giovedì 25 settembre 2014

Menikah = sinkronisasi jam tangan (1)

Menjelang Sinode para uskup seduni tentang keluarga, tergoda keinginan saya untuk memfokuskan perhatian pastoral saya pada tema ini sebagai kerangka dasar dalam beberapa bulan ke depan. Banyak pro dan kontra yang muncul berkaitan dengan tema-tema dan paradigma yang disodorkan oleh sinode. Sebuah artikel tentang kehidupan berkeluarga saya ketemukan di antara tumpukan file lama, dari Paolo Magna, berjudul Oggi Sposi: Sincronizzare gli orologi. Artikel ini diterbitkan tahun 2009 oleh majalah Tredimensioni (6). Membacanya berulang membuat saya berpikir dan mengkonfrontasikannya dengan kehidupan berkeluarga yang ditemui oleh umat paroki di sini khususnya. Benang merah yang dituliskannya pun berbaur dengan kehidupan konkret, maka upaya menterjemahkannya pun tidak bisa lurus apa adanya, melainkan berkarakter inkarnatoris: ada kata dan fakta yang tertoreh di sini. Bagi rekan-rekan pembaca blog ini, selamat membaca dan mari kita membangun pastoral keluarga di tempat dimana kita berada.
Hidup itu kalau penuh dengan dinamika, sangat indah.

Apakah berbicara tentang pernikahan di zaman kita ini, adalah sesuatu yang menakutkan? Apakah ini “kuk” yang harus dipanggul oleh pasangan muda? Perlu disadari bahwa dengan menikah, ada dua jam tangan yang dicocokkan, ada dua ritme kehidupan yang disejajarkan (bukan disamakan!) di bawah satu atap. Ada pergeseran dari cinta romantis dan berkarakter pribadi, menuju pada cinta yang realistik dan sebuah komitmen berbagi bersama. Cinta yang sudah diresmikan dalam ikatan perkawinan ini pun, akan masuk dalam realitas hidup bersama di masyarakat.
Jarang sekali ditemukan fakta bahwa orang memutuskan untuk menikah itu terjadi dua minggu sebelum hari pernikahan! Menikah bukanlah hasil sebuah spontanitas untuk tinggal bersama, tetapi merupakan sebuah tindakan yang direncanakan secara konkrit dan sengaja direncanakan. Bicara soal pacaran, disinilah kita bisa mengevaluasi kualitas pacaran yang baik hingga menuju pada sebuah perkawinan. Tidak hanya yang baik, yang indah, yang romantis saja yang dihidupi bersama-sama, tetapi perlu juga mengenal jatidiri sesungguhnya dari pasangan, yang bersamanya aku akan tinggal seumur hidup! Banyak hal harus diketahui dan dikenal dari pasangan.
Kita patut heran, jika ada salah satu pasangan mengatakan bahwa, ternyata dia bukan yang kukenal selama ini, atau menyesal telah menikah dengannya…, atau menyampaikan litani keluhan tanpa akhir tentang pasangan beberapa saat setelah menikah. Oleh sebab itu, perlu ada beberapa tugas yang harus dilakukan.
1) Melacak jejak. Pasangan harus memiliki kekuatan jelas untuk membatasi daerah privat dan publik yang dimiliki sebagai hasil sebuah perkawinan. Daerah privatnya adalah relasinya dengan pasangan, secara internal, sebagai sebuah keluarga. Anda berdua yang baru menikah, memiliki sebuah tanggung jawab baru, daerah baru dan pasangan baru. Daerah ini harus dilindungi dari setiap “penyusup”. Beberapa penyusup dalam keluarga muda adalah: mertua (orang tua masing-masing pasangan), ritme kerja (selalu pulang malam dan lelah), tekanan ekonomi (kebutuhan membengkak sehingga harus kerja lebih banyak), stress di tempat kerja…ini semua bisa menjadi kerikil-kerikil yang merintangi relasi suami istri sebagai keluarga.
Tentang mertua, bukan berarti memutuskan relasi total dengan keluarga yang baru dibangun, tetapi, perlu mendidik mereka agar memiliki relasi yang baru, yang sejak saat ini, adalah dengan sebuah pasangan keluarga, bukan pertama-tama dengan anaknya sendiri. Bagi mertua, hal ini tidak mudah, terutama bagi keluarga yang protektif. Bagi keluarga protektif ini, anak-anak itu selalu anak-anak, muda dan tidak berpengalaman, untuk menyadari apa artinya membangun sebuah keluarga. Orang tua merasa paling tahu yang terbaik tentang apa yang dibutuhkan oleh anaknya yang sudah menikah. Wacana tentang “kebaikan” menurut mertua dan menurut keluarga baru harus dibicarakan, bukan dikondisikan dan dipaksakan. Pembatasan diri bagi pasangan muda juga tidak mudah, karena mereka merasa selalu perlu bantuan dan merasa tidak bisa dewasa dan harus terikat dengan orang tua. Wacana kemandirian keluarga baru adalah wujud dari kematangan kepribadian dua orang yang mengikat diri dan berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga. Terimakasih kepada orang tua yang sudah melahirkan, mendidik dan membesarkan anak. Sekarang jatah porsinya anak untuk membangun sebuah keluarga. 

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends