domenica 19 febbraio 2012

Pesan Prapaskah 2012 Paus Benediktus XVI


Marilah kita saling memperhatikan satu sama lain 
agar saling menopang dalam cintakasih 
dan dalam pekerjaan yang baik (Ibr 10,24)

Foto: M Frasinetti
Saudara/i terkasih,
Masa prapaska menawarkan kepada kita sekali lagi sebuah kesempatan untuk merenungkan inti hidup kristiani: cinta kasih. Ini adalah waktu yang sangat pas agar dengan bantuan Sabda Allah dan sakramen-sakramen, kita dapat membarui peziarahan iman kita, baik peziarahan personal dan komuniter. Bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah perjalanan yang ditandai dengan doa dan sharing, dengan keheningan dan matiraga dalam penantian untuk menghidupi kebahagiaan paskah.
Tahun ini saya berkehendak membagikan beberapa renungan yang bertitik tolak dari surat kepada umat ibrani: «Marilah kita saling memperhatikan satu sama lain agar saling menopang dalam cintakasih dan dalam pekerjaan yang baik (Ibr 10,24)». Kalimat ini merupakan sebuah bagian yang diselipkan dalam sebuah perikop dimana penulis teks ibrani menganjurkan kepercayaan tulus kepada Yesus Kristus sebagai imam agung, yang telah menganugerahkan kepada kita pengampunan dan jalan terbuka kepada Allah. Hidup Kristus merupakan sebuah rangkuman dari tiga keutamaan teologis, yaitu: mendekatkan diri pada Allah  «dengan hati tulus dalam iman yang teguh (ay. 22)», dengan memegang teguh «keyakinan tentang pengharapan kita (ay.23)» dengan perhatian yang terus menerus untuk melayani saudara-saudari kita dalam «cinta kasih dan pekerjaan-pekerjaan yang baik» (ay.24). Ditegaskan pula bahwa untuk menopang gaya hidup injili ini, hendaknya digarisbawahi keikutsertaan pada perayaan liturgis dan doa-doa yang diadakan dalam komunitas, sambil memiliki cakrawala tujuan eskatologis: persatuan yang penuh di dalam Allah (ay. 25). Berhenti sejenak pada ayat 24, ayat ini menawarkan sebuah pengajaran amat berharga dan selalu aktual berkaitan dengan tiga aspek hidup kristiani: perhatian pada orang lain, relasi timbal balik dan kekudusan pribadi.

1. “Marilah kita saling memperhatikan”: unsur tanggung jawab terhadap saudara kita.
Unsur pertama adalah sebuah undangan untuk «memberikan perhatian». Kata kerja yang dipakai dalam bahasa yunani adalah: «katanoein», yang berarti: melihat dengan seksama, memandang dengan penuh makna, peka akan situasi yang terjadi. Ini semua bisa kita temui dalam injil, ketika Yesus mengundang para muridnya untuk «mengamat-amati» burung-burung di udara, yang meskipun tanpa bersusah payah bekerja, mereka dirawat dan berada di bawah Penyelenggaraan Ilahi (bdk. Lk 12,24) dan menjadi «sadar diri» akan balok yang berada di kelopak mata sendiri sebelum melihat setitik debu di mata saudara yang lain (bdk. Lk 6,41). Kita temukan juga dalam bagiak yang lain di surat Ibrani, seperti undangan untuk «memberikan perhatian kepada Yesus» (3,1), rasul dan imam agung iman kita. Dengan demikian, sabda yang membuka anjuran kami, mengundang untuk memusatkan perhatian kepada pihak lain, terutama kepada Yesus Kristus, kemudian menjadi peka satu sama lain, tidak menjadi asing bagi mereka dan tidak acuh tak acuh pada nasib yang menimpa mereka. Hal yang sebaliknya justru sering terjadi dimana lebih unggul sikap acuh tak acuh dan tidak peduli, yang menyembunyikan egoisme terlapis dengan sikap menghargai yang semu demi alasan ruang privat. Juga saat ini bergaung dengan kuat suara Allah yang memanggil kita satu per satu untuk saling menjaga orang lain. Demikian juga saat ini, Allah meminta  kita untuk menjadi «penjaga» saudara/i kita (bdk. Kej 4,9), untuk menjalin hubungan yang ditandai dengan perhatian timbal balik dan menjadi peka demi kebaikan sesama seutuhnya.
Perintah cinta kasih yang utama terhadap sesama mendesak dan menggugah kesadaran akan tanggung jawab terhadap sesama, yang seperti saya, adalah mahluk ciptaan dan anak-anak Allah. Kita semua adalah saudara dan dalam berbagai hal, juga dalam iman, hendaknya membimbing kita untuk melihat sesama sebagai «aku yang lain», yang dikasihi dengan cinta kasih tak terbatas dari Allah. Jika kita pupuk cara pandang persaudaraan semacam ini, maka solidaritas, keadilan dan juga belas kasih akan memancar dari dalam hati kita. Hamba Allah Paus Paulus VI menegaskan bahwa penyebab penderitaan dunia saat ini adalah kemiskinan rasa persaudaraan: «Dunia sedang sakit. Penyakit ini lebih disebabkan karena miskinnya rasa persaudaraan di antara sesama dan di antara bangsa-bangsa dari pada di dalam pemborosan atau spekulasi sumber daya yang mereka miliki oleh pihak lain» (bdk. Enc. Populorum progressio, 26 maret 1967, n°. 66)
Kepekaan kepada sesama menekankan sebuah kebaikan baginya dalam segala sudut pandang baik fisik, moral dan spiritual. Kebudayaan di zaman ini nampaknya memudarkan rasa akan sesuatu yang baik dan yang jahat, sementara di lain sisi, perlu menegaskan bahwa kebaikan itu ada dan menang atas kejahatan, karena Allah adalah baik dan melakukan hal yang baik (Mzm 119,68). Kebaikan inilah yang membangkitkan, melindungi dan menjadi motor penggerak kehidupan, persaudaraan dan persatuan. Dengan demikian, rasa tanggung jawab terhadap sesama memiliki makna mewujudnyatakan kehendak dan tindakan demi kebaikan orang lain, sambil mengharapkan bahwa dia membuka diri pada logika kebaikan. Menjadi peka terhadap saudara berarti membuka mata akan kebutuhan-kebutuhannya. Kitab suci mengingatkan bahaya memiliki sebuah hati yang dikeraskan dari sejenis «anestesi rohani» yang menuntun orang menjadi buta akan penderitaan sesama. Penginjil Lukas membawa dua contoh parabola dari Yesus dimana digarisbawahi di dalamnya situasi ini yang bisa tercipta dalam hati orang.
Dalam kisah orang samaritana yang baik, imam dan orang levi melewati orang yang membutuhkan pertolongan itu dengan sikap cuek (bdk. Lk 10,30-32) dan dalam kisah orang kaya dan lazarus, orang yang kenyang dengan harta duniavi ini tidak mampu melihat kondisi orang miskin (lazarus) yang sedang mati kelaparan di depan rumahnya (Lk 16,19). Dalam kedua contoh tersebut, kita punya contoh hal-hal yang bertentangan dengan «memberikan perhatian», memandang dengan cinta kasih dan dengan keterbukaan hati. Apa yang sebenarnya menghalangi tatapan manusiawi dan bernuansa cinta kasih terhadap sesama? Sering jawaban yang muncul adalah kekayaan materiil, kepuasan jasmani dan juga mengedepankan interes dan kesibukan masing-masing. Marilah kita menghindari acuh tak acuh dan ketidakmampuan untuk berbelas kasih terhadap mereka yang berpenderitaan. Marilah kita mengelakkan hati kita termakan oleh diri kita sendiri dan oleh permasalahan pribadi, yang menjadikan kita tuli akan teriakan orang miskin. Justru kerendahan hati dan pengalaman pribadi dalam penderitaanlah yang mampu menggugah kebangkitan dari dalam untuk ber-welas asih dan ber-empati: «orang benar mengenal hak kaum papa, sebaliknya, orang tidak benar tidak sanggup memahami alasannya» (Keb 29,7). Demikianlah jalan memahami sabda bahagia dari «mereka yang bermandikan airmata» (Mat 5,4), yaitu bagi mereka yang sanggup keluar dari dirinya sendiri untuk berbela rasa dengan penderitaan orang lain. Pertemuan dengan orang lain dan keterbukaan hati akan kebutuhan mereka merupakan aktualisasi sabda bahagia dan keselamatan.  
Memberikan perhatian kepada sesama mencakup juga merawat kondisi rohani pribadi dengan baik. Di sinilah saya berkehendak mengingatkan kembali satu aspek hidup kristiani yang menurut saya mulai memudar cahayanya: koreksi fraterna yang berorientasi pada keselamatan kekal. Gambaran umum saat ini, makin orang menjadi sensitif akan pembicaraan berkaitan dengan soal perawatan kesehatan badan serta penyembuhan dari berbagai macam penyakit, sebaliknya, hampir tidak dibicarakan sama sekali kepekaan akan dengan tanggung jawab terhadap kondisi hidup rohani dari sesama kita. Dalam gereja purba dan dalam komunitas yang benar-benar dewasa dalam iman, mereka memiliki gaya hidup seimbang untuk peka terhadap kondisi fisik dan hidup rohani sesamanya. Seperti ada tertulis dalam Kitab Suci «Nasehatilah orang bijak maka dia akan berterimaksih kepadamu. Berilah saran pada orang bijak, dan dia akan berkembang dalam pengetahuan» (Keb 9,8s). Kristus sendiri bermaklumat agar kita memperhatikan saudara kita yang sedang berbuat dosa (bdk. Mat 18,15). Kata kerja yang dipakai untuk mendefinisikan koreksi persaudaraan (elenchein) adalah sesama, yang merujuk pada karya misi kenabian yang mengkoreksi dari dalam umat kristiani yang sedang jatuh dalam kejahatan (bdk. Ef 5,11). Tradisi gereja memaktubkan dalam salah satu karya cinta kasih, yaitu memperingatkan para pendosa. Menjadi penting dan berarti saat ini menghidupkan kembali dimensi cinta kasih kristiani dalam tindakan ini. Tidak boleh kita berdiam diri di hadapan kejahatan yang merajalela. Saya mengacu juga pada sikap-sikap umat kristiani yang, dengan alasan menghargai sesama atau demi kenyamanan bersama, lebih cenderung untuk menyesuaikan diri dengan mentalitas yang sedang menjadi moda, daripada menjaga sesama dari berbagai macam cara berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan kebenaran dan tidak mengikuti jalan kebenaran itu sendiri. Sebuah teguran yang bernuansa kristiani tidak pernah dijiwai oleh semangat menghukum dan sikap menggerutu, melainkan digerakkan oleh cinta kasih dan welas asih yang memancar dari rasa sehati dan sejiwa demi kebaikan sesama. Rasul Paulus meneguhkan bahwa «jika seseorang terdapat berbuat kesalahan, koreksilah dia oleh kamu dengan jiwa yang lemah lembut. Dan kamu sendiri, berjaga-jagalah agar tidak jatuh ke dalam pencobaan» (Gal 6,1). Dalam dunia kita yang sudah tercemar oleh semangat individualisme, perlu kita menguak pentingnya koreksi fraterna, untuk dapat berjalan bersama menuju kekudusan, meskipun «orang benar jatuh tujuh kali» (Keb 24,16) dan kita semua adalah orang lemah dan tidak sempurna (bdk. 1Yoh 1,8). Dengan demikian, menolong sesama dan membiarkan diri ditolong oleh sesama untuk membaca diri sendiri dengan benar, untuk memperbaiki kualitas hidup dan berjalan lebih dinamis di dalam jalan Allah. Kita membutuhkan selalu sebuah tatapan yang penuh kasih, yang mencinta dan mengoreksi, yang mengenal dan mengakui keberadaan kita, yang memilah-milah dan mengampuni (bdk. Lk 22,61), sebagaimana Allah telah lakukan dan terus melakukannya kepada kita masing-masing.

2. “Satu sama lain”: sebuah pemberian timbal balik 
Sikap saling menjaga satu sama lain seperti ini bertentangan dengan mentalitas yang mereduksi kehidupan dalam dimensi duniawi saja, dan tidak memperhitungkan cakrawala eskatologis dan menerima pilihan moral apapun demi kebebasan individu. Sebuah masyarakat yang seperti ini dapat menjadi tuli terhadap penderitaan fisik, terhadap kebutuhan rohani dan kebutuhan moral dalam kehidupan. Komunitas kristiani tidak berwajah demikian! Rasul Paulus mengundang kita untuk mencari apa yang membawa «pada kedamaian dan saling mempererat pembangunan yang bertimbal balik» (Rm 14,19), sembari berbahagia pada «orang lain dalam kebaikan, untuk membangunnya» (ibid. 15,2), tanpa mencari kepentingan pribadi  «tapi kepentingan dari banyak orang, agar tibalah mereka pada keselamatan» (1Kor 10,33). Sikap saling mengkoreksi dan menasehati semacam ini, yang dijiwai oleh kerendahan hati dan cinta kasih, hendaknya menjadi bagian sentral dalam hidup komunitas umat beriman.
Para murid Tuhan, bersatu dalam Kristus melalui ekaristi, hidup di  dalam persatuan yang mengikta mereka satu sama lain sebagai anggota dari satu tubuh yang sama. Ini berarti bahwa saya menjadi milik orang lain, kehidupannya, keselamatannya merujuk pada kehidupan saya dan keselamatan saya. Di sinilah kita menyentuh aspek yang sangat mendalam dalam kesatuan kehidupan: keberadaan kita itu terkait dengan keberadaan orang lain, baik dalam kebaikan maupun kejahatan; baik dosa, maupun karya kasih, kedua-duanya memiliki dimensi sosial. Dalam Gereja, tubuh mistik Kristus dikenali akibat timbal balik dari hubungan ini: komunitas kristiani hendaknya tidak berhenti melakukan pertobatan dan meminta selalu pengampunan bagi dosa-dosa yang diperbuat oleh  anak-anaknya, dan terus menerus berbahagia juga atas kesaksian-kesaksian dalam keutamaan dan dalam cinta kasih yang telah ditunjukkan pula oleh tidak sebagian kecil dari anak-anak mereka. «Masing-masing anggota hendaknya saling menjaga satu sama lain» (1Kor 12,25), demikian Santo Paulus menggarisbawahi, karena kita adalah bagian dari satu tubuh yang sama. Cinta kasih terhadap sesama, yang teraktualisasi dalam pemberian sedekah ,– satu tindakan kasih khas prapaska bersama dengan doa dan puasa –, berakar dalam kesatuan yang bercorak saling memiliki ini. Demikian juga dalam perhatian konkrit terhadap yang paling miskin, setiap orang kristiani dapat mengaktualisasikan perhatian ini dalam satu tubuh yang sama, yaitu Gereja. Perhatian terhadap orang lain di dalam ketimbalbalikan adalah sebuah pengakuan akan kebaikan, yang Allah sendiri selenggarakan di dalamnya, dan berterimakasih bersama-sama dengan mereka, untuk keajaiban kasih karunia, yang Allah maha baik dan maha kuasa terus langsungkan di dalam anak-anak-Nya. Ketika seorang kristiani menyadari bahwa di dalam sesama bekerja Roh Kudus, dia, tidak dapat tidak, bergembira dan memuliakan Allah Bapa di surga (bdk. Mt 5,16).

3. “Saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan yang baik”: berjalan bersama dalam kekudusan.
Ungkapan ini lahir dari surat kepada orang ibrani (10,24) dan mendesak kita untuk mempertimbangkan panggilan universal kepada kekudusan, sebuah perjalanan terus menerus dalam kehidupan rohani,  mencita-citakan karisma yang lebih tinggi dan cinta kasih yang selalu lebih tinggi dan lebih subur (bdk. 1Cor 12,31-13,13). Perhatian timbal balik bertujuan saling memacu pada cinta kasih yang makin lebih efektif, «seperti cahaya fajar yang makin meningkat kecerahannya sampai tengah hari» (Keb 4,18), dalam penantian untuk menghidupi hari tanpa tenggelamnya matahari, di dalam Tuhan. Waktu yang diberikan kepada kehidupan kita adalah berharga untuk digali dan dipenuhi dengan tindakan baik di dalam kasih Allah. Demikianlah Gereja sendiri berkembang dan terus mengembangkannya untuk tiba pada kepenuhan kedewasaan di dalam Kristus (bdk. Ef 4,13). Di dalam cakrawala ini, yaitu di dalam dinamika pertumbuhan, teralokasilah nasihat-nasihat kami yang mendukung ketimbalbalikan dalam peziarahan untuk tiba pada kepenuhan cinta kasih dan pekerjaan-pekerjaan baik.
Sayang sekali, selalu hadir pencobaan apatis, pencobaan yang menggerahkan Roh Kudus, penolakan terhadap bakat, yang dianugerahkan untuk kebaikan kita dan sesama (bdk. Mt 25,25ss). Kita semua menerima kekayaan rohani dan jasmani, yang berguna untuk memenuhi rencana dan kehendak Allah, demi kebaikan Gereja dan keselamatan pribadi (bdk. Lk 12,21b; 1Tm 6,18). Para guru rohani mengingatkan bahwa dalam kehidupan iman, siapa yang tidak maju dan berkembang, dia akan mundur. Saudara/i terkasih, marilah kita sambut undangan yang selalu aktual untuk mengarahkan diri pada «kualitas yang tinggi kehidupan kristiani» (Yohanes Paulus II, Let. Ap. Novo millennio ineutente [6 januari 2001] § 31). Kebijakan Gereja untuk mengakui keberadaan dan mewartakan sabda bahagia dan kekudusan dari beberapa orang kristiani yang patut menjadi telata, memiliki maksud untuk membangkitkan kehendak untuk mengikuti jejak-jejak keutamaannya. Santo Paulus menasehati «berlomba-lombalah dalam menghargai satu sama lain» (Rm 12,10).
Di hadapan dunia yang mendesak sebuah kesaksian yang diperbarui oleh cinta kasih dan kesetiaan kepada Allah, semua umat kristiani merasakan pentingnya upaya untuk saling berlomba dalam cinta kasih, dalam pelayanan dan dalam perbuatan yang baik (bdk. Ibr 6,10). Seruan ini menjadi amat kuat terlebih dalam waktu kudus untuk mempersiapkan paskah. Teriring dengan ucapan selamat prapaskah, semoga kudus dan berbuah, saya mempercayakan pada perantaraan Bunda Maria dan dari dalam hati saya memberkati kalian semua dengan Berkat Apostolik.

Vatikan, 3 november 2011,
Paus Benediktus XVI

alih bahasa: p. alfonsus widhi sx

domenica 12 febbraio 2012

Spiritualitas penderitaan


Foto M. Frassinetti

Apa itu kesehatan? WHO memberikan definisi deskriptif: “Kesehatan adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang sempurna, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit tertentu.” Tapi definisi ini tidak mungkin, karena tidak bisa dicapai dalam kehidupan ini! Siapa yang dapat mencapai keadaan sempurna? Apakah ada orang dari kita tidak memiliki masalah dengan fisik, atau krisis yang membuat kepala Anda berputar, atau mungkin Anda bisa menemukan seseorang yang tidak memiliki masalah dengan teman-temannya, teman sekerja atau tetangganya?

Ketika membalik-balik catatan kuliah saya, kulihat ada dua pendekatan untuk mendefinisikan arti kesehatan. Maaf bahwa saya tidak ingat kutipannya dari mana, tetapi jika ada yang tahu, tolong dikasihtahu, jadi saya bisa melengkapi catatan ini.

Nah, yang pertama adalah pendekatan struktural. Pendekatan ini mendefinisikan kesehatan yang baik dalam tiga level (kesehatan fisik, mental dan spiritual) dengan tiga kata kerja (fungsi tubuh baik, merasa baik dan menjadi baik). Saya akan merujuk pada tingkat ketiga dan kata kerja ketiga: kesehatan rohani dan kesejahteraan, karena tidak begitu sulit untuk memahami dua yang pertama.
Pada taraf ini, orang tersebut melihat dirinya dalam konteks yang lebih luas dan menciptakan proyek hidupnya sendiri. Hal-hal yang terjadi dalam hidup divertikalisasikan melampaui kondisi kesehatannya. Maka, muncul logika: Hidup ini lebih dari kesehatan atau penyakit.
Ide yang sama dibawa oleh spiritualitas Santo Ignatius Loyola: “yang tidak lagi menginginkan kesehatan dari penyakit, tapi terbuka untuk segala kemungkinan, yang terpenting adalah mengenali kehadiran kehendak Allah di dalamnya.” Ini adalah semangat “lepas bebas”, karena yang penting adalah Allah itu sendiri!
Akibatnya, kita dapat meneliti lebih lanjut kondisi para mistikus dan dan relasi mendalam mereka dengan Tuhan. Jujur, saya hampir akan mengatakan bahwa mistikus banyak yang tidak sehat secara fisik, tapi mereka merasa sehat, karena mereka punya pandangan yang lebih luas dari keberadaan mereka. Itu sebabnya pengalaman mistik tidak pernah dipelajari secara terpisah – hanya terbatas pada fenomen mistik saja –, tetapi selalu dalam konteks yang lebih luas dari mistikus tersebut dan spiritualitasnya.

Pendekatan kedua menekankan kehendak, “kita bertanggung jawab untuk kesehatan kita sendiri.” Pandangan ini menekankan kesehatan sebagai sebuah hasil prestasi: sejauh mana aku telah berusaha untuk hidup sehat dalam berbagai level.
Dalam kasus para mistikus penderitaan, orang-orang ini mencerminkan sikap negatif atau setidaknya tidak peduli pada kesehatan. Kesehatan bagi merka bukanlah nilai tertinggi dalam kehidupan rohani. Itulah sebabnya muncul asketisme berlebihan, beberapa kasus TBC karena kurangnya pemanasan dalam waktu mereka, halusinasi karena puasa terlalu berat dan tidur amat kurang juga penderita anoreksia yang tidak kurang jumlahnya. Mereka merasa baik-baik dan sehat-sehat saja, karena mereka menyadari bahwa kasih Kristus untuk melindungi mereka. “Siapa yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus?” (Rm 8,35-37). Intensitas cinta kasih Kristus mentransformasi eksistensi duniawi mereka dan dengan cara ini, mereka merasa lebih baik, meskipun kesehatan yang menurun.

Bagaimana kita menghubungkan penderitaan mistis dengan teks Alkitab yang berbicara tentang kusta (lih. Im 13,1-2.44-46 dan 1,40-45 Mc)? Bagaimana Anda mengintegrasikan penderitaan, penyakit yang adalah salib yang harus ditanggung dalam kehidupan atau dalam peziarahan kita menuju Kota Abadi?
Beato Yohanes Paulus II, dalam kenangan 50 tahun ulang tahun imamatnya menulis buku, «dono e mistero». Di sini dia menekankan bahwa “rencana Tuhan tak ada yang kebetulan” (lih. hal 44.). Ini berarti bahwa tidak ada pengalaman “secara kebetulan” dalam sejarah kita. Setiap pertemuan dengan orang dan setiap peristiwa yang kita alami, memiliki makna bagi hidup kita. Demikianlah pula halnya dengan pengalaman negatif yang meliputi kesehatan rasa sakit, kelelahan dan berbagai masalah yang tidak pernah berakhir. Mungkin perlu waktu agak lama agari kita menyadari maknanya!

Pengalaman orang kusta, yang meminta penyembuhan Yesus menawarkan kepada kita garis besar peziarahan rohani dalam penderitaan. Penderita kusta menyadari danmengakui penderitaannya lalu menegaskan bahwa cinta kasih Allah itu lebih utama dari segalanya. Nah, tatapan penuh belas kasih dari Yesus memberinya harapan dan akhirnya memberikan kesembuhan.

Tantangan bagi kita adalah membuka diri pada kehendak Allah. St Yohanes dari Salib dalam bukunya “The Pendakian Gunung Karmel” menekankan sikap acuh tak acuh terhadap karunia Allah “Apakah terjaga atau tertidur, kita adalah milik Tuhan “(1 Tes 5:9-10). Sulit untuk menerima kusta di kulit kita, sulit untuk melepaskan trauma di masa lampau, dan berat juga mengatasi krisis eksistensial dalam kehidupan. Menerima ini semua berarti menerima dengan hati yang tulus, berjuang secara internal untuk menemukan kasih karunia Allah bekerja di dalamnya. Tanpa salib, tidak ada kebangkitan. Malam-malam rohani yang dijalani dalam salib akan berujung ketika orang sakit (baik fisik, psikis, spiritual) mengenali penyakit”nya dan berserah diri pada Allah yang mahakasih: “Yesus-ku, jika engkau berkenan, Engkau dapat menyembuhkanku.”

Jadi sikap mistikus penderitaan terhadap penyakit ini dapat diringkas sebagai berikut: “para mistikus tidak menahan “rasa sakit”, tetapi memanggul penyakit” dan mengidentifikasi dirinya dengan salib”. Perbedaannya terletak pada sikap positif. Penyakit ini menimbulkan pertanyaan baru dan tantangan baru. Spiritualitas mistis penderitaan memberi makna baru pada arti sebuah penyakit, sebuah penderitaan, sebuah trauma atau sebuah salib yang dipanggul.

Akhirnya, si kusta pada injil Markus, yang telah mengalami rahmat Allah bekerja dalam dirinya, tidak mungkin lagi untuk tutup mulut, karena ù terlalu besar Cinta kasih yang masuk di dalam hatinya. Hati ini pun meletus, meluapkan kegembiraannya dan membagikan pengalaman ini kepada orang lain. Cinta kasih tidak dapat berbuat apa-apa selain memberi dan membagi apa yang dimilikinya demi kebaikan sesama. Di sinilah kita menemukan panggilan tersembunyi pada awal pembacaan kedua dari 1 Kor 10,31-11,1 “Saudara-saudara, apakah Anda makan atau minum, atau apa pun yang Anda lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”. Bagi mereka yang menderita, penderitaan Anda dapat menjadi sarana istimewa untuk sebuah karya kerasulan. Sebagai contoh rasul rasul mistik dalam penderitaan adalah Concetta Bertolli dan Chiara Luce Badano.


Mistikus penderitaan menemukan makna derita mereka dalam kehendak Allah.


alfonsus widhi sx
Bintaro  12-02-2012

Mistica della sofferenza


foto di M. Frassinetti

Che cos’è la salute? WHO offre una definizione descrittiva: «La salute è lo stato di perfetto benessere fisico, mentale e sociale, e non la semplice assenza di qualche malattia». Ma questa è una definizione impossibile, perché è irrealizzabile in questa vita! Chi può raggiungere quel stato perfetto? C’è qualcuno di noi cha non ha dei problemi con il fisico, la crisi che fa girare la testa o magari si potrebbe trovare qualcuno che non ha dei problemi con i suoi amici, i suoi collaboratori del lavoro o i suoi vicini di casa?
Girando i miei appunti della lezione, ho notato due approcci per definire il significato della salute. Scusatemi che non mi ricordo più la citazione, ma se qualcuno le sappia, mi dica, per favore, così potrei completare questi appunti.
Bene, il primo è approccio strutturale. Questo approccio definisce stare bene in salute in tre livelli (la salute fisica, psichica e spirituale) con i tre verbi (funzionare bene il corpo, sentirsi bene ed essere bene). Mi riferirei al terzo livello e al terzo verbo: la salute spirituale e l’essere bene, visto che non è tanto difficile comprendere i primi due. A questo livello e stato, la persona vede se stessa in contesto più ampio e crea il suo progetto di vita. Le cose che succedono nella vita viene verticalizzato e la persona si trascende oltre la sua condizione di salute. Così entra la logica: la vita è più che la salute o la malattia.
L’idea simile è stata portata dalla spiritualità di san Ignazio di Loyola: «che non desidera più la salute che la malattia, bensì è aperta ad ogni possibilità, se in essa riconosce la volontà di Dio». È uno spirito di indifferenza, perché ciò che conta è Dio.
Di conseguenza, possiamo verificare lo stato di salute dei mistici e la sua profonda relazione con il Signore. Sinceramente, quasi vorrei dire che molti mistici non erano fisicamente sani, ma si sentivano bene, perché avevano questa visione più ampia della loro esistenza. Ecco perché le esperienze mistiche non vengono mai studiate a parte e in se stesse, ma sempre nel contesto più ampio della persona concreta e della sua spiritualità.
Il secondo approccio sottolinea la volontà: «siamo responsabili della nostra salute». Esso vede la salute come una conquista. Nel caso dei mistici di sofferenze, queste persone riflettono un atteggiamento negativo o almeno di noncuranza verso la salute. Questa non è il valore supremo nella loro vita spirituale. Possiamo notare l’ascesi esagerata di alcuni mistici, le sante anoressiche o il tubercolosi nato a causa della mancanza di riscaldamento nella loro epoca. Si sentivano bene perché capivano che l’amore di Cristo li protegge. «Chi può separarci dall’amore di Cristo?» (Rm 8,35-37). L’intensità dell’amore di Cristo sublime la loro esistenza terrena e in questo modo, si sentirebbe bene, nonostante la salute fosse malandata.
Come possiamo collegare questa mistica di sofferenza con le pagine bibliche che parla dei lebbrosi (cf. Lev 13,1-2.44-46 e Mc 1,40-45)? Come si integra la sofferenza, la malattia ossia la croce da sopportare nella vita spirituale o nel nostro pellegrinaggio verso la città eterna?
Beato Giovanni Paolo II nel ricordo del 50° del suo sacerdozio, scrivendo il libro dono e mistero, ha sottolineato che «nei piani di Dio nulla è casuale» (cf. p. 44). Ciò significa che non esiste l’esperienza «per caso» nella nostra storia. Ogni incontro con le persone e ogni evento hanno il suo significato per la nostra vita. Così vale anche l’esperienza negativa che comprende, la salute malandata, la sofferenza, la fatica ed i vari problemi che non finiscono mai. Magari ci accorgeremo dopo il suo significato!
L’esperienza di quel lebbroso, che ha chiesto la guarigione a Gesù, ci offre uno schema delle tappe di cammino spirituale nella sofferenza. Il lebbroso riconosce e prende di coscienza la sua sofferenza poi afferma il primato dell’amore incondizionato di Dio. Infatti, lo sguardo compassionevole di Gesù gli dia una speranza e alla fine ridona la guarigione.
La sfida per noi è l’apertura alle opzioni della volontà di Dio. San Giovanni della croce nel suo libro «la salita al monte carmelo» sottolinea un atteggiamento indifferente di fronte ai doni di Dio. «Sia che svegliamo sia che dormiamo, apparteniamo al Signore» (1Tes 5,9-10). È difficile però accettare una lebbra nella nostra pelle, una trauma nella nostra storia, una crisi esistenziale nella nostra vita. Accettarle significa accogliere con un cuore sincero, lottando interiormente per trovare la grazia di Dio che opera in essa. Senza il crocefisso, non c’è la resurrezione. Questa notte spirituale si culmina quando l’uomo malato e riconosce la sua malattia, si arrende all’Amore: «Mio Gesù, se vuoi, puoi guarirmi».
Così l’atteggiamento del mistico della sofferenza nei confronti della malattia si può sintetizzare così: «il mistico non sopporta, ma porta la malattia, identificandosi con il Crocefisso». La differenza sta nella positività dell’atteggiamento.  La malattia suscita nuove domande e nuove sfide, la spiritualità mistica della sofferenza, invece, dà nuovo senso alla malattia.
Alla fine, il lebbroso ha vissuto l’esperienza della misericordia di Dio ed è impossibile tenere la bocca chiusa, perché l’Amore è troppo grande da contenere nel cuore dell’uomo. È proprio qui si trova l’invito nascosto all’inizio della seconda lettura di 1Cor 10,31-11,1 «Fratelli, sia che mangiate, sia che beviate, sia che facciate qualsiasi altra cosa, fate tutto per la gloria di Dio». Per chi soffre, la vostra sofferenza potrebbe diventare un mezzo privilegiato per un apostolato come l’esempio di oggi come Concetta Bertolli e Chiara Luce Badano. I mistici della sofferenza trova senso per la sua malattia nella volontà di Dio. 

alfonsus widhi sx
bintaro, 12-02-2012

Lettura d'oggi

Friends