domenica 7 luglio 2013

Pengalaman

Venezia


Apakah yang kita pikirkan bila mendengar kata pengalaman?
Seringkali, kita merasa kalau waktu terus berlalu dengan cepat. Berbagai hal terjadi, namun kita tidak bisa menikmatinya secara penuh. Seolah segalanya berlalu begitu saja tanpa kita menyadari, seperti ketika kita naik boot dan berkeliling di kota Venezia.
Orang-orang pada abad ini lebih cenderung untuk mengatakan pengalaman sebagai sebuah kesadaran psikologis tentang keadaan di dalam diri seseorang, situasi afektif dan emosinya. Maka, aspek kesadaran inilah yang memegang prioritas dari pada sebuah kehadiran efektif di suatu tempat.
Tentu ini sebuah pergeseran pemahaman dibandingkan dengan makna pengalaman di abad lalu. Pada abad XX, istilah pengalaman cenderung dimaknai sebagai sebuah kehadiran langsung dan real yang tampak di depan kita. Nilai langsung dan real menyangkut keterlibatan dari panca indera kita dalam menyentuh, merasa, membaui, mendengar dan melihat.  Keterlibatan ini hendak menyatakan bahwa kehadiran seluruh jati diri manusia pada waktu dan ruang tertentu menunjuk pada keterlibatannya dalam mengalami sesuatu.
Jika saya bertanya, apakah kamu sudah pernah makan tahu dan tempe? Orang abad XX akan menjawab secara positif ketika dia sudah makan, entah waktu makan itu pemikirannya ada di situ atau tidak. Entah ketika dia makan, dia asyik ngobrol dengan temannya atau pusing dengan permasalahan yang dihadapinya, sehingga ketika makan selesai dia tiba-tiba menyadari bahwa tempe dan tahu sudah habis. Dalam koridor ini, jika orang tidak menyadari kalau sedang makan tahu tempe, tidak ada keterlibatan afektif dengan tahu dan tempe yang sedang dimakan, orang-orang abad XXI agak meragukan kalau dia sudah secara terminologis, pernah mengalami makan tahu dan tempe. 
Ada juga jenis pengalaman yang lain, yang biasa dikenal dengan pengalaman religius. Pengalaman ini menandai sebuah kontak yang hidup dengan Yang Ilahi melalui kesadaran akal budi. Pengalaman ini lahir dari kondisi natural yang muncul dari dalam diri manusia. Secara alamiah, ada kecenderungan dari dalam dirinya untuk kembali kepada Yang Ilahi, dengan berbagai ungkapan ritus liturgisnya. Bahkan tanpa perlu mencari dasar-dasar yang menyusun iman di dalam peristiwa historis dari Perjanjian dan Perwahyuan, seperti dalam tradisi katolik.
Oleh sebab itu, pengalaman religius katolik merupakaan salah satu pengalaman dari ratusan dan ribuan pengalaman religius setiap orang untuk mencoba menempatkan diri dalam relasi dengan Yang Ilahi. Satu hal yang mencirikaskan pengalaman religius katolik adalah sosok Allah yang bisa dikenali oleh manusia sejauh Dia mewahyukan diri kepadanya (DV 2).
Dengan demikian, pengalaman religius katolik tidak berbicara soal pengalaman tentang Allah saja, melainkan pengalaman dengan Allah. (Alfonsus Widhi, sx)

Lettura d'oggi

Friends