukan, yaitu bahwa manusia menjadi pejuang kehidupan bagi sesamanya. Dengan melakukan ini dia akan menjadi seorang pecinta. Dia mencintai orang lain, bukan karena fungsi utilitarisme, kegunaannya bagi saya, tetapi karena menyadari kualitas jati diri sebagai sesama mahluk ciptaan Allah.
Jebakan muncul ketika manusia terkotak-kotak dalam institusi agama. Dalam agama, pedoman untuk hidup baik dapat ditemukan dalam perintah-perintah Allah. Di sini, agama berusaha menjamin hidup bermoral berdasar keyakinan bahwa Allah adil: memberi surga untuk yang baik dan neraka untuk yang tidak baik. (Paham tentang keadilan Allah ini diperbarui oleh Yesus Kristus dan akan kita bicarakan di bagian lain). Jika hakekat moralitas adalah bagaimana hidup baik, maka agama mana yang dapat menjadi dasar moralitas yang benar? Jika agama menjadi dasar hidup bermoral, bagaimana orang yang tidak beragama atua beragama hanya di KTP dan tidak mempraktekkannya, ternyata kok bisa juga menampilkan hidup bermoral? Bagaimana agama-agama yang berbeda dapat tiba pada penilaian moral yang sama dalam banyak hal? Ini menandakan bahwa moralitas tidak mengandaikan agama. Sekat-sekat yang memisahkan institusi agama tidak bisa membatasi nilai-nilai moral.
Kesanggupan untuk mencinta dan membela kehidupan adalah karakter dari orang yang memiliki visi yang kokoh tentang Allah, manusia dan ciptaan. Hingga suatu saat nanti pun, ketika kita memahami jati diri Allah adalah demikian, semoga kebajikan dan kemurahan Allah saja lah yang akan mengikuti kita seumur hidup kita dan semoga... kita pun akan diam di dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

P. Alfonsus Widhi, sx

Lettura d'oggi

Friends