venerdì 23 maggio 2014

Tuhan tidak perlu pembela


Tuhanlah Gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka, akan mengikuti aku seumur hidupku dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa (Mzm 23).
Camping musim panas di Arabba, Italia 2007
Gambaran tentang Allah yang dimiliki oleh pemazmur ini mengungkapkan sebuah keyakinan akan kesetiaan Allah dalam berbagai situasi kehidupan manusia. Kata berbagai situasi menggarisbawahi betul-betul apa yang manusia alami setiap hari: jerih payah bekerja dari pagi-pagi buta sampai larut malam, kesuksesan dan kegagalan yang ditemui, permasalahan dan solusi yang didapat untuk membongkar kerumitan problematika hidup, duka dan tawa di hadapan sebuah peristiwa, kegetiran dan kelegaan dalam menghadapi sesuatu… di setiap saat itu, Allah menyertai dan mendampingi dengan setia.
Ada dua permasalahan yang muncul dari figur Allah yang demikian. Pertama, mengapa Allah, Sang Kehidupan, tidak membebaskan saya dari pengalaman getir kehidupan dengan mujijat-Nya dan kedua, Apakah dengan mencintai, maka seseorang itu menunjukkan kelemahannya?
Untuk pertanyaan pertama, kepastian janji Yesus Kristus kepada kita adalah Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman (Mt 28,20). Salib di puncak golgota persis berada di tengah-tengah dua orang lain yang disalibkan bersama Yesus Kristus. Dia bisa membuat mujijat untuk membebaskan diri dari derita dan maut yang mengancam dari salib. Tetapi, itu tidak dilakukan-Nya demi kesetiaan pada setiap ajaran yang Dia sampaikan selama masa hidup-Nya, seperti mencintai, mengasihi musuh, mengampuni dan mendoakan mereka. Orang dewasa tahu bahwa setiap pilihan yang dibuatnya itu mengandung resiko. Jika Yesus telah mengajarkan demikian, maka Dia pun mengambil resiko total dari apa yang sudah diyakini-Nya. Yaitu, bahwa rantai kekerasan harus dipotong dengan pengampunan. Ini sebuah prinsip yang sangat kokoh karena hendak menggarisbawahi kekuatan dan kedigdayaan seseorang itu ternyata tidak diukur dari kemampuannya untuk membalas dendam, tetapi dari kesanggupannya untuk mengendalikan amarah dan ketakutan dalam dirinya.
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah menaklukkan pada dirinya segala sesuatu yang bersifat irasional dan menguasainya dengan bebas serta menurut keteraturannya sendiri. Ketika orang menjadi marah, kalut dan dunia sekitarnya nampak gelap, hampir tidak ada kebebasan dalam dirinya untuk bertindak, karena segala yang dia lakukan itu berdasar pada naluri untuk mempertahankan diri. Entah apa yang dipertahankan. Ini bisa berupa egoisme, harga diri, rasa malu ... yang penting tidak kehilangan muka.
Dengan usaha yang tak kunjung henti, maka dia akan menyadari bahwa hidup yang sungguh-sungguh adalah mencintai. Inilah titik kritis yang menjadi acuan pada jawaban atas pertanyaan kedua. Jika seseorang mencintai dengan tulus dan jujur, apakah dia itu lemah? Kemampuan seseorang untuk sanggup mencintai seperti demikian, kerap dipengaruhi oleh figur tentang Allah yang dia bangun dalam imannya. Anselmus, seorang teolog, filsuf, rahib dan uskup agung Canterbury, berpendapat bahwa iman harus dijalani secara rasional. Tentu saja isi ajaran iman tidak bisa dibantah, tetapi akal budi bisa mendekati kebenaran-kebenaran iman yang tak terbantahkan. Maka, orang beriman pun musti berani mendekati iman secara rasional.
Mengaktualisasikan pemahaman Anselmus, kita ditantang untuk bertanya, apakah orang lain yang tidak memiliki pemahaman figur tentang Allah yang berbeda dengan saya itu harus dilenyapkan? Jika rasionalitas dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan instrumental, maka akan terjadi pemutlakan hal-hal teknis, sehingga petimbangan-pertimbangan moral diabaikan karena proses musti berjalan. Ini paham ideologi yang sangat berbahaya. Jika Anselmus berpendapat bahwa pengertian tentang Allah sebagai sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak bisa dipikirkan ada dalam pikiran, maka musti harus diterima bahwa Dia juga ada di luar pemikiran, yakni dalam realitas - kenyataan. Di sini kita harus berhati-hati! Adanya Allah tidak boleh dimengerti secara empiris saja (seperti ada merpati, harimau, gunung, lautan…). Allah ada baik dalam akal budi, maupun dalam realitas, maupun dalam diri-Nya sendiri.
Jika Jhon Locke, seorang filsuf yang dikenal sebagai bapak liberalisme klasik, menyatakan bahwa keadaan alamiah manusia adalah tiap orang sederajat. Tidak ada otoritas, tidak tunduk siapa-siapa dan di bawah bimbingan akal, maka, siapakah aku sehingga berhak menghentikan kehidupan yang ada dalam diri orang lain? Atas kuasa siapa aku menjalankan hal itu dengan sah? Tidak ada! Hanya Sang Kehidupan yang berhak mengambil lagi kehidupan yang telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Allah tidak perlu seorang pembela sehingga manusia pun bisa mengambil hak Allah untuk mengambil kehidupan sesamanya. Justru hal yang sebaliknyalah yang harus dilakukan, yaitu bahwa manusia menjadi pejuang kehidupan bagi sesamanya. Dengan melakukan ini dia akan menjadi seorang pecinta. Dia mencintai orang lain, bukan karena fungsi utilitarisme, kegunaannya bagi saya, tetapi karena menyadari kualitas jati diri sebagai sesama mahluk ciptaan Allah.
Jebakan muncul ketika manusia terkotak-kotak dalam institusi agama. Dalam agama, pedoman untuk hidup baik dapat ditemukan dalam perintah-perintah Allah. Di sini, agama berusaha menjamin hidup bermoral berdasar keyakinan bahwa Allah adil: memberi surga untuk yang baik dan neraka untuk yang tidak baik. (Paham tentang keadilan Allah ini diperbarui oleh Yesus Kristus dan akan kita bicarakan di bagian lain). Jika hakekat moralitas adalah bagaimana hidup baik, maka agama mana yang dapat menjadi dasar moralitas yang benar? Jika agama menjadi dasar hidup bermoral, bagaimana orang yang tidak beragama atua beragama hanya di KTP dan tidak mempraktekkannya, ternyata kok bisa juga menampilkan hidup bermoral? Bagaimana agama-agama yang berbeda dapat tiba pada penilaian moral yang sama dalam banyak hal? Ini menandakan bahwa moralitas tidak mengandaikan agama. Sekat-sekat yang memisahkan institusi agama tidak bisa membatasi nilai-nilai moral.
Kesanggupan untuk mencinta dan membela kehidupan adalah karakter dari orang yang memiliki visi yang kokoh tentang Allah, manusia dan ciptaan. Hingga suatu saat nanti pun, ketika kita memahami jati diri Allah adalah demikian, semoga kebajikan dan kemurahan Allah saja lah yang akan mengikuti kita seumur hidup kita dan semoga... kita pun akan diam di dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

P. Alfonsus Widhi, sx

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends