lunedì 30 aprile 2012

Pesan Paus untuk hari doa untuk panggilan sedunia

Panggilan sebagai sebuah rahmat cinta kasih dari Allah
Hari doa untuk panggilan sedunia XLIX, yang akan diselenggarakan pada tanggal 29 april 2012, tepatnya pada minggu Paska IV, mengundang kita untuk merengungkan tema: Panggilan sebagai  sebuah rahmat cinta kasih Allah.
Sumber segala rahmat yang sempurna adalah Allah, yang adalah Kasih – Deus Caritas est –: «barangsiapa tinggal di dalam Kasih, tinggal di dalam Allah dan Allah tinggal  di dalam dia» (1Yoh 4,16). Kitab suci mengkisahkan relasi original ini yang menghubungkan relasi antara Allah dan umat manusia. Sebuah relasi yang mendahului penciptaan manusia itu sendiri. Santo Paulus, ketika menulis surat kepada umat kristiani di Efesus, mengangkat sebuah kidung pujian dan syukur kepada Allah Bapa, dimana dengan kebajikan yang tidak terbatas Dia telah mewujudnyatakan gambaran karya keselamatan, yang adalah gambaran cinta kasih. Dalam diri sang Putera, demikian Santo Paulus menguraikan, Dia «telah memilih kita sejak sebelum penciptaan dunia, untuk menjadi kudus dan tak bercela di hadapannya di dalam cinta kasih» (Ef 1,4). Kita dicintai oleh Allah “jauh sebelum” kita mulai berada. Dia telah «menciptakan kita dari ketiadaan» (bdk. 2Mak 7,28) dan digerakkan semata-mata oleh kasih tanpa syarat, Dia menuntun kita kepada kepenuhan persatuan dengan diri-Nya.
Terpukau oleh karya penyelenggaraan ilahi tersebut, seorang pemazmur berseru: «ketika kulihat langit-Mu, karya jari-Mu, bulan dan bintang yang kau ciptakan, apakah manusia itu sehingga Engkau ingat? Siapakah anak manusia itu sehingga Engkau pelihara?» Mzm 8,4-5). Kebenaran mendasar dari keberadaan kita termaktub dalam misteri yang menakjubkan ini: setiap ciptaan, secara khusus setiap pribadi manusia, adalah buah dari inspirasi dan cinta kasih Allah, sebuah cinta kasih yang amat dalam, cinta kasih yang setia dan abadi (bdk. Yer 31,3). Pemahaman akan realitas ini mengubah sungguh-sungguh kehidupan kita dari dasar. Di dalam sebuah halaman termasyur dari karya “Pengakuan-pengakuan” Santo Agustinus, dia menggambarkan dengan intensitas yang amat dalam, penemuannya tentang Allah sebagai sebuah cinta kasih dan keindahan yang amat menakjubkan. Dia adalah seorang Allah yang selalu dekat, tetapi pada akhirnya Dia membuka pikiran dan hati untuk diubah: «terlambat aku mencintaimu, keindahan yang begitu klasik dan begitu baru menawan, terlambat aku mencintaimu. Ya, karena ketika Engkau berada di dalam aku, aku sendiri berada di luar. Di sana kucari Engkau. Dalam ketidaksempurnaanku, kulemparkan diriku pada berbagai bentuk keindahan karya-karya ciptaan-Mu. Ketika Engkau bersama aku, aku sendiri tidak ada berada bersama Engkau. Karya-karya ciptaan-Mu mengikat aku jauh dari pada-Mu. Jatidiriku musnah, jika aku tidak berada di dalam Engkau. Engkau memanggilku, dan teriakanmu menembus ketulianku;  Engkau menari-nari dan kemegahan-Mu membuyarkan kebutaanku; Engkau menyebarkan keharumanmu dan aku menghembuskan nafas serta merindukanmu, terlebih aku menjadi lapar dan haus akan Engkau; Engkau menyentuhku dan aku terbakar dalam kerinduan akan damai-Mu» (X,27.38). Dengan gambaran ini, Santo dari Hippona berusaha untuk melukiskan misteri yang tak terperikan dari sebuah perjumpaan dengan Allah, dengan Cinta kasih-Nya yang merubah seluruh esistensi (cara berada) kita.
Di sini, kita berbicara tentang sebuah cinta kasih yang tanpa syarat, yang mendahului kita, yang menopang kita dan memanggil kita sepanjang jalan kehidupan. Cinta kasih ini berakar dalam kemurahan hati yang mutlak dari Allah, tanpa menuntut balasan apapun. Sambil mengacu secara khusus pada pelayanan imamat, pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II menegaskan bahwa «setiap bentuk pelayanan, sambil menuntun untuk mencintai dan melayani Gereja, mendorong juga untuk semakin mendewasakan  diri dalam cinta kasih dan dalam pelayanan kepada Yesus Kristus, Gembala dan Mempelai Gereja; sebuah cinta kasih yang mewujudnyatakan selalu sebuah jawaban aktual, bebas dan cuma-cuma dari Allah di dalam Yesus Kristus (Exhort. Pastores Dabo Vobis, n° 25). Itulah sebabnya, setiap panggilan khusus lahir dari Allah, dari prakarsa Allah, adalah rahmat cinta kasih Allah! Dialah yang menggenapi “tahap pertama” dan ini, bukan karena kebaikan tertentu yang ditemukan dari dalam diri kita, namun berdasarkan kehadiran cinta kasih-Nya yang sama «yang dituangkan dalam hati kita oleh Roh Kudus» (Rm 5,5).

sabato 28 aprile 2012

Sehari bersama calon imam



inilah keseharian kami juga ...
anche queste immagini raccontano le cose che stiamo preparando per la missione

Sejenak bersama calon imam



Inilah kehidupan kami di tahun postulat dari Serikat Misionaris Xaverian di Jakarta
Questa è un po' delle nostre attività nella formazione dei missionari saveriani a Jakarta

giovedì 19 aprile 2012

Niat-niat St. Conforti di kala seminaris (3)


St. Guido Conforti

Terhadap Allah
  1. Sebelum memulai berbagai kegiatan, terutama studi, rekreasi dan makan, aku akan mengarahkan diri pada kemuliaan Allah sambil berkata Deus meus et omnia. Non nobis Domine on nobis, sed nomini tuo do gloriam  (Segala sesuatu kupersembahkan bagimu ya Allah, bukan kepada kami, melainkan kepada-Mulah diberikan kemuliaan).
  2. Aku akan mengaku dosa selalu, seolah-olah seperti pengakuan yang terakhir kalinya. Oleh karena itu, dari sekarang aku akan berusaha lebih cermat lagi dalam mengoreksi diri, lebih jujur dan tepat dalam mengaku, lebih teliti dalam mengenali kekurangan-kekurangan dengan berpikir: surga hilang karena dosa, neraka perlu mendapat belas kasih Kristus yang tersalib.
  3. Dalam pencobaan yang mengancam keutamaan paling indah, dengan segera aku akan bersujud di bawah kaki Yesus Kristus yang tersalib dan Bunda Maria untuk menyerukan pertolongan yang berasal dari padanya. Saya akan sangat berhati-hati supaya aku jangan jatuh ke dalam pergulatan pihak musuh, karena pasti akan kalah. Di dalam pergulatan itu akan menang orang yang tidak masuk ke dalamnya (bdk. St. Filipus).
  4. Setiap hari aku akan membangun sikap tobat terhadap dosa-dosaku di masa lampau.

mercoledì 18 aprile 2012

Niat-niat St. Conforti di kala seminaris (2)


St. Guido Conforti
Terhadap Allah
  1. Saya akan terus berusaha menghindari kelalaian dalam menjalankan praktek-praktek doa batin.
  2. Saya akan membawa pemikiranku kepada Allah melalui doa-doa pendek sepanjang hari.
  3. Ketika saya mulai merasakan beberapa cobaan, saya akan memalingkan diri kepada Allah dengan segera dan dengan devota aspirazione.
  4. Ketika kusadari bahwa aku telah jatuh kedalam kelalaian, aku akan segera minta ampun kepada Allah.

Niat-niat St. Conforti di kala seminaris (1)

St. Guido Conforti

Latihan rohani awal tahun pertama teologi. September 1883 di Carignano, Parma
  1. Saya akan l’apparecchio alla morte dan mengaku dosa setiap bulan.
  2. Saya akan melakukan sedapat mungkin menyatukan diri secara rohani dengan Allah.
  3. Di dalam pencobaan yang paling sulit untuk melanggar keutamaan-keutamaan, saya akan menyujudkan diriku pada Yesus Kristus.
  4. Pada pagi dan malam hari, akan kuletakkan kekudusan kemurnian di bawah naungan Bunda Maria.

Si crede ancora oggi al miracolo eucaristico?


Ho scritto proprio "oggi" del nostro tempo, che a volte viene descritto come un tempo difficile per vivere la fede. è successo che l'ostia caduta per terra, ricercata ma non è stata trovata, e quando si sono tornati a cercare, l'hanno trovata sanguinata.
è successo questo nella Chiesa di Santo Fransiskus Xaverius a Kidul Loji, Yogyakarta, in una messa domenicale del 15 aprile 2012.
La messa è presieduta da Don V. Suparman. Durante la distribuzione della comunione, il sacerdote viene accompagnato dai tanti pro diaconi come al solito. è successo che quando un diacono dava la comunione ad un ragazzino tra le sue mani, l’ostia è caduta per terra. Cercavano insieme, ma non sono riusciti a trovarLo. Invece di continuare a cercare, questo pro diacono gli ha dato un’altra ostia. Terminato il compito di distribuire la comunione, egli ha parlato tremando con il don Suparman per quanto riguarda quello che era successo.
Cercandola intorno al posto dove il pro diacono distribuiva la comunione, hanno trovato l’ostia sanguinante attorno. È stata il corpo e il sangue di Cristo? Cercavano di pulirla con il purificatorio. Questo purificatorio poi l’hanno portata subito in cappella.
Verso le 24.00, don Suparman e don Saryanto sono andati a vedere la condizione dell’ostia e del purificatorio.  C’era il profumo uscito da essa. Il colore rosso del sangue è diventato marrone.
Ricordiamo che qui si utilizzano le parole: l’ostia sanguinante, perché non si sa ancora se questo fosse un miracolo eucaristico oppure ci fosse un'altra cosa.
Rispondendo a questo evento, il vescovo del luogo, Mgr. Johannes Pujasumarta invita i cattolici per far crescere l’adorazione al Santissimo Sacramento. 

viene riassunto da Rm. Agoeng che ha scritto per paguyuban wartawan katolik indonesia  
il testo originale si trova nel gruppo di facebook:  dinamika paroki kita
alfonsus widhi sx

domenica 15 aprile 2012

Kerahiman Ilahi, Cinta kasih Allah, Pengampunan


bacaan: Kis 4,32-35, Mz 118(117),2-4.16ab-18.22-24, 1Yoh 5,1-6, Yoh 20,19-31.

Bunga yang tumbuh di atas batu ini ...
adakah dia mengenali pintu-pintu surga?
Sejak Sejak tahun 2000 Paus Yohanes Paulus II menetapkan hari Minggu pertama setelah Hari Raya Paskah sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Semoga kerahiman Allah menjadi unghia bagi semua, terlebih bagi orang yang dengan seluruh diri berserah kepada Allah. Ini adalah sebuah devosi yang lahir dan berkembang dari bawah, dari kehidupan rohani umat Allah yang berziarah. Pusat devosi ini, yang kebetulan amat sejalan dengan bacaan-bacaan pada hari minggu paska kedua, adalah hati.
Hati adalah organ utama dalam sistem tubuh kita. Memahaminya dalam koridor hidup rohani, para penulis Kitab Taurat pun memberi makna bahwa hati adalah motor kehidupan serta sumber afeksi / perasaan. Itulah sebabnya dalam Sacra Scrittura, kita bisa menemukan bahwa dari dalam hati ada nilai simpati – antipati, mencintai – membenci, keinginan untuk menerima – menolak. Alasannya, manusia berpikir dan memutuskan dalam hati. Ini membuka kemungkinan bahwa dengan kehendak bebasnya, manusia dapat sejalan dengan kehendak Tuhan atau sebaliknya.
Kita ingat Yer 36,26 kamu akan kuberi hati yang baru dan roh yang baru di dalam batinmu. Hati yang membatu akan kuambil darimu dan kuberikan kepadamu hati yang lembut. Ada due unsur penting yang disampaikan oleh Yeremia: roh adalah motor penggerak kehidupan manusia dan hati mengungkapkan sikap respèk, hormat dan taat. Dalam konteks pemulihan kota Yerusalem, dua hal ini menjadi modalitas pokok untuk dapat mengenal dan menjalani kehendak Allah: Tindakan kasih Allah membuka manusia akan kedegilan hatinya, kekerasan dan ketertutupannya. Tindakan itu pada akhirnya akan mendorong manusia untuk menerima pengampunan dari Allah dan bertobat: Ya Tuhanku dan Allahku.
Tetapi, mari kita pahami konsep-konsep yang bernada miring tentang pengampunan:
oo. Mengampuni bukan berarti melupakan.
oo. Mengampuni bukan berarti menyangkal kebenaran.
oo. Mengampuni lebih dari sekedar keinginan untuk mengampuni.
oo. Mengampuni tidak dipaksakan.
oo. Mengampuni bukan berarti kembali kepada situasi seperti sediakala, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sebelum terjadi masalah.
oo. Mengampuni tidak meminta kita untuk menyangkal hal-hak dasar kita.
oo. Mengampuni bukan sepenuhnya berarti memaafkan orang lain.
oo. Dengan mengampuni, tidak hendak menunjukkan bahwa saya lebih bermoral dari pada orang lain.
oo. Mengampuni bukan berarti melemparkan kepada Allah tanggung jawab pribadi kita kepada sesame.
Bagaimana kita belajar untuk mengampuni:
oo. Mulai dengan keputusan untuk tidak sakit hati dan balas dendam. oo. Mendesak seluruh kemanusiaan kita untuk kembali dan melihat diri sendiri dengan mengenal luka-luka batin yang belum tersembuhkan, mengakui kemiskinan hati kita lalu membagikannya kepada sahabat, orang yang dekat dan terpercaya…. bahkan kepada mereka yang telah melukai hati kita. Perlu juga mengenal, mengakui dan menerima kemarahan dan kehendak untuk balas dendam. Belajarlah untuk mengampuni diri sendiri.
oo. Membuka diri pada cakrawala sebuah relasi dinamis antar manusia dengan menitik beratkan pada nilai-nilai orang yang telah menyakiti kita. Temukan makna peristiwa ini dalam terang belas kasih Allah hingga memberikan Putra-Nya yang terkasih pada kita.
oo. Percaya bahwa mengampuni adalah cermin dari tindakan belas kasih Allah. Engkau dikasihi dan diampuni oleh Allah. Terimalah cintakasih, belas kasih dan pengampunanNya. Jangan paksakan diri untuk dapat mengampuni. Pengampunan bukanlah sebuah kewajiban moral. Untuk itulah, kita wajib membuka diri pada RAHMAT.
Penampakan Yesus kepada para muridNya yang menutup diri di rumah dengan mengunci pintu rapat-rapat, bukan untuk balas dendam pada mereka yang tidak setia dan lari ketika Dia dalam kesulitan. Peristiwa ini hendak menegaskan kebesaran Cinta kasih Allah pada manusia. Meskipun manusia jatuh berkali-kali, Allah tetap setia di sampingnya. Meskipun manusia menutup diri rapat-rapat, tetapi Yesus ada di tengah-tengah… bahkan di pusat hatinya.
p. alfonsus sx
wisma xaverian  15 april 2012 pada hari minggu kerahiman ilahi.

sabato 14 aprile 2012

Dialogo inter-religioso


Intrecciare la rete digitale e l’amicizia con i mussulmani

un imam di una comunità mussulmana
di Ciganjur
Entrambi sono due momenti e ambiti diversi, in cui il filo rosso è l’apertura verso le diversità del prossimo. La rete digitale propone la varietà delle persone, delle idee e dei campi anche impensabili da parte nostra. Basta cliccare una parola chiave nella motore di ricerca, troviamo qualcosa. Incontrare la persona di altre religioni presuppone una conoscenza di sé, degli altri e la bellezza di questa diversità che, mettendole insieme, possiamo costruire uno mosaico di pace. Bene, senza parlare troppo, vi racconto quello che ho vissuto ieri.
Il venerdì appena passato ieri è stato un giorno molto intenso che ho passato in questa settimana. Sono passato al mattino nel vescovado per una questione formale. Poi sono andato ad incontrare gli amici dei tempi passati, che sono ancora rimasti in qualche ufficio diocesano. Per la Provvidenza, c’è stato un incontro “per caso” ma è molto utile dal punto di vista pastorale digitale e pastorale giovanile. C’è da dire che nel campo della pastorale nella rete siamo ancora all’inizio. Nel senso che tanti cattolici hanno gli strumenti a mano come Il computer, l’ipad, Blackberry o altri telefonini per accedere l’internet a basso costo (con un € 30 o 40 ne si può prendere uno). Alcuni di loro hanno iniziato a digitalizzare la loro parrocchia, costruendo un sito. Altri ancora gestiscono o creano i vari gruppi in facebook (magari da notare che a Jakarta, ci sono almeno 17 milioni users registrati della Facebook). Allora ci sono lo strumento, la sensibilità, la capacità … ma ci vuole ancora un passo avanti per costruire una rete sociali tra i blogger (i naviganti, i webmaster, i facebookers, i twitters… ) cattolici. Per questo, speriamo un buon segno nella prossimità della giornata mondiale delle comunicazioni sociali e anche dalle vostre preghiere e supporte.
Un break per sciogliere l'incontro
tra gli studenti dei missionari saveriani
e una comunità mussulmana di Ciganjur
Dopo pranzo poi, ho incontrato un amministratore della parrocchia facebook Indonesia, considerando la bellezza dell’incontro faccia a faccia come un “sacramento”. Infatti, questa parrocchia è gestita da 3 amministratori, che finora ci siamo limitati a conoscere la persona attraverso lo schermo del nostro computer o Blackberry.
La mia giornata non è ancora terminata con questo incontro. Quel ultimo è stato un’accoglienza verso i fratelli mussulmani provenienti da Ciganjur. Questi sono venuti perché l’amicizia. I saveriani sono stati “a casa loro” e loro vengono per conoscerci, condividendo la storia della loro organizzazione islamica, conosciuta come Nahdlatul Ulama (NU). Al primo intervento, uno di loro parlava dello sviluppo di questa organizzazione sin dalla sua nascita nel 1926. Si nota che i contesti determinano il suo cammino, dando la risposta alla situazione contestuale di ogni epoca. C’è stato un periodo in cui NU è rimasto fuori dalla prassi della politica, poi le situazioni l’hanno costretta ad entrare e quasi negli ultimi trenta anni, questa organizzazione –come un’organizzazione– ha deciso di evitare a giocare nella politica. Ciò non significa che questa proibisce i membri a partecipare in essa.
Cosa è questa organizzazione? Magari è una realtà sconosciuta per alcuni lettori. La base strutturale di questo gruppo è la scuola islamica, un imam e il popolo. Questi tre elementi cercano di essere fedeli alla tradizione islamica. Insieme costruiscono un sistema sociale di carattere popolare senza una linea di commando che costringe i suoi membri a seguire. Di conseguenza, si può notare un’identità fluida in cui ogni persona, o meglio, ogni gruppo potrebbe avere la propria bandiera, tenendo conto dell’identità propria. Allora le diversità delle idee, dell’ermeneutiche, degli approcci ad un certo problema sociale vissuto nella radice sono inevitabili. Perciò, c’è un incontro al livello nazionale per dialogare.
la comunità dello studentato saveriano
Jakarta - Indonesia
Uno dei problemi rilevanti da considerare è l’apertura di questo gruppo verso le diversità delle religioni e delle culture  e l’importanza dell’unità nella diversità da mantenere fino in fondo come la base costituzionale dell’Indonesia. Perché quest’unità è così importante? Un semplice motivo è che questa unità viene minacciata da qualche gruppo fondamentalista (con i fondi molto forti) che vuole a tutto costo eliminare la bellezza della pluralità che ci sono in Indonesia. Ci vuole un atteggiamento aperto e una disponibilità per cogliere le diversità. È impossibile cambiare la costituzione che ci accoglie tutti in casa con una certa ideologia di qualche gruppo particolare, imponendola.
Così, alla fine di questo incontro, c’era un invito rivolto a noi per giocare il calcio nella loro scuola Qoranica, oppure semplicemente una visita a nelle loro case a Ciganjur. Di conseguenza, il dialogo interreligioso diventerebbe il dialogo della vita, o meglio, della convivenza tra i figli di Dio!!

jakarta, 15 aprile 2012
p. alfonsus sx

giovedì 12 aprile 2012

Makna kematian dalam kebangkitan


merenungkan Luk 23, 35-48
Yesus sendiri berdiri di antara mereka. Kata di antara adalah sangat signifikan untuk memahami kehadiran Allah di pihak kita hingga akhir zaman. Kata ini terus bergema hingga hari ini di berbagai lukisan kebangkitan, yang dibuat oleh para penginjil. Kata di antara juga mengingat simbol perjanjian dalam Perjanjian Lama, yang melambangkan kehadiran Allah di antara bangsanya sendiri. Tampaknya Allah sendirilah adalah penulis sejarah Israel atau bahkan Dialah sumber semangat hidup yang terus menuntun hati orang Israel untuk kembali .. dan menimba kembali kehidupan dari Dia agar dapat hidup. Kita bisa bayangkan perjalanan Israel melalui padang gurun dari Mesir ke tanah perjanjian dan perjalanan keluaran kedua dari tanah pengasingan menuju Yerusalem. Kita bisa juga melihat apa yang dilakukan Samuel untuk memerintah bangsa dengan panduan kebijaksanaan yang datang dari atas. Kita bisa menyimak juga misteri hubungan antara Allah dan manusia dalam metafora pernikahan yang terlukis dalam lembaran kitab-kitab para nabi dan kitab-kitab kebijaksanaan.
Tuhan ini, yang berada di tengah-tengah umat-Nya, berinkarnasi dalam sejarah manusia dan ambil bagian dalam kehidupan manusia dalam diri Kristus Yesus. Keberadaan ini juga diperkuat dengan salam awal kepada para murid-Nya, Damai –shalom- bagimu. Sebuah ucapan yang mengingatkan kita akan salam para malaikat kepada para gembala yang berjaga di Padang gurun: Kemuliaan bagi Allah di surga tertinggi dan di bumi damai di antara mereka kepada yang dicintainya (Luk 2.14).  Sekarang, karunia perdamaian diberikan oleh Kristus yang bangkit kepada murid-muridnya. Semoga mereka menyambut salam itu dalam hati mereka, seperti yang dilakukan para gembala ketika menyambut Penebus dunia dalam kedamaian dan kesederhanaan gua Betlehem.
Bagaimana kita bisa membingkai pengalaman kematian dalam logika kebangkitan Yesus Kristus? Tentu saja, menghadapi ketakutan, pengalaman bahwa tidak ada yang tahu dan dapat mengalami dua kali kematian, selalu ada ketidakpastian, rasa sakit tak tertahankan dan misteri wajah dalam  kematian yang membisu. Untuk membantu refleksi ini, saya mau mengajak melihat dua tulisan para maestro kehidupan rohani: Basilius Agung dalam homilinya tentang martir Giulitta § 4 dan § Agustinus dari Hippona dalam Confessioni 9,10-11 ketika ia berbicara tentang kematian Monica, ibunya.
Demikian Basilius Agung membagikan renungannya tentang makna kematian: seorang anak yang lembut telah diculik oleh kematian dan penderitaan yang dialami oleh ibu waktu melahirkannya kembali menyayat hatinya yang berduka untuk anak tercinta: bagaimana bisa menghentikan ratapan dan melambungkan ucapan syukur pada Allah di dalam situasi seperti ini? Jika engkau berpikir sejenak tentang anak yang engkau lahirkan, Allah Bapa adalah Bapanya yang sejati, yang menuntun dan memeliharanya sekaligus penopang kehidupannya. Mengapa kita kerap tidak mengijinkan Allah yang maha bijaksana, membagi-bagikan hartanya sesukanya, dan mengapa kita seolah-olah terganggu seperti seolah-olah Allah merampas harta milik kita? Berpikirlah bahwa anak ini tidak mati, tetapi dikembalikan, dan bahwa anakmu yang terkasih tidak mati, tetapi telah pindah tempat, dan dalam waktu yang singkat,dia telah mendahului kamu menapaki jalan yang kita semua perlu harus lewati. Jadi ... mengapa engkau tidak belajar untuk menganggap hal-hal fana sebagai sebuah kematian? Seorang manusia lahir dalam kefanaan. Apa yang sangat luar biasa terjadi ketika orang yang fana ini meninggal? Bukankah bulan itu kadang bulat bersinar dan kadang Nampak juga separuh dan padam? Bukankah engkau melihat tanah yang kini berwarna hijau dedaunan dan menjadi kering di lain waktu? Apa yang stabil di sekitar kita? Lihatlah langit dan melihat bumi: mereka pun tidak stabil. "Langit dan bumi akan berlalu. Bintang-bintang akan jatuh dari langit, matahari akan menjadi gelap, bulan tidak akan bersinar "(Mat 24,35.29). Dengan mempertimbangkan ini, ketika engkau mengalami hal yang menjadi nasib umum setiap manusia (kematian), tanggunglah ini dalam keheningan, dengan bela rasa, bukan dengan sikap acuh dan apatis, tetapi dengan pergulatan di tengah-tengah banyak penderitaan. Berjuanglah seperti seorang petarung yang murah hati, yang mengungkapkan kekuatan dan keberaniannya dengan tidak hanya memukul lawan, tetapi juga dengan menerima kerasnya hantaman dari lawan. Peristiwa kehilangan seorang anak, seorang istri yang penuh kasih atau orang lain yang paling intim dan paling kita kasihi, bukanlah sesuatu yang mengerikan bagi manusia yang bijak, yang menempatkan akal budi yang bijak untuk menuntun kehidupannya, bukan berdasar hanya pada kebiasaan.
Mengingat ibu tercinta, Monica, yang telah meninggalkan Ostia, Agustinus mendedikasikan halaman ini dalam buku yang mengurai tentang pertobatannya. Dia ingat kata-kata ibunya begini "Anaku, bagiku hidup ini tidak lagi memiliki ketertarikan lagi bagiku. Untuk apa aku di sini, apa yang kulakukan di sini dan mengapa aku di sini.. semua aku tidak tahu. Harapan saya di atas bumi ini sekarang sudah habis. Hanya ada satu hal yangpernah  membuat saya ingin untuk tinggal di bumi sedikit lebih lama: untuk melihat engkau menjadi Katolik sebelum aku meninggal. Tuhanku telah mendengarkanku dan melegakan daku, karena aku melihatmu bahkan sampai menganggap sampah kebahagiaan duniawi demi melayani Tuhan kita. Lalu, apa yang aku lakukan di sini? Kemudian adiknya meminta Agustinus untuk menguburkan ibunya di tempat itu juga, di Ostia, sambil mengucapkan beberapa kata, mengungkapkan harapan bahwa kematian tidak diterima di negeri asing, tetapi di rumah.

Semoga Tuhan kita Yesus Kristus akan menjadi motor penggerak bagi kehidupan yang ada di dalam diri kita dan menguatkan kita untuk menjadi saksi-Nya yang setia.
selamat paska
wisma xaverian, bintaro. 12 april 2012. p. alfons sx

la morte nella resurrezione


Gesù in persona apparve in mezzo a loro. La parola in mezzo è molto significativa per comprendere la presenza di Dio al nostro fianco fino alla fine dei tempi. È questa parola continua a risuonare oggi nei vari dipinti della risurrezione, fatti dai nostri evangelisti. La parola in mezzo ci fa ricordare anche l’alleanza dell’antico testamento che simboleggia la presenza continua di Dio proprio in mezzo al suo popolo. Ci sembra che egli stesso l’autore della storia di Israele o lo spirito di vita che condurre il cuore del suo popolo per tornare.. affinché viva. Possiamo immaginare il cammino di Israele nel deserto dall’Egitto verso la terra promessa, il suo ritorno dall’esilio, come ha fatto Samuele per reggere la nazione guidato dalla sapienza, come ci fanno notare il mistero del rapporto tra Dio e l’uomo nella metafora sponsale nei libri profetici e sapienziali ecc.
Questo signore che sta in mezzo al suo popolo, si è incarnato nella storia e fa parte dell’umanità in Cristo Gesù. Questa presenza viene fortificata poi anche dal suo salute iniziale ai suoi discepoli Pace shalom a voi. Un saluto che ci fa ricordare a quello degli angeli ai pastori in Luc 2,14. Gloria a Dio nel più alto dei cieli e pace in terra agli uomini che egli ama. Adesso, il dono della pace viene data dal Cristo risorto ai suoi discepoli. Che lo accolgano nella culla del loro cuore come ha fatto i pastori che accoglie il Redentore del mondo nella pace e nella semplicità della grotta di Betlemme.
Come possiamo inquadrare l’esperienza della morte nella logica della resurrezione di Gesù Cristo? Certo, di fronte alla paure, all’esperienza che nessuno lo sappia e lo può sperimentare due volte, ci sono dell’incertezza, del dolore insopportabile e del mistero di fronte alla morte silenzioso. A questo proposito, vorrei notare due scritti dei grandi maestri di vita spirituale: Basilio il Grande nella sua omelia sulla martire Giulitta § 4 e Agostino d’Ippona nelle confessioni § 9,10-11 quando parla della morte di Monica, sua madre.
Basilio il Grande fa i commenti della morte di un bambino così  stato rapito dalla morte il tenero fanciullo e dolori più atroci di quelli del parto, straziano la madre dolente per il suo diletto: come cesserà i lamenti e innalzerà parole di ringraziamento? Se penserà che del fanciullo da lei generato Dio è il Padre più vero, il tutore più avveduto, il sostegno della vita. Perché non lasciamo che il Signore, tanto saggio, dispensi i suoi beni come gli pare, ma ci turbiamo come se ci spogliasse di beni nostri? Tu pensa che il fanciullo non è morto, ma è stato restituito; che il tuo caro non è defunto, ma ha traslocato, e per breve tempo ti ha preceduto sulla via che tutti noi necessariamente dobbiamo percorrere. … perché dunque non ti sei abituato a ritenere mortali le cose mortali? Un uomo è nato mortale. Che vi è dunque di straordinario se chi è mortale muore? Non vedi la luna cresce e calare? Non vedi la terra rinverdire e riseccarsi? Cosa mai intorno a noi è stabile?  Guarda lassù il cielo e osserva la terra: neppure essi rimangono. “Il cielo e la terra passeranno. Cadranno le stelle dal cielo, il sole si oscurerà, la luna non darà più la sua luce” (Mt 24,35.29). considerando ciò, quando ti colpisce la tua parte della sorte comune, sopportarla in silenzio, non con insensibilità e apatia, ma con fatica, tra molte sofferenze. Sopporta come un lottatore generoso, che rivela la sua forza e il suo coraggio non solo colpendo l’avversario, ma anche sapendo incassare i suoi duri colpi. La privazione del figlio carissimo, della moglie affettuosa o di qualsiasi altro fra i più intimi e fra i più amati, non è qualcosa di tremendo per l’uomo provvido, che ha posto la retta ragione a guida della vita e non procede così, solo per abitudine.
Ricordando la madre carissima, Monica, che l’ha lasciato a Ostia, Agostino scrive questa pagina. è stata un’esperienza forte che è diventato uno dei elementi che ha costruito la sua conversione. Egli si ricorda delle parole di sua mamma così “Figlio mio, per quanto mi riguarda, questa vita ormai non ha più nessun’attrattive per me; cosa faccio ancora qui, e perché sono qui, lo ignoro. Le mie speranze sulla terra sono ormai esaurite. Una sola cosa c’era, che mi faceva desiderare di rimanere quaggiù ancora per un poco: il vederti cristiano cattolico prima di morire. Il mio Dio mi ha soddisfatta ampiamente, poiché ti vedo addirittura disprezzare la felicità terrena per servire lui. Cosa faccio qui?” poi, suo fratello gli ha chiesto di seppellire la madre a ostia, pronunziando qualche parola e esprimendo l’augurio che la morte non l’accogliere in terra straniera, ma in patria.
Che il nostro Signore Gesù Cristo diventi per noi un motore dello spirito di vita che c’è dentro di noi e ci fortifichi ad essere i suoi fedeli testimoni.
buona pasqua da Bintaro, Indonesia
12 aprile 2012. p. alfonsus sx

domenica 8 aprile 2012

Senso di appartenenza alla chiesa


All'inizio del triduo pasquale, abbiamo un saluto affetuoso che ci dovrebbe far pensare al nostro stato come i ministri fedeli del Cristo Risorto. Con una carità nella sua essenzialità, il Papa ha sottolineato l'importanza del senso di appartenenza alla Chiesa nell'obbedienza.
In breve tempo, la Chiesa subisce una sofferenza da parte dei suoi ministri. La questione è: la dissobedienza è una via per rinnovare la Chiesa?
che la gioia del Risorto ci illumini per interpretare i segni dei tempi, perché nella storia il Signore si rivela e compie la missione salvifica. Buona pasqua




lunedì 2 aprile 2012

Xaverian: terbang dengan dua sayap


St. Conforti: Uskup dan Pendiri Misionaris Xaverian

Cina adalah tujuan pertama dan satu-satunya misi yang dipercayakan oleh Takhta Suci untuk Misionaris Xaverian sampai pertengahan abad yang baru saja kita lewati. Karena misi "ad gentes" adalah karakter penting dari karisma Conforti, orang bisa mengatakan bahwa ketika para misionaris di uscir dari Cina dan negara ini mulai menutup diri dari kedatangan mereka, apakah ini menjadi tanda keruntuhan karisma Xaverian?  Keruntuhan misi Aad gentes bagi Gereja? Namun Penyelenggaraan Ilahi tidak berdiam diri? Atau dengan pengusiran para Xaverian dari Cina, Dia telah membuka jalan kepada karya misi yang berkarakter totalitas: pergilah ke seluruh dunia? Apakah para misionaris xaverian tidak merasa sebagai misionaris jika mereka tidak memiliki pengalaman / petualangan "heroik dan jauh dari negara mereka?
Teks ini tidak bermaksud untuk memecahkan masalah dan krisis seputar misi yang terus berlanjut hingga hari ini, tetapi memiliki tiga tujuan untuk dicapai.
Tujuan pertama adalah untuk mengeksplorasi inti dari karisma Conforti. Kelahiran karisma ini masuk dalam konteks para “mistikus hati” yang berjuang untuk Kerajaan Allah. Dalam sejarah spiritualitas modern, ada ratusan kongregasi dan individu yang bekerja untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam periode ini yang dimulai pada akhir  abad XVIII, tunas dari subjektivisme, sekularisasi dan akal budi mulai mengabaikan supremasi Tuhan. Sebagai akibatnya, iman mulai melemah, Gereja mulai dikesampingkan dan kecenderungan manusia itu sendiri. Dalam suasana ini, tiga poin penting yang bersama-sama membangun dasar hidup religius-apostolik dari St. Conforti akan diperdalam dalam bagian pertama. Bagian ini akan menguraikan pertobatannya, pertemuan dengan St Fransiskus Xaverius dan perjalanan iman, yang terangkum dalam motonya "in Christus di omnibus" (Kol 3.11)
Tujuan kedua memeriksa kekhususan dari "kedua sayap", dimana St. Conforti bersikeras selalu sejak awal pendirian Serikat Misionaris Xaverian. Para Xaverian bukanlah satu-satunya kongregasi yang membaktikan hidupnya untuk karya misi atau  untuk bertemu dengan mereka yang tidak mengenal dan mencintai Yesus Kristus. Karena itu, penting untuk memperdalam hubungan -dalam terang wawasan Conforti- antara kehidupan religius dengan profesi injili dan kehidupan berkarakter misionaris. Dengan demikian, kita bisa mendekati tujuan studi ini, yaitu untuk mempertahankan inti dasar karisma Conforti dan semoga ditemukan aktualisasinya yang sesuai dengan konteks evangelisasi baru di milenium ketiga.
Tujuan terakhir dari teks ini adalah untuk memahami di mana letak karisma St. Conforti dalam Gereja Universal. Kegiatan misionaris pada zaman St. Conforti dibayangi dengan satu ide yang kuat, bahwa identitas dari misi ini adalah pergi keluar. Karya dan tindakan yang dilaksanakan di negara-negara misi, sering diidentikkan dengan identitas utama para misionaris. Sepertinya ini adalah sebuah perangkap terbuka yang mereduksi misi hanya sebagai pergi keluar dan mengabaikan kata kerja tinga., menempatkan Dikatakan sebagai sebuah perangkap juga karena mereduksi keberadaan karya misi yang hanya bisa dilaksanakan di negara misi saja, sehingga ini berakibat mengabaikan kondisi Gereja yang mengutusnya.
Ketidakseimbangan dua kutub ini mengancam  pengosongan manusa bercorak misioner dari dalam. Mengingat kompleksitas permasalahannya, teks ini membatasi diri dengan menggarisbawahi letak dan relasi nasihat-nasihat injili dan karya misi Xaverian di dalam Gereja, sehingga inti dari pengalaman mistis St. Conforti dengan Yesus Kristus yang tersalib tetap menghidupkan pengaktualisasian dari  kasih Kristus yang mendesak kami(2 Kor 5,14).
Sumber utama untuk memperdalam spiritualitas religius apostolik dari St. Conforti berasal dari tulisan-tulisan yang terkumpulkan dalam dua dokumen utama: "Pagine Confortiane" dan "Fonti Confortiane-Teodoriane." Karakter dari " Pagine Confortiane " adalah tulisan dari St. Conforti berdasarkan tema, sedangkan " Fonti Confortiane-Teodoriane " berdasarkan  konteks historis.
Tentu saja, teks ini tidak berarti kata terakhir yang berbicara tentang karisma Conforti, tetapi hanya sebuah jembatan untuk meneruskan refleksi yang lebih dalam. Iteks ini dimaksudkan sebagai kontribusi, meskipun minimal, terhadap kehausan jiwa mencari rasa keseimbangan antara kerasulan dan kehidupan yang dibaktikan pada Allah.
diterjemahkan dari Widhiwiryawan, A., Volare con le due ali
p. alfons sx
wisma xaverian-bintaro 2 april 2012

domenica 1 aprile 2012

Niat-niat semasa Remaja 1883-1890 (1)

Salib Conforti di Rumah Induk - Parma
P. Franco Teodori mengupas latarbelakang dan sejarah niat-niat Santo Guido Maria Conforti da dua volume: FCT 6 dan FCT 14. Pada bagian pertama ini akan disuguhkan niat-niat beliau pada masa muda sejak tahun  1883 selama dia menjadi seminaris hingga tahun 1890 ketika dia menjadi seorang imam muda yang mendedikasikan diri sepenuhnya di Seminari imam diosesan di Parma.

1          Retret awal tahun pertama teologi. September 1883 di Carignano, Parma

1.            Saya akan l’apparecchio alla morte dan mengaku dosa setiap bulan.
2.            Saya akan melakukan sedapat mungkin menyatukan diri secara rohani dengan Allah.
3.            Di dalam pencobaan yang paling sulit untuk melanggar keutamaan-keutamaan, saya akan menyujudkan diriku pada Yesus Kristus.
4.            Pada pagi dan malam hari, akan kuletakkan kekudusan kemurnian di bawah naungan Bunda Maria.
5.            Saya akan melakukan tiap hari koreksi diri secara khusus tentang raccoglimento interno.
6.            Sebelum melakukan berbagai kegiatan apa saja, terutama belajar, saya akan memperbarui niatku tersebut demi kemuliaan Allah.
7.            Saya akan terus berusaha menghindari kelalaian dalam menjalankan praktek-praktek doa batin.
8.            Saya akan selalu berusaha riang dan gembira dengan semua orang, serta mendasari sikapku dengan cinta dan belas kasih terhadap segala sesuatu; sebaliknya, saya berhati-hati dengan pesta pora dan hal-hal yang tidak berguna.

Lettura d'oggi

Friends