venerdì 29 novembre 2013

Spiritualitas misi dalam teks-teks klasik

Membuka-buka lembaran beberapa teks klasik dari para orang kudus, saya temukan beberapa teks klasik ini yang hendak menggambarkan tentang spiritualitas mereka dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dipakai istilah misi, untuk lebih menekankan makna dasarnya, yaitu pergi, bergerak keluar, sebuah perjalanan dari titik nol menuju ke suatu target. Pergerakan ini tidak mungkin ada tanpa ada sesuatu yang menggerakkan. Nah, dimanakah dan apakah dasar yang menggerakkan para orang kudus itu untuk berkarya?
Marilah kita lihat perlahan-lahan dalam tulisan-tulisan mereka. Saya tidak mau menyuguhkan refleksi saya, tetapi saya mengajak anda sendiri untuk menangkap apa yang tersirat dalam suratan hati mereka.

  • Atti dei martiri di Lione e Vienne: Kristus yang menderita dalam diri para martir
Dalam diri para tampuk pemerintahan dan para algojo, muncul persaingan ketat dalam menyiksa, karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan kepadanya. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk memberikan pelat perunggu pada bagian yang paling halus dari tubuh yang paling rapuh. Anggota tubuhnya terbakar, namun para martir tetap tegas dan pantang menyerah, teguh dalam pengakuan imannya, karena diteguhkan oleh sumber air surgawi - air kehidupan, yang mengalir dari lambung Kristus. Tubuh para martir adalah saksi hidup dari penderitaan. Badannya sudah tereduksi karena luka dan memar, tinggal tungkai dan tidak nampak lagi wajah manusia., tetapi Kristus yang menderita di dalamnya. Ia akan dipenuhi dengan tanda kemuliaan, dengan menunjuk pada diri-Nya sendiri sebagai teladan yang telah mengalahkan para musuh-Nya, agar menjadi contoh bagi orang lain, bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa menakut-nakuti kita untuk tinggal di dalam kasih Bapa. Dimana di situ bersinar kemuliaan Kristus, tidak ada derita yang tidak tertanggungkan.
  • Atti dei martiri: il martirio di Perpetua e Felicita: Kristus yang menderita dalam diri para martir
...wanita itu diserang oleh rasa sakit saat melahirkan, seperti yang terjadi pada bulan kedelapan. Dia menderita karena proses kelahiran yang sangat sulit, dan salah satu pegawai yang membantunya dalam persalinan bertanya: "Jika sekarang engkau mengeluh seperti itu, apa yang akan engkau lakukan ketika engkau akan dilemparkan ke teater yang kau benci, ketika engkau menolak untuk mempersembahkan korban?» Dia menjawab, «Sekarang saya sedang menderita. Di sana akan ada Yang Lain yang akan menderita di dalam diri saya, karena saya menderita untuk Dia». Dia melahirkan seorang bayi perempuan, yang kemudian diambil oleh salah satu saudara perempuannya dan mengangkat dia sebagai putrinya (15,5-7).
  • La Vita di Antonio: Misi = kesaksian hidup total pada Kristus
Setelah penganiayaan mereda dan (alm) Uskup Petrus  bersaksi dengan imannya, St. Antonius kembali ke tempat tinggal soliternya dan setiap hari bersaksi dengan hati nuraninya sendiri dan masuk dalam pertempuran iman. Bahkan, dia berlatih asketisme dengan intensitas yang lebih besar. Selalu berpuasa, pakaian dalamnya terbuat dari karung, yang luar dari kulit. Sampai akhir hidupnya, ia mengikuti aturan ini: Jangan pernah mencuci badan dengan air, atau janganlah kaki menyentuh air kecuali bila itu perlu. Tidak ada seorangpun pernah melihat badan St. Antonius, kecuali saat ia dimakamkan setelah kematiannya (La Vita di Antonio 47,1-3).
  • Spiritualitas misi St. Colombanus: Peregrinantes pro Christo.
Mari kita memusatkan diri pada hal-hal ilahi, seperti seorang peziarah yang benar. Dia selalu memiliki  kerinduan pada rumah dan nostalgia ini selalu memotivasinya. Seorang peziarah selalu merindukan, bahkan dengan sangat, akhir perjalanan mereka. Itulah sebabnya, kita pun yang berada di dunia ini, kita adalah orang-orang yang berjalan, orang peziarah. Maka, kita harus berpikir sungguh-sungguh tentang tujuan dari perjalanan ini, yaitu hidup kita. Akhir dari perjalanan ini adalah rumah kita. Di tempat itu nanti, semua orang yang sudah menyelesaikan perjalanannya di dunia, akan memiliki nasib yang berbeda tergantung pada jasa-jasa mereka. Para pejalan kaki yang baik akan beristirahat di rumah mereka. Sebaliknya, para orang fasik tidak akan bisa mencapainya. Pada kenyataannya, banyak orang akan kehilangan rumah mereka, karena mereka lebih mencintai jalan menuju rumah dari pada  rumah itu sendiri. Janganlah kita mencintai jalan lebih dari pada rumah, agar tidak kehilangan rumah kediaman kekal. Maka Rumah yang demikian harus kita cintai (Instructiones VIII)
  • Caterina dari Siena: Misi = rasa memiliki pada Gereja dalam Surat kepada Paus Gregorius XI...
Seseorang yang telah menulis surat kepada Bapa Suci, seperti yang saya pahami, itu seperti setan di dalam jiwa. Sering dia masuk di bawah warna kebajikan dan kasih sayang, kemudian melempar racun. Secara khusus kepada hamba Allah, dia melakukan ini karena hanya dengan cacat pusaka, dia tidak akan tertipu.
Nampaknya wajah setan yang berinkarnasi ini telah menuliskan kepada Bapa suci dengan nuansa penuh perhatian dan kekudusan. Nampaknya dia adalah orang kudus dan benar, namun sebenarnya adalah manusia yang jahat, penasehat para iblis, penyamun dalam kehidupan komunitas kristiani dan reformasi kehidupan menggereja, pecinta cinta diri dan mencari kekayaan bagi dirinya sendiri.
Namun, tidak lama lagi, bapa dapat menyatakan jika dia datang dari orang yang benar atau tidak. Menurut saya, demi kemuliaan Allah, Bpa hendaknya mencarinya. [...] Saya berharap, dengan bantuan Kristus yang tersalib, agar Bapa tidak menjadi seerti anak kecil yang penakut, melainkan seorang yang jantan dan teguh.
  • Madelaine Delbrêl
Dalam lingkungan orang yang skeptis, menjadi penting berevangelisasi. Seseorang tidak bisa memilih antara melakukannya atau tidak melakukannya, dan juga tidak bisa memilih akan berbicara tentang apa [...]. Mewartakan Injil sesuai dengan gaya bahasa orang yang ada di depan kita itu tidak cukup. Perlu mewartakan Injil dengan gaya bahasa Yesus Kristus. Gaya bahasa-Nya adalah selalu disertai dengan kata-kata kemurahan hati-Nya.
 
Salam,
P. Alfonsus Widhi, sx
Paroki Matius Penginjil Bintaro

lunedì 4 novembre 2013

Religious life and Apostolic charism of San Guido Conforti

Conforti's crucifix at Mother house of the Xaverian Missionary in Parma
 The reality of the mission in the era of Conforti was favored by a strong idea that the identity of the mission is "to go away and for a long time." These actions, of the so-called mission in a foreign country, are often treated with the proper identity of the missionaries. It is an undeniable fact that the missionaries have given a great contribution not just in the mission. The same antithesis is also true with regard to 'burn-out' of the missionaries. Despite the very context define the way of the mission, the danger remains behind the door in the mix of the nature of the charism and the ways of expressing it, or between the orders with the hierarchical structural conditions of the state of life. The open trap of this concept is when you reduce the mission only as the "go," reducing the "live-in"; or when the existence of missionary be reduced only in the "land of mission at foreign", rejecting the Church which sent him as a missionary. The imbalance the way of thinking threatens the emptying of interiority which coincides to the person. This language pessimist does not seek to give a justification behind the crisis of the mission or the forfeiture of the missionary vocation today, but go to see the core of the mystical experience of Conforti with Jesus Christ crucified so that you may keep alive "the Christ's love that imples us forward" (2 Cor 5:14).
San Guido Maria Conforti
The Crucifix speaking from the silence of the oratory of Peace, increasing the listening heart of the young Conforti to understand "et omnia in omnibus Christus."The heart of this man is to small, called by Cardinal Angelo Roncalli as "a shepherd and two flock," but "the holy shepherd of the only flock in the Church of God," to hold the love of the cross that leads to totality of the gift of self for the consecration and mission of the Father. That love of the Father does not stop in the life of Jesus Christ, but overflows through his death, dripping from his side (cf. Jn 20:27). Only the grace of God and the generosity on the part of man can welcome him intimately, sharing it with all those who do not know and still love the One who gave His life for all, even unto death on a cross (cf. Phil 2:8 ). Contemplating under the crucified Jesus ensures the perfect setup and balanced between the state of election, of consecration and that the mandate of the mission in Jesus Christ, the Father's missionary par excellence.
At first reading of the Xaverian charism and the current phenomena that affect the religious-apostolic life, no one thought a reading so structured and well-articulated being discovered little by little along the way. There is no novelty, nor last word presented in this article, because all the spirituality are rooted in Jesus Christ and his Gospel. It is when it comes to the ways in which a child of Conforti, after a century, try to understand the mystical intuition of its founding father. Reading his writings and comparing them directly with the context of today, I try to capture in this present work, a creative reading to extract the charisma of Conforti.
The experience gained during the arrangement of the work has become an opportunity to learn the spirit that animate the religious - apostolic life of Conforti. It is the gift that is always free and in order to build up the community. First, i feel that it is the gift of God for the whole Church through the docility of Conforti to let his life formed and transformed by the Holy Spirit who inspires to relive the experience "et omnia in omnibus Christus" (Col 3:11). Another gift comes from my confreres who share their life, work, thought, and their fraternity. Thanks for all. May our Lord Jesus Christ, be the heart of the world.
Fr. Alfonsus Widhi, sx
Xaverian Missionary in Jakarta

Lettura d'oggi

Friends