domenica 16 dicembre 2012

Berkatekese di dunia digital

Aspek kebudayaan merupakan faktor sentral di dalam evangelisasi. Di dalam kebudayaan benua keenam, internet menawarkan berbagai fasilitas yang mempercepat sebuah proses komunikasi dan tindakan yang terpisah jarak, ruang dan waktu. Pemakaian internet mendorong –mau atau tidak mau– sebuah kreativitas di dalam tindakan dan interaksi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dari sudut pandang katolik, tidak cukup sebuah relasi horisontal antar users. «Jika tidak ruang untuk Kristus, tidak ada ruang untuk manusia seutuhnya».

Inilah budaya digital yang mewarnai awal milenium ketiga. Bagaimanakah hal ini disikapi oleh para pewarta injil – para katekis, dalam mengemban tugas pewartaannya dan sekaligus menemukan perannya? Bagian pertama makalah ini hendak membuat foto analisis situasi makro dari benua keenam di awal milenium ketiga. Berikutnya adalah sebuah inspirasi kritis mengenai peranan para pewarta injil – para katekis dalam konteks.

1. MENGENALI SITUASI AWAL MILENIUM III
1.1 Membaca konteks
Apa yang kita ketahui dari gejala teknologi – internet di lingkungan dimana kita tinggal? Berbicara tentang situasi di dalam keluarga, di dalam pergaulan anak-anak muda, di dalam gereja, di tempat kerja atau di kota Jakarta, gejala apa yang mulai menyodok dan membuat perbedaan kehidupan sosial, bila kita mau membandingkan Jakarta sekarang dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu?
Dalam konteks global, ditemui bahwa lebih dari 3 miliar penduduk dunia memiliki minimal satu applikasi jaringan sosial (Fb, Twitter, Blog dll). Sebuah survey menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota berpopulasi terpadat dalam dunia Facebook . Aplikasi ini paling banyak diminati karena memiliki berbagai macam program yang menjawab kebutuhan dasar manusia untuk berkomunikasi: jaringan pertemanan, membuat acara, mengirim pesan pribadi, menulis status, melihat dan berkomentar pada profil lain dst. Maka, tidak mengherankan bila sekitar 500 juta users Fb: sekitar 50% membuka Fb tiap hari dan 700 billion menit dilewatkan orang per bulan di Fb, 20 juta aplikasi diinstal per hari dan 250 juta orang berinteraksi tiap hari.
Dalam skala yang lebih kecil, situasi sosial keluarga saat ini mengalami banyak perubahan dengan situasi dua puluh atau bahkan sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana pendapat anda tentang beberapa pertanyaan berikut?
+ Apakah anda sering mengirim pesan natal dan paskah secara otomatis lewat HP?
+ Apakah anda, salah satu anggota keluarga atau orang lain, merasa lebih bebas berekspresi di sosial media atau di keluarga?
+ Apakah anda lebih merasakan persahabatan dan komunikasi dalam dunia maya lebih mudah dari pada real?
+ Up date berita terkini anda peroleh dari mana? Bagaimana anda memilah-milah informasi yang credible?
+ Apakah anda sering menjumpai permasalahan dalam keluarga-keluarga muda, berkaitan dengan dinamika berelasi yang berubah? Apakah ada orang tua yang merasa ketinggalan dan kehilangan sesuatu dalam proses pendampingan anak?

Masih ada banyak butir yang bisa diperdalam berkaitan dengan dampak kehadiran berbagai sarana teknologi di dalam dunia modern. Semakin terasa bahwa teknologi mentrasformasi keberadaan manusia. Tidak hanya kabel dan listrik yang terbingkai dan menghasilkan sesuatu yang berubah, melainkan juga pengguna dari teknologi ini mengalami sebuah proses perubahan struktur dasar.
Maka, ide dasar evangelisasi dalam dunia digital itu membaca (berangkat dari) pergulatan manusia katolik dalam proses peziarahan historis-kontekstual. Peran katekis (pewarta) dalam pewartaan (teks) Injil tidak bisa lebas dari konteks (dunia) dimana dia berada.

1.2 Memahami dunia digital teknologi
Untuk memahami benua keenam ini, kita bisa mulai dengan beberapa pertanyaan untuk menuntun sebuah refleksi:
+ Apakah selama ini penggunaan media tradisional seperti majalah, buletin, radio dan televisi, telah menggerakkan dinamika kehidupan beriman seluruh umat? Apakah sarana ini terus makin berkembang, berubah, ditinggalkan dan atau diperbarui seiring perkembangan zaman? Gaya berkomunikasi di sini cenderung satu arah. Proses dialog atau komunikasi bilateral atau komunal memerlukan waktu.
+ Apakah dengan munculnya platform media sosial yang baru, seperti blog, Facebook, Twitter, pinterest, Path… membuat anda berpikir tentang peran media dalam aktivitas pewartaan – katekese? Satu hal yang patut disimak dalam penggunaan Web 2.0 ini adalah transformasi gaya berkomunikasi. Di sini ada sebuah relasi dinamis dalam dialog, perdebatan, diskusi dari bawah ke atas, dari pelosok ke pusat. Siapapun yang memegang social media, akan mendapat informasi dan reaksi dalam waktu yang real.
Di sinilah letak transformasi dari Web 1.0 (majalah, buletin, radio dan televisi) ke Web 2.0 (blog, Facebook, Twitter, pinterest, Path) dimana metode berkomunikasi mulai diperbaharui. Beberapa kebaruan itu adalah:
+ Waktu, jarak dan tempat menjadi relatif
+ Segala teknik dan praktek untuk menciptakan sesuatu dan membagikan hasil kreativitas secara online. Berbagai variasi di sosial media: jejaring sosial, blog, forum, microblogging, video sharing.
+ Identitas berlipat ganda: seorang user bisa menjadi konsumen dan produsen sekaligus.
+ Status semua penghuni: user. Di areopagi semua ada! Kredibilitas dalam dunia real tidak bisa ditransfer secara otomatis dalam dunia maya. Dalam hal ini, yang berteriak lebih keras bisa menguasai publik lebih banyak? Berkaitan dengan hal ini, permasalahan pokok tidak menyangkut soal kompleksitas teknologi, melainkan mentalitas dan logika dari users yang ada dibalik monitor. Maka, seseorang yang memberanikan diri untuk masuk dalam benua keenam ini ditantang untuk berani memberikan alasan dari “kebenaran” yang dia pegang, dia imani dan dia bagikan. Di sini ada sebuah bayangan krisis pemaknaan, ketidak percayaan pada autoritas atau berbagai bentuk hirarki (termasuk di dalamnya hirarki kebenaran?). Dengan semakin tersebarnya jaringan sosial, maka ketidakpercayaan ini bisa menjadi sebuah mentalitas the digital native.

1.3 Refleksi kritis
Membaca dan merefleksikan realitas baru ini, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkaitan dari sudut pandang berkatekese dalam konteks. Pertama, dunia internet merupakan sebuah dunia kaotik dan berbudaya sendiri. Segala sesuatu bisa ditemukan. Untuk memasukinya, ada etika ber-ada, berpikir, bertindak dan berelasi yang masih belum terkodifikasi secara resmi. Masing-masing komunitas online memiliki kodenya sendiri. Demikian juga Gereja, memberikan petunjuk etika berinternet dari sudut pandangnya sendiri.
Kedua, penggunaan sosial media memiliki banyak strukturisasi dari koneksi ke relasi atau dari level informatif ke level formatif. Apakah memiliki teman 5000 orang di Facebook membuat anda menjadi tenar dan amat bersahabat dalam dunia real? Belum tentu. Aringa pertemanan ini bisa menjadi pelampiasan egocentrik network. Berada dalam kontak pertemanan belum menjamin berada dalam relasi. Kerap kali yang muncul sebagai kriteria berkawan adalah dominasi dan kombinasi interest personal, emosi subyektif (narsisisme, individualisme). Maka, berkaitan dengan koneksi – relasi, bisa dipertajam pertanyaan yang muncul dalam jaringan sosial sebagai berikut: apakah network merupakan dunia relasi atau dunia orang kesepian?
Berkaitan dengan transisi level informatif ke formatif, kita bisa menganalasis bagaimana kita menerima dna memilah-milah berita yang muncul. Apakah informasi yang anda terima di internet membantu anda untuk membentuk – memformasi diri anda untuk menjadi orang katolik yang dewasa dalam konteks? Apakah semua informasi itu bisa diterima kebenarannya dan dicek validitasnya? Apakah ada perang ideologi dibalik informasi dari surat kabar – news online yang kita terima?
Ketiga, benua keenam menawarkan sebuah struktur kemanusiaan yang baru seperti keinginan untuk selalu omnipresent – hadir dimana-mana dan dalam tempo yang real, identitas ganda dalam berbagai profil yang dibuat atau dalam aplikasi yang diikuti, pemaknaan terhadap waktu yang relatif serta pembedaan realitas real dan imajiner . Apakah di rumah baru ini, para saksi iman, katekis, pewarta menemukan sebuah areopagus baru (Kis 17,22)?
Hal ini bisa ditelaah dengan mendalami bahwa dunia internet menawarkan: bukan program atau aplikasi, tetapi hasrat keinginan (buku, film, teman, musik, group…). Program yang ada merupakan sebuah struktur layanan dan bukan ikatan “sense of belonging”. Setelah satu aplikasi dirasa kurang keren dan berkembang, users akan mencari program lain yang lebih menjawab hasrat yang muncul dalam dirinya. Para users memiliki banyak kebebasan untuk lebih mencari “rumahku” daripada “rumah Allah”.
Apakah mungkin berbicara tentang resiko di sini? Resiko berpastoral dalam dunia maya selalu ada. Berangkat dari unsur-unsur pokok evangelisasi yaitu pewarta, sarana dan inti pewartaan, kita bisa melihat bahwa absennya salah satu aspek ini akan mengurangi efektivitas pewartaan.
Ketika penggunaan platform baru disertai dengan mentalitas tradisional, maka sarana teknologi akan dianggap sebagai strumentum saja. Resiko yang muncul adalah merelativisir subjek yang ada di belakang pengguna teknologi. Akibatnya, struktur manusia dari the digital native, budaya baru yang dimilikinya, karakter personal, cara berpikir, bertindak dan berada sebagai putra putri Allah yang dihidupi itu tidak tersentuh. Bahasa yang berbeda dalam penyampaian pesan injil akan membuat isinya kurang produktif. Di sisi lain, kekayaan aplikasi yang ditawarkan oleh berbagai kemajuan teknologi akan direduksi. Paling banter adalah penghematan waktu dan proses yang dipercepat.
Ketika kematangan pribadi manusia itu kurang seimbang, manusia itu sendiri bisa terjebak pada strumentalisasi teknologi modern untuk memperbesar ke-aku-an dan ke-egois-an pribadi. Pada saat bersamaan, dia akan memanipulasi lingkungan. Kontribusi kedewasaan ini nampak dalam pilihan-pilihan yang dia buat dan dalam metode yang dia gunakan untuk bertindak dalam dunia online. Apakah dalam berpastoral, dia juga mempertimbangkan isi yang disampaikan, subyek yang menjadi tujuan pewartaan dan sarana yang dia pilih untuk memaksimalkan evangelisasi ini?
Ketika agen evangelisasi tidak sanggup membaca tanda-tanda zaman, gejala perubahan sosial yang muncul, permasalahan yang mengambang di udara, maka, resiko yang muncul adalah kontekstualisasi pesan injil di dalam konteks lokal. Orang akan terjebak pada permainan teori dan hukum beragama dari pada proses pembinaan hidup beriman yang dewasa. Oleh sebab itu, perjumpaan autentik, semangat untuk mencintai keheningan, kehendak untuk membuat foto dari situasi dan mengkontemplasikan itu semua dalam terang Injil merupakan upaya yang amat dianjurkan agar evangelisasi yang kita buat itu seiring dengan pesan yang Allah kehendaki untuk disampaikan kepada umat-Nya.

2 PERAN KATEKIS: PERTOBATAN KARYA PASTORAL DALAM KONTEKS
Bagaimana menginkulturasikan iman di era digital? Ini adalah sebuah tantangan pembaharuan katekese di milenium ketiga. Dengan dunia digital, kita dituntut untuk mengkodifikasikan kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam hati manusia 2.0. Saat ini orang mencari Allah di dalam platform yang baru. Bahasa yang dipakai juga berubah.
Para imam kerap menggarisbawahi hal seperti ini: ketika anak-anak dan kaum muda yang melewatkan banyak waktu di internet itu belajar katekismus atau ikut misa, mereka memiliki gaya bahasa yang berbeda. Maka, saling tidak memahami itu amat wajar. Di sinilah pentingnya membentuk para katekis-katekis baru. Katekismus pun hendaknya dipikirkan kembali berkaitan dengan metode dan penyampaian. Karakter dialogis dan partisipatif mulai ditekankan untuk mengimbangi karakter social media. Maka, yang diusung bukanlah sebuah penyampaian informasi – bahan katekese, melainkan mengelaborasi informasi – bahan katekese sehingga terintegrasi dalam proses pembinaan iman dan menjadi bagian dari diriku sendiri. Tumbuh di sini rasa memiliki pada katekese.
Apakah sekarang waktunya untuk menteror para katekis agar merubah dan mentransformasi metode berkatekesenya? Perlu bertindak dengan bijaksana. Kantor-kantor pastoral keuskupan atau paroki hendaknya mulai memperkenalkan dan menjelaskan teknologi baru atau era digital dimana kita tinggal sekarang. Dengan demikian, bisa diharapkan munculnya katekis-katekis baru di masa depan. Kemudian, perlu juga kolaborasi efektif antar paroki – antar generasi.
Ini mengingat bahwa katekese merupakan kegiatan pastoral utama dalam evangelisasi Gereja. Sinode evangelisasi di Roma menunjukkan keseriusan Gereja untuk menghadapi dan menyikapi tantangan dunia modern. Maka, persoalan katekese, tidak hanya dihadapi oleh para katekis, melainkan oleh para jajaran petinggi Gereja sampai di dalam lingkup internasional juga! Budaya digital berkembang, sambil mentransformasi seluruh aspek kehidupan manusia. Dampaknya: struktur manusia berubah, metode untuk menangkap realitas berubah, gaya komunikasi berubah. Akhirnya, gaya hidup pun berubah.
Iman tidak menjadi autentik dan katekese tidak menjadi efektif jika keduanya tidak mengambil resiko untuk membenamkan diri dalam konteks sosial yang sedang terjadi. Mengabaikan dunia digital berarti menutup diri pada tiap kemungkinan evangelisasi dalam budaya modern.
Maka yang dibutuhkan adalah pertobatan dan pembentukan proyek pastoral kontekstual.

2.1 Pertobatan pastoral
Mengingat bahwa tugas katekese pertama-tama adalah membentuk sebuah mentalitas injili kepada umat yang dilayani. Maka, mentalitas yang perlu dibangun adalah sebuah pembinaan kehidupan beriman. Misalnya, tidak hanya kursus persiapan komuni pertama, krisma, perkawinan agar bisa mengikuti liturginya saja, melainkan membentuk mentalitas katolik sesuai tuntutan pada masing-masing tahap. Menjadikan masa persiapan ini sebagai bagian dari pembinaan iman yang terintegrasi dengan kehidupan. Kalau tidak, semua hanya buang-buang waktu saja!
Langkah pertama adalah pertobatan budaya. Pertobatan ini tidak menyentuh aspek pribadi saja, melainkan komunitas secara bersama-sama. Paroki pun didesak untuk mentransformasi fisionominya. Tentu saja dituntut untuk terus menjadi komunitas yang menjaga relasi personal, karya kasih yang nampak, pertemuan pembinaan langsung dan juga pelayanan sakramen.
Tidak hanya itu saja, paroki didesak untuk membuka diri pada dunia digital lewat: situs internet, post elektronik, jejaring sosial (Facebook, Twitter), perpustakaan online … mempertemukan umat untuk bersikap kritis juga tentang media dan pesan-pesannya. Jika generasi the digital native terus berbicara dalam bahasa yang orang tuanya tidak memahami, maka, Gereja akan kehilangan mereka dalam waktu yang pendek di masa depan. Dalam hal ini perlu pendampingan pada orang tua, guru dan agen pendidik agar mereka memahami bahasa dan budaya baru di awal milenium ketiga ini.
Namun kita bisa juga bertanya, apakah Gereja hadir di dalam dunia digital? Bagaimana berbicara tentang Allah kepada manusia milenium III? Dalam budaya baru ini perlu discernment. Tidak semua yang berembel-embel katolik muncul dalam dunia digital adalah valid dan sejalan dengan finalitas Gereja. Tema-tema religius hendaknya diolah dengan kompetensi, dengan sensibilitas dan profesionalitas yang autentik. Diantara beberapa gelintir orang katolik yang hadir dalam dunia maya, sering ditemukan religius, suster, imam, seminaris, bruder juga. Ketiadaan kontrol secara ketat bukanlah merupakan garansi bagi kebebasan berekspresi. Namun, tidak seorang pun punya hak untuk berbicara atas nama Gereja, bila tidak diberi kuasa oleh Gereja sendiri . Maka perlu dibedakan antara posisi dan ajaran Gereja dengan opini personal.
Berikut ada beberapa situs yang mencoba menghadirkan nilai-nilai injili di dalam era digital.

Seputar Vatikan
+ http://www.vatican.va/phome_it.htm
+ http://www.news.va/en
+ http://www.romereports.com/

Berdialog dengan imam / religius
+ http://www.pretionline.it/

Bahan pastoral
+ http://www.siticattolici.it/Segnalazioni_Varie/Siti_Personali/Blog/
+ http://catholicbloggersnetwork.blogspot.com/
+ http://www.bloguerosconelpapa.org/
+ http://www.micromedia.unisal.it/ (untuk pastoral)
+ http://www.maranatha.it/ (untuk pastoral)
+ http://www.qumran2.net/index.php (untuk pastoral)
+ http://www.testimonidigitali.it/ (pastoral online)
+ http://www.vangelodelgiorno.org/main.php?language=IT
+ http://www.comepraytherosary.org/ (pastoral doa dari Tanah Suci)
+ http://it.lourdes-france.org/tv-lourdes/ (on line dari Lourdes)
+ http://www.cuoreimmacolato.it/MIR.asp (on line dari Medjugorje)

2.2 Proyek pastoral
Setiap proyek pastoral hendaknya mempertimbangkan relasi antara bahasa iman dan bahasa baru dalam dunia digital. Teknik-teknik modern bukanlah semata-mata sarana komunikasi, kecanggihan teknologi, melainkan sebuah budaya baru yang masih mengambang di udara dan hendaknya ditangkap dan didefinisikan. Maka dalam ha lini, metode pastoral tradisional membutuhkan kreativitas untuk masuk dalam dunia angkatan digital yang lahir dengan HP di bawah bantal.
“Gereja mempertimbangkan kehadiran sarana-sarana komunikasi modern sebagai pemberian dari Allah, sejauh sarana-sarana tersebut di dalam rencana Kehendak Ilahi, terarah untuk mempersatukan manusia di dalam ikatan persaudaraan. Dengan demikian, sarana-sarana tersebut menjadi sumbangan bagi rencana karya keselamatan-Nya”.
Beberapa aspek berkatekese di era digital:
+ Mensinergikan pengalaman iman dengan budaya digital
+ Memahami bahasa baru dan menelaah dampaknya dalam situasi gereja domestik
+ Mengintegrasikan media dengan katekese di milenium ketiga dimana inti pewartaan tetap sama, namun metode dan cara berkatekese berbeda.
+ Membentuk tim pastoral yang terintegrasi. Dalam hal ini, misalnya perlu juga kerjasama antar seksi di dalam paroki sehingga tercipta sebuah sinergi. Oleh sebab itu, hendaknya dikenali para pewarta iman yang baru di dalam proses evangelisasi Gereja. “Setiap orang dipanggil dengan namanya masing-masing, dalam keunikan dan kekhasannya di dalam sejarah kehidupan pribainya, untuk memberikan kontribusi bagi kedatangan kerajaan Allah. Tidak ada talenta, bahkan yang paling kecil dan sederhana sekalipun, yang boleh disembunyikan dan ditelantarkan (bdk. Mt 25,24-27)”.
+ Jika dimungkinkan, mendesak sebuah pastoral antar paroki, di dalam sebuah jaringan.

Kemendesakan katekese ini makin ditunjang oleh kehidupan frenetik kita semua yang seolah-olah membawa kita pada budaya kekafiran, yang menjadi konteks kehidupan umat katolik di Gereja Perdana. Apakah di era digital ada sebuah kebudayaan tanpa Allah? Kita memerlukan kecerdasan akal budi dan hati yang berakar pada kontemplasi wajah Allah Bapa dan Putera-Nya yang berinkarnasi dan tinggal diantara kita.
Dengan demikian, katekese di era digital tidak bisa terlepas dari konteks digital yang menaungi manusia. Penggunaan berbagai macam teknologi hendaknya dilihat dalam cakrawala kontekstual, tidak hanya dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi – informasi, melainkan juga menempatkan user-user yang terkoneksi sebagai subyek baru dengan budaya dan bahasa baru dalam ber-ada, berpikir dan bertindak. Maka dengan pembabtisan dan tugas yang kita terima sebagai saksi dari Kristus yang bangkit, kita dipanggil untuk mengenvangelisasi dunia digital beserta penduduk di dalamnya. Kita semua dipanggil untuk menjadi saksi pengharapan. Sebuah pengharapan, yang meski dalam kesulitan, itu tetap ada dan harus diwartakan.

Makalah didedikasikan untuk seminar mantan mahasiswa kataketik Universitas Atmajaya Jakarta
15 Desember 2012
P. Alfonsus Widhi, sx

martedì 4 dicembre 2012

L'annuncio del Vangelo e la cultura


 
Dal 4 dicembre 2012, è aperto al pubblico il Museo d'Arte Cinese ed Etnografico dei Missionari Saveriani a Parma. Questo museo fa parte della storia della missione dei missionai saveriani, incontrando le persone di altre cultura e altre religioni dai secoli precendeti fino ad oggi. Si racconta un po' la loro storia, il loro modo di vivere, la ricchezza naturale e culturale che salvaguardano l'ambiente, la persona e tutto il creato.
Ciò che possiamo riflettere è quale sia il valore superiore della cultura del Vangelo, incontrando le varie culture del mondo? Il Vangelo porta con sè la distruzione di tutto ciò che è bello e affascinante nelle culture di altre continenti?
La risposta è negativa. Il Vangelo non elimina, ma rispetta, purifica e illumina tutto questo. Egli accoglie la Verità seminata nel cuore di tutte le persone, trasforma la loro vita, indicando Cristo come il compimento di tutto ciò che aspettiamo... di tutto ciò che speriamo.
Il cuore della missione è l'umiltà per confrontarsi e per cercare la Verità, la fedeltà alla Parola rivelata in Gesù Cristo e la disponibilità di essere trasformato per Lui, con Lui e in Lui. Penso che l'apertura del museo d'Arte Cinese ed Etnografico ci mandi questo messaggio.. proprio all'inizo dell'avvento.
 
p. alfonsus widhi sx
missionario saveriano - Jakarta 

giovedì 29 novembre 2012

Spiritualità della città / spiritualitas kota

è da quasi un anno che sono rientrato in Indonesia. Sento ancora il battito del cuore della bellezza dello studio che ho terminato a Roma un po' più di un anno. Infatti, finora il ritmo di vita è sempre quello... non ci sono tanti cambiamenti. Ero a Roma con 4 milioni di abitanti... adesso a Jakarta, ci sono più di 10 milioni abitanti.... il ritmo della vita frenetica si trova anche qui. La pazzia per il traffico tremendo, la pioggia che porta i problemi con i viaggiatori dei moto-motorini, il tempo breve per la famiglia, il tempo perso per viaggiare ecc. Insomma, la dinamica del vivere in città mi fa riflettere sulla spiritualità della città. Di che cosa si tratta dal punto di vista evangelico?
 
La spiritualità della città è legata al modo di vivere la vita in comunione. Così lo stare insieme con gli altri apre una strada per condividere il principio, il fondamento e il punto di orientamento della vita di ciascuno. Di conseguenza, l’aspetto comunitario della città restringe una vita privata separata dai muri e sviluppa la bellezza della condivisione.
p. alfonsus widhi
misionaris xaverian
 
Spiritualitas kota terkait dengan sebuah gaya hidup dalam kebersamaan. Maksudnya, tinggal bersama orang lain membuka sebuah jalan untuk saling berbagi juga prinsip dan dasar kehidupan, maupun hal- hal yang menjadi orientasi pokk dalam kehidupan. Jika hal ini terus dihidupi, kita bisa berharap bahwa aspek komuniter dari kehidupan di kota bisa makin menekan sebuah kehidupan privat yang dipisahkan oleh dinding-dinding yang tinggi... dan semakin bisa mengembangkan sebuah semangat saling membagi, layaknya dalam sebuah keluarga.
p. alfonsus widhi
misionaris xaverian

martedì 20 novembre 2012

Orang katolik Palestina berseru.....

Apakah yang merupakan gema dari sebuah perseteruan saudara? Seringkali di dalam keluarga ada sebuah perkelahian antara kakak dan adik, yang sebetulnya bermula dari permasalahan amat sederhana. Namun, karena tidak ada rasa saling mengalah dan mencari menangnya sendiri, biasanya perkelahian kecil-kecilan tidak terhindarkan. Boleh dikatakan bahwa inilah perkelahian berdasar cinta kasih... coba saja ditanya sama orang-orang dewasa yang punya banyak saudara. Bagaimana komentarnya bila diingatkan pada sebuah periode ribut-ribut di masa kecil? Mungkin... itulah memoria paling indah di masa kecil untuk saling mengenal.
Namun, ternyata ribut-ribut soal kecil ini bisa membawa efek lain, yaitu dendam kesumat yang bisa tersimpan berhari-hari, bertahun-tahun, bahkan ratusan tahun hingga berabad-abad. Kapan selesainya perseteruan itu? Apakah dendam bisa diwariskan hingga 400 tahun? hingga ribuan tahun?
Situasi apa yang menciptakan iklim kondusif bagi rasa saling mendendam ini? Apakah motif keagamaan, motif kesukuan, motif kekayaan, motif industri seperti penjualan senjata, motif politik... Ah... seandainya masing-masing orang memiliki kerendahan hati, semangat melayani dan mengampuni seperti Claudette Habesch ini.
Dia orang katolik palestina. Dia menyadari bahwa tidak mungkin diteruskan pertumpahan darah. Musti ada rasa mengampuni.. kalau tidak, korban akan terus berjatuhan, termasuk anak-anak kecil ini. Rupanya, dunia sudah tidak pantas lagi untuk menerima kesucian dan kekudusan mereka. Rupanya banyak orang sudah dipenuhi dengan amarah, dengan dendam... sehingga tidak sanggup lagi menerima sebuah senyuman anak-anak kecil ini sebagai berkat kehidupan.
Inilah cuplikan dari wawancara antara Benedetta Capelli dari Radio Vaticana dan Claudette Habesch dari Caritas di Yerusalem. Bagi saya pesan yang dibawa cukup kuat. Semoga menjadi inspirasi kita untuk sanggup mengampuni.

Saya orang palestina. Saya bangga dengan identitas ke-palestinian saya. dan saya katolik, lahir di tanah suci. saya orang katolik dari  Gereja induk dan saya sangat bangga dengan kekatolikan saya. Namun tidak boleh dilupakan bahwa kami adalah satu bangsa yang unik; bahka kita orang katolik menjadi bagian terintegrasi dari populasi orang palestina. Apa yang menimpa saudara saya muslim, menimpa juga saya yang katolik dan menimpa seluruh bangsa palestina. Kita sebagai orang katolik, kita memiliki sebuh peran khusus, yaitu menwartakan pesan Kristus, pesan cinta kasih dan pengampunan. Itulah motivasi yang mendorong kita sekarang untuk melakukan pelayanan tanpa diskriminasi apapun, karena kita semua adalah anak-anak Allah.

alfonsus widhi sx
misionaris xaverian

venerdì 16 novembre 2012

St. Agostino: Riposo

mio confratello Andrea, adesso è un missionario in Mozambico 
 
Il riposo, è il fine  a cui tende la creazione e il suo compimento. E noi siamo artefici con Dio di questa pienezza. Di conseguenza, il riposo è il tempo liberato, è un anticipo del riposo escatologico. È la fine senza fine. (Agostino: sermone IX, 3)
è vero che il riposo è un momento non-efettivo, non-produttivo? A volte si pensa che il riposo è un momento libero, facoltativo, un periodo di non far niente e perciò non si produce nulla! C'è sempre la tensione tra lavorare e riposare. Però, ricordiamoci che il riposo è un periodo difficilmente da passare perchè in esso, l'uomo deve conquistare se stesso!
Buon riposo...
 

Jakarta Blogger's Meeting

Foto A. Costalonga, sx
kehidupan di atas batu
Pada tanggal 15 Desember akan menjadi hari bersejarah dalam kehidupan umat katolik di Jakarta - Indonesia. Hari ini adalah hari di mana penduduk katolik-digital di jakarta bertatap muka di keuskupan. Tak tahulah apa yang akan terjadi! Yang penting untuk didukung adalah keinginan untuk menjadi saksi Kristus sepenuhnya di internet.
Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk melihat, menempatkan diri dan membaca tanda-tanda zaman. Hal ini diterjemahkan dengan bertemu secara langsung mereka yang aktif di dalam kehidupan digital, mengetahui harapan dan kebutuhan mereka, untuk mengetahui alasan atau keraguan untuk menggunakan teknologi, menenun sebuah jaringan relasi dan pada akhirnya, mencoba untuk terus menampilkan diri dengan kolaborasi yang lebih baik untuk dapat hadir, bersaksi dan berevangelisasi di dalam dunia digital.
Melihat bahwa ini adalah pertemuan langkah pertama ... maka, ketika komsos KAJ meminta saya untuk sharing pengalaman dalam dunia digital, saya mengusulkan beberapa tema berikut:
Pertama, menyadari perubahan yang luar biasa di Jakarta karena pengaruh teknologi. Mereka yang hadir pada pertemuan ini sangat beragam. Saya pikir kita perlu memiliki titik pijak yang serupa untuk menyadari bahwa struktur manusia berubah. Dalak keluarga pun ada sebuah transformasi relasi did alam komuntias kecil ini. Sering orang tua berkata: anak-anak zaman sekarang lain dari zaman kita dulu! Rupanya, bukan satu atau dua keluarga saja yang mengalami ini... bahkan masyarakat pun bergerak menuju budaya hidup yang baru.
Kedua, realitas dunia online adalah perluasan identitas mereka. Tema kedua ini adalah sebuah proses penyadaran bahwa jati diri manusia itu makin diperluas dengan alat komunikasi yang selalu online di tangan. Kodifikasi orang dengan nomor seri HP, judul blog atau label digital lainnya adalah perangkap yang sangat besar dari transformasi identitas manusia ke identitas digital. Lalu, kita bisa bertanya, Apakah orang di belakang di layar adalah sebuah pribadi manusia? Apakah dimungkinkan sebuah komunitas online dalam dunia digital?
Ketiga, menyadari bahwa di depan kita ada masa transisi. Internet tidak lagi alat komunikasi tetapi merupakan sebuah fenomen budaya baru, yang benar-benar baru dan berbeda. Di sini kita memiliki waktu yang lama ke depan untuk membahas dan menganalisis secara perlahan fenomena ini. Refleksi dan permenungan ini masih perlu selalu membaca tanda-tanda yang mengubah cara tampil jatidiri kita sebagai manusia maupun sebagai pengikut Kristus. Betul-betul kita sekarang berada pada sebuah realitas perbatasan milenium!
Akhirnya, sebagai penutup adalah sebuah sharing pengalaman tukar pikiran dan relasi di dunia online. Misalnya, Vatican Blogger Meeting satu hari setelah beatifikasi Paus Yohanes Paulus II, lalu beberapa kegiatan dari Blogueros con el papa, testimoni digitali, evangelización catolica,   katalogisasi situs-blog di italia oleh Francesco Diani, ada juga cathopedia yang ingin menjadi sarana teologis, tetapi pastoral untuk umat Tuhan. 
Berbagai realitas ini membuat saya berpikir ... benar-benar, kita bisa mengambil langkah kecil, namun konstan, - bahkan pada level dunia atau untuk memimpin dunia -, untuk memperkuat kesaksian katolik kita di dalam internet.
Untuk alasan ini, saya ingin mengajak teman-teman yang terlibat dalam jaringan, agar mau berbagi pengalaman, menulis atau mengirim pesan ke pertemuan kami di Jakarta, yang bagi kami ini adalah sebuah langkah awal, sebuah tunas yang kami harap akan tumbuh dan berkembang.
p. alfonsus widhi sx
misionaris xaverian

Jakarta Blogger's Meeting

Foto di A. Costalonga, sx a Marmolada
la vita sulla roccia
 

Il 15 dicembre saràun giorno storico nella storia dell’anno della fede a Jakarta – Indonesia. è ungiorno in cui gli abitanti digitali si incontrano faccia a faccia in salone del vescovado. Chissà cosa accadrà! La cosa importante da sostenere è la voglia per diventare testimoni di Cristo in modo pieno, avendo la tecnologia a portata di mano.
L’obiettivo di questo incontro è vedere, collocare e leggere i segni dei tempi. Cioè, incontrare gli abitanti digitali, sapere le loro speranze ed esigenze, sapere il motivo o il dubbio per utilizzare la tecnologia,  intrecciare le reti di relazione come il primo passo per costruire qualcosa e alla fine, cercare di continuare una collaborazione migliore per presentarsi come testimoni ed evangelizzare nella rete.
Visto che questo incontro è proprio di primo passo… allora, quando l’ufficio della comunicazione sociale della diocesi mi ha incaricato per condividere la presenza nella rete e raccontare un po’ la presenza cattolica di vari gruppi che si impegnano nella rete, penso di proporre qui alcuni temi:
Primo, conoscere il cambiamento notevole in Jakarta a causa dell’influsso della tecnologia. Quelli che sono presenti in questo incontro sono vari. Credo che bisogna avere una base di partenza comune, rendersi conto che anche il modo di relazionarsi nella famiglia sta cambiando. Poi, questa famiglia non vive il cambiamento da solo, ma anche le altre famiglie e la società si sta muovendo verso una nuova cultura di vita.
Secondo, la realtà del mondo on-line è un’espansione della propria identità. Vorrei sottolineare in questo secondo punto che siamo tutti raggiungibili, avendo uno strumento di comunicazione sempre accesso. Codificare la persona come una serie di numero è una trappola molto larga. È possibile rendere persona l’immagine dietro lo schermo?
Terzo, di fronte a noi c’è un periodo di transizione. L’internet non è più uno strumento ma è una nuova cultura. Qui abbiamo un lungo tempo per discutere e per analizzare pian-piano, leggendo sempre i segni che trasformano il nostro modo di essere. Siamo proprio sulla frontiera del millennio?
Ultimo, è raccontare alcuni eventi fatti nel mondo della rete. Ho partecipato il Vatican Blogger Meeting un giorno dopo la beatificazione del papa Giovanni Paolo II. Ho seguito felicemente, solo per citare alcuni movimenti come quelli di Blogueros con el papa, la rete di testimoni digitali  e di evangelizacioncatolica.org.. … Mi attrae in modo in cui si cataloga dei siti e blog di Francesco Diani anche. Poi mi attira attenzione il progetto di cathopedia che vuol diventare uno strumento teologico, ma pastorale per il popolo di Dio. Poi ci sono vari modi di presenza in altri strumenti di social media che mi fanno pensare… davvero, possiamo fare un piccolo passo, ma costante – anche al livello mondiale o per guidare il mondo – per fortificare la nostra testimonianza cristiana nella rete.
Per questo, vorrei invitare gli amici impegnati nella rete, per condividere la vostra esperienza, per scrivere o mandare un messaggio al nostro incontro a Jakarta, che è per noi proprio un piccolo passo d’inizio.
p. alfonsus widhi, sx
missionario saveriano

mercoledì 7 novembre 2012

Testi spirituali - Teks bacaan rohani

Questa pagina ci propone uno strumento meraviglioso. Quando ho aperto per la prima volta teologia spirituale.it, mi sembrava di sognare! è incredibile che qui si può incontrare i testi antichi tradotti anche in varie lingue. Quei testi non sono semplicemente i prodotti dell'antichità cristiana, ma rivela soprattutto l'esperienza di fede dei singoli. e comunitari..... e a partire da questa amicizia con Dio, tante persone sono ispirate a crescere nella sequela del Signore, nella santità fondata sull'incarnazione di Cristo e nelle relazioni sociali con il prossimo. Ringrazio tantissimo ai direttori di questa pagina. è davvero un aiuto molto importante, sopratutto per noi che ci troviamo lontani geograficamente dalle fonti molto preziosi per il nostro cammino di fede. Buona lettura.

Halaman ini memberikan kepada kita sebuah sarana yang amat berharga. Ketika pertama kali saya membuka teologia spirituale.it, seolah-olah bermimpi rasanya. Karena apa? Karena di sini ditemukan berbagai sarana luar biasa dan amat berguna untuk memperkaya khasanah bacaan rohani kita. Memang sih tidak ada terjemahan bahasa indonesia.Namun, dari beberapa teks yang ada, halaman ini tidak hanya menyajikan sebuah produk antik dai zaman kuno, melainkan menyingkap sebuah pengalaman iman personal dan komuniter. Para penulisnya pun menunjukkan kualitas relasi perhabatan yang mereka jalin dengan Allah. Maka, banyak orang terinspirasi untuk berkembang dalam sequela Kristus, dalam upaya bertumbuh dalam kesucian berdasar inkarnasi Kristus dan dalam relasi dengan sesama. Terimakasih banyak pada para pengelola situs ini. Sungguh merupakan sebuah sumbangan yang amat berharga, terutama bagi kami yang tinggal jauh secara geografis dari sumber-sumber tradisi tertulis iman kita. Selamat membaca.

p. alfonsus widhi sx
postulat misionaris xaverian
Bintaro - Indonesia

sabato 3 novembre 2012

Kapel Sistina - Sistine Chapel

Inilah salah satu tempat bersejarah di dalam dinamika kehidupan Gereja katolik universal. Di tempat ini lahirlah pemimpin-pemimpin yang menyuarakan pengharapan bagi dunia. Mereka yang terpilih di tempat ini pun dipanggil untuk terus setia pada perutusan mereka. Di dalam kesetiaan itulah dunia terus terbantu untuk mengayunkan langkahnya dalam menyambut fajar dan hari baru dengan iman, harapan dan kasih. Kini, kita bisa menikmati keindahannya lewat dunia cyber... tentu rasanya akan lain jika kita mendapat kesempatan secara fisik untuk hadir di tengah ini, mengagumi keindahan karya seni.. yang ternyata tidak terbatas pada sebuah goresan tinta di dinding, namun lukisan-lukisan itu menyuarakan sesuatu yang lebih: cermin keindahan Allah di dalam dunia. Bila anda berkenan, silahkan membuka situs ini untuk mengkontemplasikan keindahannya.
 
Questa sala è una tra tanti luoghi sparsi nel mondo che racconta la dinamicità della vita della Chiesa univesale. In essa è nata tantissimi responsabili che parlano della speranza per il mondo. Coloro che sono stati scelti in questo posto sono chiamati ad essere fedeli al loro mandato, al mandato di Cristo stesso che, inviando gli apostoli, ha detto: Andate in tutto il mondo e predicate il vangelo!
Fedeli a questo mandato, il mondo è stato aiutato in vari modi per accogliere i nuovi giorni con una nuova speranza in Cristo, che dia la luce ogni giorno.
Grazie allo sviluppo della tecnologia che ci permette adesso di contemplare la bellezza dei dipinti di questa sala. Quei colori raccontano non soltanto una storia, ma soprattutto una esperienza di fede.
alla fine, vi invito a condividere la mia gioia di aver trovato questa pagina, per contemplare la bellezza della fede in Cristo raccontata nei dipinti.
Buona domenica,
P. Alfonsus widhi sx
postulantato-noviziato dei missionari saveriani
jakarta - Indonesia

Model-model evangelisasi alternatif - kontekstual (01)

 
Gimana sih caranya ngewartakan Yesus Kristus pada manusia-manusia zaman sekarang? Kayaknya repot dan nambah kerjaan dech…. Boro-boro mikirin mo ngewartakan, orang kita beriman aja bernafas senèn kemis.. hahahaa…. Tapi klo dipikir-pikir, emang da rasa kewajiban juga sih, soalnya si Boss besar yang suruh kite-kite untuk mewartakan Injil-Nya sampai ke penjuru dunia. Buat tiap orang dan tiap generasi katolik pokoknya sama! Gak ada lebih kurangnya. Karena gak berubah-ubah gitu kali ya yang bikin selalu baru dan aktual. Lho.. katanya sama dari dulu.. mana aktualnya? Dah karatan kali… eh, itu kan pikiran elo! Kalo guè bilang, aktualnya dan barunya itu adalah trendnya yang berkembang tiap zaman. Kreativitas dari masing-masing actor untuk buat metode yang yahut dalam skenario situasi sosial yang menginterpelasi Gereja pada periode tertentu. Bukannya kita musti kreatif juga buat kasih alasan yang tepat tentang pengharapan yang terus kita bawa dalam kristus. Wah.. klo dah diskusi serius gini, mana guè tahan!!!!
Baik… ini cuman sebagai pembuka buat satu seri di blog ini untuk bicara soal model-model evangelisasi alternatif – kontekstual. Kayak yang jalan ketiga, yang alternatif itu khan lagi ngetrend zaman ini to… makanya, guè gak mau ketinggalan pake yang alternatif kayak ginian. Tapi, sebenernya sih, ini paper yang sudah diseminarkan pada extension course teologi di STF Driyarkara. Cuman bahasanya beda kali ya.. mungkin juga karena blog, kita pake gaya bahasa yang sederhana kali ya… biar situ gak pusing-pusing amat.
Makanya, untuk bantú kite-kite semua. Inti paper ini mau tetep menjaga kebaruan dan aktualitas gaya kita sebagai saksi iman pada Yesus. Kalau diri dah bisa bertobat, itu dah bagus dech….. paling tidak buat ngebuktiin pada temen-temen, sodare sodara di tempat kita hidup, bekerja, beranak cucu… dan sapa tahu, ada diantara kite-kite yang mau mengkopi surat Paulus pada jemaat di Filipus: bagiku, hidup adalah kristus dan mati adalah keuntungan. Baik matinya dia dan hidupnya dia, itu tetap berbicara dan meneguhkan iman banyak orang…. Ceile… kerèn amat!!!
Tapi ati-ati ye…. Klo baca seri ini, jangan sampe terjebak pada mencari metode doang dan lupa, klo mewartakan isinya!!! Wah, ini mah gak kerèn lagi namanya… makanya, ntar seri yang bagian pertama itu, kita akan menjernihkan istilah-istilah yang sering kita pakè. Lalu… beberapa seri akan meliat struktur dunia dan manusia yang alternatif dan kontekstual. Manusia alternatif itu yang gimana yak? Kita tunggu…. Lalu dalam seri penutup, wah … ini pasti ditunggu-tunggu, yaitu soal beberapa matriks buat sebuah model yang konkret, kontekstual, praktis, simple dan sederhana untuk bisa diterapkan dan dipraktekkan terutama pada diri sendiri.. hehehe…. Emang situ mau mengevangelisasi orang lain tanpa diri elo bertobat? Gak bisa donk!
See you dulu lah… ntar kita lanjutkan next time di serie 01.
Ciao.
alfonsus widhi sx
postulat xaverian bintaro

domenica 28 ottobre 2012

The words of St. Conforti

è meraviglioso il disegno di chi vota a Dio una vita di povertà, di obbedienza e di castità perpetua: e più meraviglioso appare in quelle schiere innumerevoli di uomini e di donne che poi mantengono saldo sino all'ultimo il loro proposito. è meraviglioso  chi si dedica nei pubblici ospedali al sollievo di tute le umane infermità e più meraviglioso ancora chi fa sacrificio della patria, degli amici e dei parenti per portare la fiaccola della fede e della civiltà cristiana a terre infedeli e barbare (St. Conforti, L'omelia della cresima a Parma, 6 Gennaio 1924, in FCT 17,453)
 
How wonderful the design of those who vote to God a life of poverty, obedience and perpetual chastity, and most wonderful appears in the multitudes of men and women who maintain their fidelity until the end of their purpose. How wonderful those who engaging in public hospitals for the relief of human infirmities. How wonderful those who sacrifice their home, friends and relatives to carry the torch of faith and of Christian civilization to barbarians and infidels (St. Conforti, the homily of Confirmation in Parma, January 6, 1924, in FCT 17.453)
 
Betapa indah rencana mereka yang memilih Allah, kemudian mengungkapkannya dalam hidup kemiskinan, ketaatan dan kemurnian abadi. Betapa lebih indah kehadiran orang yang tak terhitung jumlahnya, yang menjaga keteaatan sampai akhir tujuan mereka. Betapa indah mereka yang terlibat di rumah sakit umum untuk menghilangkan kelemahan manusia. Dan betapa lebih indah mereka yang mengorbankan rumah, teman-teman dan kerabat untuk membawa obor iman dan peradaban katolik kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus (St Conforti, homili Konfirmasi di Parma, 6 Januari 1924, di FCT 17,453).
 
p. alfonsus widhi sx

sabato 27 ottobre 2012

Minggu panggilan bartimeus

Bartimeus, berangkat dari kepasifan di pinggir jalan, telah mengalami Yesus secara personal. Pengalaman iman ini membuat dia bangun dan beranjak dari kepasifan menuju keterlibatan aktif untuk mengikuti Yesus.
Pada hari jumat, 26 oktober 2012, para peserta sinode tentang evangelisasi baru di Vatikan menyepakati sebuah pesan untuk diberikan kepada kita semua. Salah satu pesan itu dilontarkan kepada komunitas-komunitas katolik – kepada Gereja di seluruh dunia berdasarkan situasi setempat. Gereja timur dianjurkan untuk menciptakan perdamaian dan kebebasan beragama; Gereja di Afrika dianjurkan untuk mengembangkan evangelisasi dan mempertemukannya dengan budaya lama dan baru, sambil menyerukan kepada pemerintah-pemerintah untuk menghentikan konflik dan kekerasan; Gereja di Amerika Utara dianjurkan untuk memperhatikan pertobatan baru, terbuka dan menerima para pengungsi dan imigran; Gereja di Amerika Latin diundang untuk menghadapi tantangan sepanjang masa, yaitu kemiskinan, kekerasan dan dialog dengan berbagai aliran kepercayaan; Gereja di Asia, dimana masih tetap merupakan kelompok minoritas dan kerap mendapat diskriminasi, diharapkan tetap berteguh dalam iman; Gereja di Eropa diharapkan terus membangun martabat manusia dan bene comune, Gereja di Oceania dianjurkan untuk memperkaya pewartaan Injil.
Para saudara/i terkasih, masih maukah kita bangkit dan terlibat dalam karya evangelisasi Gereja? Apapun bentuknya, anda semua dipanggil untuk mengikuti Kristus dan  menjadi saksi-Nya dimana anda berada.
Selamat merayakan iman bersama dengan komunitas.
p. alfonsus widhi sx
postulat-novisiat xaverian - Bintaro

giovedì 18 ottobre 2012

Serikat Misionaris Xaverian (1)

Siapa sih para misionaris xaverian itu? Wah.... kalo dipikir-pikir gak akan ketemu!! Mustinya nie ketemu langsung sama orangnya.... Nah, baru itu sebuah kemajuan. Apalagi, kalo bisa gaul dan ngobrol langsung, wah.... heboh dech!!!!!
Kalao kamu bertanya tentang apa itu xaverian, berarti banyak dong informasi yang bisa dibagikan. misalnya, dari mana sih namanya itu muncul? kok bisa-bisanya pake nama misionaris, apa nggak ngeri di zaman dialogis kayak milenium ketiga ini? Pernah ada yang punya pertanyaan super yahut: karismanya apa ya? karisma itu makanan dari mana ya... apa temannya suzuki, honda dan kawasaki???? waduh.... waduh... jadi ngalor ngidul gak dech....
Tuh kan dah penasaran.... skarang mo dari mana nie mulainya.
Kita mulai dari yang inspiratif dan sensasional dulu ah... dari akarnya di zaman tempoe doeloe, lebih dari seabad yang lalu dech, biar lebih afdol dan gak bikin dongkol dengan yang aneh-aneh....
Pada mulanya.... (ini ngutip dari kitab Kejadian bab satu ayat satu) berangkat dari satu prinsip: Roh Tuhan terus menerus menjiwai Gereja dan meperbaharui kesadaran Gereja akan tugas perutusannya di dunia. Dari prinsip pokok ini mulai diaktualisasikan ke dalam diri St. Guido Conforti. Roh Tuhan ini pula yang telah mengilhaminya agar mengabdikan diri untuk mewartakan Injil kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus Kristus dan menghimpun orang-orang terpanggil di dalam suatu komunitas misioner untuk mempersembahkan kehidupannya kepada Allah demi cita-cita yang sama.
Gile... singkat, padat, berisi dan semoga jelas juga. Kalao belum, yuk kita ulang lagi. Yang pertama itu adalah niat mewartakan Yesus Kristus dengan kata dan tindakan, dengan menjadi saksi hidup dari Kristus bagi siapa saja yang ingin ngefans berat dengan Dia. Yang kedua... tidak hanya buat mereka yang blom kenal, St. Conforti juga mengumpulkan para bonèk, yang mau secara serius untuk menjadi saksi hidup Kristus seumur hidup! Emangnya bukan bonèk kalo gini. Jelas dibutuhkan banyak orang gila yang bisa dipertanggungjawabkan, karena Salib Kristus! Pokoknya gak ada jalan tengah dech untuk mereka ini. Gilanya lagi... planet bumi kita ini, bagi para xaverian itu layaknya seperti sebuah rumah. Pindah ke satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain itu ibaratnya keluar dari satu kamar dan masuk ke kamar yang lain. wah.. wah.. wah.... emang totalitas yang diminta bagi para saksi seumur hidup ini.
Maka, dengan mengikuti jejak pendiri dan mengaktualisasikan kharisma yang sama, kita para xaverian menjawab perintah Tuhan «Pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah kabar baik kepada semua mahluk» (Mk 16,15)
Tapi, namanya kok gak ada kaitannya dengan pendirinya ya? Apa kaitannya xaverian dan St. Conforti? Inilah inspirasi the best nya, Sang Pendiri memiliki sebuah cita-cita agar para anggotanya itu memiliki semangat berkobar-kobar, pikiran, niat, hati dan kehendak yang keras pada satu tujuan saja, yaitu mewartakan Kristus pada orang yang belum mengenalnya. Yang lain-lain itu dah diurus sama orang lain, jadi gak perlu repot-repot. Bukannya kita ini satu keluarga. Jadi, layaknya dalam sebuah keluarga, ada yang bekerja, ada juga yang istirahat; ada yang pergi ke luar, ada juga yang tingagl di dalam. Demikianlah hendaknya di dalam penghayatan akan tugas ekslusif dan khas dari para xaverian.
Akhir kata.... pada bagian satu ini, sebuah pengantar kiranya cukup sekian dulu yak. Kita lanjutkan dengan bagian berikut tentang xaverian dari sisi yang lain.
P. Alfonsus widhi sx
Postulat Xaverian di Bintaro

Tahun iman: St. Conforti dan pengalaman Kristus yang Tersalib

Bangga dengan Yesus!
Foto: M. Frasinetti
Suatu sore, sambil memangku si Conforti kecil dalam pangkuannya, ibu Antonia menunjukkan kepadanya sebuah salib. Sambil memegang jari jemari Guido, si ibu menuntunnya untuk menyentuh bekas-bekas luka pada paku di Salib sambil berkata: «lihatlah, betapa Allah bersengsara untuk kita».[1]
 
Kesan pertama yang baik adalah sebuah titik pijak yang kokoh untuk terus maju. Inilah saat pertemuan privat antara tatapan mata si Conforti kecil dengan Yesus yang memandang dari salib. Ini adalah sebuah peristiwa sederhana yang terjadi pada diri semua orang. Peristiwa ini bisa terbang bersama dengan angin yang berlari bersama dengan waktu. Namun, tatapan mata dari kayu salib pada sore hari itu membekas di hati si Conforti kecil, merongrongnya dan mendesak dia sepanjang hidup untuk selalu berangkat dari Yang Tersalib.
Inilah peristiwa “pertobatan” si Guido, sebuah peristiwa yang menjadi karakter dari semua orang beriman. Disebut pertobatan karena ada dua unsur penting di dalamnya. Pertama, karena ada rahmat Allah yang berkarya dan kedua, ada sebuah gejala iman yang mentransformasi dinamika kehidupan pribadi dan yang mempengaruhi cara si Conforti kecil untuk berada, berpikir, bertindak dan berelasi di dalam sejarah.
Gejala iman itu bisa berupa sebuah kematian dari beberapa aspek negatif atau egoisme yang manusia miliki. Pertemuan dengan Yang Tersalib membantunya untuk keluar dari kematian ini dan melihat wajah Kristus terpancar dalam wajah setiap orang yang dia temui. Maka, bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang katolik tanpa sebuah pengalaman bersama dengan dan di dalam Salib. Pilihan mengikuti jejak Kristus tidak pernah berhenti pada saat pembabtisan. Itulah sebabnya, di setiap jenjang kehidupan manusia, selalu ada saat “kematian” dan “pertobatan” yang harus dirayakan.
Pada musim gugur di tahun 1872, si Conforti kecil pindah dari Casalora ke kota Parma yang berjarak sekitar 13 kilometer. Di kota ini dia memasuki jenjang sekolah dasar di Institut La Salle, dekat di rumah keluarga Maini di jl. Borgo Torto, n° 8. Selama lima tahun tinggal di keluarga ini, si Conforti kecil yang baru berusia delapan tahun belajar hidup sebagai seorang katolik dengan kesederhanaan yang menjadi karakternya. Hidup terpisah dari orang tuanya memberikan waktu kepadanya untuk mengenang saat-saat indah bersama dengan keluarga dan mengingat bagaimana ibunya mengajarinya berdoa.
Pertemuan dengan Yesus yang tersalib di dalam sebuah oratorio yang selalu dia lewati setiap pagi menuju ke sekolah membangunkan kembali kenangan, ketika dia mengenal-Nya dari ibunya. Maka, pertemuan dengan salib Kristus yang besar, amat indah, amat hidup dan sangat menarik perhatian di oratorio tersebut, memanggil kembali kenangan hati masa kecilnya dahulu: “lihatlah, betapa Allah bersengsara untuk kita”.
Kegembiraan bertemu dengan iman yang dimiliki oleh ibunya menuntunnya untuk berlutut dan hening sejenak di depan Kristus yang Tersalib. Keindahan itu tertuang ketika dia menulis “aku memandang Dia dan Dia memandang aku. Seolah-olah, Dia mengatakan banyak hal kepadaku”.[2]
 
Dengan kesaksian ini, Santo Conforti kecil menunjukkan keindahan pertemuan iman dengan Kristus yang Tersalib, sebuah pertemuan yang dipenuhi dengan persahabatan dimana di dalamnya dia berkomunikasi dan mendengar Yang Tersalib. Ketika tatapan-Nya yang memikat melayang ke atas bumi dan tertumpu kepada dia yang berlutut di hadapan-Nya, Dia melepaskan dahaga jiwa yang haus dan yang terus mencari-Nya. Tatapan tajam matanya mengungkapkan keindahan dan kebesaran cinta kasih Allah kepada kita semua melalui penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Melalui kesederhanaan ini, terbukalah sebuah cakrawala peziarahan iman yang akan memperkaya dan menopang Guido Conforti sebagai bapak para misionaris dan uskup bagi kota Ravenna dan Parma.
 
P. Alfonsus Widhi sx
Postulat Xaverian di Bintaro







[1] Positio, Josephus Schianchi (LXVI), 331.
[2] Demikian dia menggambarkan pengalamannya yang penuh makna dengan Kristus ketika masih kecil, dikisahkan kepada Don Ormisda Pellegri di kediamannya di keuskupan Parma. bdk. Positio, Ormisda Pellegri (X), 60.

sabato 13 ottobre 2012

Paus Benediktus: Tuhan beserta kita hingga hari ini

50 tahun yang lalu saya juga berada di sini…menghadap ke jendela ini dan menatap seorang Paus yang sangat baik, Beato Yohanes XXIII. Dia berbicara kepada kami dengan kata-kata yang tak terlupakan, penuh dengan puisi dan kemurahan hati, kata-katanya meluap dari kepenuhan hati. Kami semua pada waktu itu amat bahagia,dan penuh antuusias. Sebuah konsili baru saja dimulai dan menjanjikan sebuah musim semi bagi Gereja, menjanjikan sebuah Pentakosta baru, dengan kehadiran yang kuat, dari rahmat yang membebaskan dari Injil. Juga pada hari ini kita berbahagia. Kita bawa kebahagiaan itu di dalam hati kita. Bisa jadi sebuah kebahagiaan yang lebih sederhana dan lebih rendah hati. Di dalam kurun 50 tahun ini, kita telah melihat bahwa Dosa asal itu ada, dan ini muncul di dalam berbagai bentuk dosa-dosa pribadi, dan dapat menjadi struktur dosa. “Kita telah melihat bahwa dalam ladang Tuhan selalu ada gulma, ada ilalang. Kita telah melihat bahwa di dalam jaring Petrus, juga terdpat ikan yang jelek. Kita telah melihat bahwa kerapuhan manusia juga hadir di dalam Gereja. Di sini kita menyadari bahwa bahtera Gereja sedang berlayar melawan angin yang berlawanan, dengan berbagai badai yang mengancam bahtera itu sendiri. Dan kadang-kadang kita berpikir, “Tuhan tidur dan Dia sudah melupakan kita”. Inilah salah satu dari pengalaman di dalam kurun 50 tahun ini. Selain itu, kita juga memiliki sebuah pengalaman baru tentang kehadiran Tuhan, tentang kebaikan dan kemurahan hatinya. Api Roh Kudus, Api dari Kristus sendiri bukanlah sebuah api yang menghanguskan, yang menghancurkan, melainkan sebuah api yang penuh keheningan, sebuah api kecil yang penuh kebaikan hati dan kebenaran. Kita telah melihat bahwa Tuhan tidak melupakan kita. Dia tetap hadirdalam kesederhanaan dan memberikan kekuatan pada hati kita, kehidupan kita, menciptakan berbagai karisma dan kebaikan hati yang menerangi dunia. Inilah jaminan dari kemurahan hati Allah. Kita bisa berbahagia sekarang dan memohon agar karena kebaikan-Nya tidak meredup dan tetap kuat hingga sekarang. Sebagai penutup, saya ingin mengulang kata-kata yang tidak terlupakan dari Paus Yohanes XXIII (di dalam sambutan yang terkenal dengan “Khotbah tentang bulan”): “Pulanglah ke rumah, berikanlah ciuman kepada anak-anak dan katakanlah pada mereka, bahwa ini dari Paus.” 
terjemahan: P. Alfons sx

domenica 7 ottobre 2012

Kawin - cerai .... masih setia?

Suatu ketika ada seseorang pemuda yang mendapat perintah untuk menikahi seorang pemudi. Karena enggan, hormat dan keseganan yang dia miliki, akhirnya pemuda itu menikahiseorang pemudi, yang adalah seorang perempuan sundal. Ketiga anak yang dilahirkannya diberi nama "aku hukum", "tidak ada belas kasih/ampun" dan "tidak ada relasi" (putus hubungan). Ketika kupikir dan kurenungkan peristiwa ini.... sangat aneh dan asing bagiku. Namun begitulah kisahnya.. kisah seorang nabi yang bernama Hosea. 
Tentu historitas relasi ini bisa dipertanyakan, namun, yang ingin disampaikan adalah bahwa figur yang ditampilkan dalam metafora perkawinan ini adalah dinamika relasi antara Allah dan bangsa Israel, yang kerap mangkir dan mengkhianati kesetiaan Allah.
Ternyata, ceritanya tidak berhenti di sini. Berkali kali Israel mengkhianatinya, namun, dengan kesabaran dan kerendahan hatinya, Allah mencoba menarik hatinya. Allah mencoba membawanya ke tempat sunyi dan sepi (padang gurun) dan berbicara dengan hatinya.
Indah sekali pernyataan itu... kutulis indah, karena konsepnya amat sederhana: cinta kasih. Cinta yang indah itu sederhana dan tanpa macam-macam topeng yang menutupinya. Indah karena di dalam cinta itu ada saling berbagi, kesetiaan, tidak terputuskan selamanya. Tapi kalau dipikir-pikir sejenak, seolah-oleh tiga aspek itu merupakan sebuah ancaman bagi kebebasan manusia? Tidak!!! Justru ketiga aspek itu merupakan bantuan Allah untuk melanggengkan aktualisasi cinta manusia.
Tentu ketika orang memutuskan untuk menikah, dia berniat memberikan diri seutuhnya bagi pasangannya, mengharapkan pasangannya bertindak demikian dan tidak mengharapkan sedikitpun pengkhianatan dari pasangannya tersebut  (Mk 10,2-12).
Tapi, kalau salah satu dari pasangan tersebut selingkuh, apa yang terjadi? Bagaimana kita harus bertindak? Mari kita melihat visi Allah tentang manusia di dalam Kej 2,18-24. Allah menciptakan manusia untuk saling menolong. Allah menciptakannya tidak sekedar untuk hidup bersama dan menghasilkan sesuatu. namun agar kedua manusia yang saling mencinta itu sanggup untuk tinggal sehati dan sejiwa bersama dengan pasangannya. Dengan kekuatan cinta yang tulus ini, diharapkan agar masing-masing merasakan kekuatan cinta dari orang lain. "Merasa diri dicintai" merupakan salah satu kondisi agar dapat mengampuni. Apalagi, sistem sosial dimana keluarga-keluarga katolik tinggal kerap tidak mendukung nilai-nilai injili yang ingin mereka hidupi. Dunia yang terpecah, egois, ingin menang sendiri, tidakjujur, serakah, terue menerus menggunakan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah ... adalah sekelumit gaya hidup yang ditawarkan sebagai racun yang memabukkan bagi keluarga. Kalau tidak mengikuti gaya seperti ini, mereka merasa akan terlempar keluar. Inilah serangan yang kuat kepada pasangan suami istri yang berniat sehidup semati, dalam suka dan duka, untung dan malang.. seumur hidup. Kalau kebacut terjadi perselisihan yang tidak terjembatani?
Mari kita ingat Yer 31,3 "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu aku melanjtkan kasih setiaku kepadamu".  Saya ingin menekankan kata melanjutkan sebagai salah satu bentuk kesetiaan kepada cinta itu sendiri. Yang mau dibela di sini adalah kesatuan cinta yang indah seperti bunga di musim semi. 
Maka, sebagai ajakan, marilah kita memupuk iman kita dengan mempelajarinya. Marilah kita meneguhkan iman kita dan belajar dari rosario: merenungkan misteri-misteri iman bersama dengan Bunda Maria. Mari kita ingat bahwa di dalam Gereja, kita tidak bertemu dengan sebuah rumusan teori, melainkan kita bertemu dengan seseorang yang hidup dan mati untuk kita, Yesus Kristus.
Maka, jika pernikahan adlaah sakramen cinta kasih Allah, maka kesetiaan suami istri adalah pernyataan dari cinta kasih itu sendiri.
Selamat berjuang untuk setia, seperti Yesus setia juga kepada kehidupan dan sejarah kita.

P. Alfonsus Widhi sx
Bintaro

sabato 6 ottobre 2012

La domenica della fedeltà (Gen 2,18-24 e Mc 10,2-12)

la processione per la messa della domenica dedicata dedicata alle vocazioni

Il messaggio più chiaro di così??? Le letture di questa domenica ci propongono due chiavi ossia due strategie per vivere in questo mondo frantumato dai vari stili di vita. Quando si parla del matrimonio, a volte si pensa subito alla "difficoltà" per rimanere fedele per tutta la vita, cioè, al problema dell'indissolubilità, alla fedeltà per sempre in mezzo al mondo indovinabile. Se si pensasse al volo... è impossibile rimanere dritti sulla stessa pietra, quando c'è il vento forte! 
Perchè si tende a vedere questa difficoltà? Qui si tratta del cuore umano, che è proprio umano, fatto da carne e sangue. non si può conoscere i suoi movimenti. è così fragile, come l'ostia tra le nostre mani. Possiamo fare tutto di tutti questa ostia come se fosse un nulla. è così fatto il cuore umano. Nella sua fragilità però, non dimentichiamo che la sede della sapienza si trova qui. Quando il vivere la fede si fa soltanto teologando il cervello senza coinvolgere il cuore, potremmo avere una vita bella, ma non piena. ho scritto "non piena" perchè non è coinvolta l'esperienza personale, il raccoglimento di fronte alle varie situazioni che danno i vari colori nella nostra storia.
Poi, come si dovrebbe ragionare l'esperienza dell'impegno e della fedeltà? Torniamo alla visione che Dio ha sull'uomo, maschio e donna. entrambi sono creati per aiutarsi, per amarsi. Non sono creati tanto per stare insieme e produrre qualcosa, ma stare insieme per divenire una cosa sola. La famiglia non è una azienda in cui i più bravi e competenti del mondo sono riuniti. Essa non è un gruppo di persone che gestisce la famiglia dividendo i compiti. Tra entrambi, marito e moglie, ci sono dei legami intrecciati basati sull'amore. Questo argomento è molto delicato. Quando si tratta di un vero amore da parte dello sposo verso la sposa, vice versa. Credo che ad ognuno spera che la coppia abbia un sincero amore e lo risponde con la fedeltà sincera. Ognuno di noi non abbiamo neanche per sogno sperare che l'altro ci tradisce. La fatica, il sudore, la perseveranza sono alcuni elementi che pian piano ci dirigono verso la fedeltà.
Perchè mi sono concentrato sulla fedeltà? La nostra famiglia di oggi è bombardata dai vari elementi del mondo frantumanto, un mondo che quasi sta perdendo la bellezza della creazione e il motivo per cui è stato creato, un mondo che ci offre uno stile di vita non cristiana adorando l'egoismo e l'hedonismo, un mondo... nella sua frammentarietà cerca sempre di equilibrare la sua vita.. finchè dura! Come la diffendiamo? Se il matrimonio è davvero un sacramento dell'amore di Dio, allora la fedeltà degli sposi è una relazione d'amore. Ma questo non vale soltanto per gli sposi, vale anche i suoi valori per i religiosi, i sacerdoti, i laici impegnati, gli operai, i teologi, gli insegnanti, i dottori, i macchinisti, i musicisti ecc.... Quando il tuo cuore ha deciso con la sua sapienza nella serenità, nella pace e incontra la gioia interiore, quella decisione potrebbe essere la vera voce che ti conduce per costruire il Regno di Dio in modo più adeguato alla tua condizione.
Preghiamo, alla fine di questa riflessione... per tutte le persone tradite, o si sentono tradite, per le famiglie separate, per i ragazzi dai genitori separati, per le persone che stanno costruendo una famiglia, per i fidanzati, per le famiglie che compiono l'anniversario del loro matrimonio e per tutte le persone di buona volontà che si impegnano per vivere da cristiano nella complessitià di questo mondo odierno. Ricordiamo queste belle ed impegnative parole: "Ti ho amato di amore eterno e per questo ti conservo ancora fedeltà" (Ger 31,3).
Buona domenica della fedeltà.

p. alfonsus widhi,sx
Bintaro - Indonesia

Lettura d'oggi

Friends