martedì 10 dicembre 2013

Misa Requiem Natalia Naibaho

Ketika saya membaca kisah hidup St. Agustinus, dia sangat bangga akan ibunya, Santa Monika. St. Agustinus menceritakan begini. Ketika masih kecil hingga remaja, ibunya adalah orang yang bersahaja; sederhana dan taat pada orang tuanya.  Ketika dia menikah, dia melayani suaminya dengan setia.  Meskipun suaminya itu adalah seorang pemarah, kurang sabar dan kadang tidak setia, dia tidak bertikai  dengannya, tetapi menunggu belaas kasih Allah untuk mengubah hati suaminya menjadi seorang yang beriman dan berkeutamaan. Santa Monika, menurut St. Agustinus, adalah seorang ibu yang membawa damai, yang bisa mendamaikan para tetangga yang berselisih, termasuk mengambil hati ibu mertuanya yang pernah memusuhinya, gara-gara celotehan para pembantu-pembantunya yang kurang bertanggungjawab. Santa Monika melayani siapa saja dengan bertanggung jawab. Bahkan St. Ambrosius, yang waktu itu menjadi uskup agung di Milan, sangat dekat dan bangga dengan ibunya St. Agustinus ini.
Apa yang menjadi kebanggaan St. Monika?  Satu-satunya harapan dan kebanggaan St. Monika adalah melihat Agustinus menjadi katolik, sebelum dia meninggal. Dia ingin melihat Agustinus mengabdi Allah dan meninggalkan semua hal duniawi.
Apa yang bisa kita ambil hikmahnya dari pengalaman St. Monika dan juga pengalaman kita hari ini? Paulus, dalam 2 Tim 1,14: Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan Allah kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita. Iman kita pada Kristus adalah harta yang besar dan indah., namun, terbentuk dalam bejana tanah liat. Bejana ini bermakna kerapuhan dan kelemahan manusiawi seperti: kematian hati nurani, kurang peka akan anjuran dan peringatan dari sesama, ketegaran hati untuk terus memenangkan egoisme pribadi, rasa buru-buru, berbagai macam keinginan pribadi yang tidak teratur, prinsip mau menang sendiri tanpa mengindahkan situasi dan kebutuhan orang lain, kebiasaan menampilkan identitas diri dengan berbagai topeng dan masker jati diri “agar bisa diterima”.
Ketika bejana ini jatuh dan pecah, apa yang terjadi? Tentu harus dibersihkan dan dibuang kalau memang hancur berkeping-keping, karena berasal dari tanah liat. Atau dimanfaatkan untuk hal lain. Dari sudut pandang spiritual, kita bisa melihat bahwa keterpecahan bejana tanah liat ini memiliki efek sosial. Yang lain harus menanggung resiko: membereskan, membersihkan, mengatur tempat agar rapi kembali. Dosa –atau diterjemahkan dengan kerapuhan manusiawi kita, keteledoran kita, ketegaran hati kita untuk tidak mau mendengarkan, tidak horma kita pada peraturan, kematian hati nurani kita – dosa: memiliki efek sosial, berupa kematian yang tidak adil.
Ayub, seorang mistikus penderitaan dalam Perjanjian Lama, siapakah yang bisa mengatakan bahwa dia adalah orang yang berdosa besar sehingga anak-anak, ladang, ternak dan semua hartanya habis? Dia adalah orang yang jujur, tulus dan benar. Tidak ada kesalahan kepadanya. Namun penderitaan itu diterimanya, sebagai sebuah ujian kesetiaan kepada Allah. Apakah dengan tidak adanya rahmat yang membahagiakan dan meneguhkan, Ayub akan tetap setia?
Yesus pun di atas kayu salib juga mengalami kematian yang tidak adil? Tidak ada kesalahan yang bisa ditimpakan kepada-Nya, tapi mengapa dia dihukum seperti seorang penjahat?
Dosa, tidak pernah memiliki karakter personal, karakter privat. Dosa selalu melibatkan sesama dan menghancurkan kehidupan. Kehadiran dosa, merupakan sebuah tanda akan kematian hati nurani yang tidak peka akan tujuan peziarahan kita. Kita berasal dari Allah, dan akan kembali kepada Allah. Tujuan kita ada di surga. Maka, janganlah melupakan identitas ini. Karena, yang menjadi korban dari dosa yang kita lakukan, adalah orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang yang kecil, lemah dan tidak mempunyai suara untuk bisa membalaskan kemarahan mereka.
Bagaimana bisa dipertanggungjawabkan satu gerbong kereta khusus untuk para remaja putri dan ibu-ibu yang justru menjadi korban dari kecelakaan ini? Hukuman seberat apapun, tidak akan bisa mengembalikan mereka yang kita cintai, yang kita kasihi, yang kepadanya kita memupuk sejuta pengharapan. Marilah kita berhati-hati dengan kelemahan, keteledoran dan sikap egois kita yang kurang memperhatikan orang lain, yang melihat orang lain selalu sebagai ancaman dan saingan hidup kita.. semoga sikap-sikap egoisme seperti ini tidak meminta korban yang meninggal dgn tidak adil.
Yesus dalam kesaksian iman Yoh 14, 6 mengatakan “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Kehidupan”. Hari ini, Natali ingin mengucapkan selamat tinggal kepada kita semua. Kepergiannya yang mendadak beserta dengan korban kecelakaan ini membuat kita semua terbelalak. Tidak mungkin! (disebut korban, karena mereka tidak berdaya apa-apa untuk membela diri, mereka rentan dan rapuh melawan tantangan kehidupan yang menggilas kehidupan mereka)  Mata kita tidak sanggup melihat, mulut tidak bisa berkata-kata, air mata seolah sudah kering karena beratnya penderitaan.
Hanya ada satu pengharapan terakhir: Siapakah yang akan menjadi penjamin kehidupan setelah pengembaraan di dunia kita berakhir? Yesus Kristuslah jaminannya. Dia menjadi manusia seperti kita. Dia mengalami kerasnya kehidupan di Nazaret, Galilea dan Yerusalem. Dia mengalami pahitnya menjadi korban ketidakadilan, bahkan wafat di atas kayu salib dengan ketidakadilan! Dia sendiri juga turun ke alam maut untuk menjemput orang-orang benar yang menantikan kebangkitan. Dia sendiri yang menjadi penjamin kita, bahwa barang siapa percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup yang kekal.
Natali sudah dibabtis, menerima komuni dan bersatu dengan Kristus. Kita percaya, bahwa saat ini dia hadir di tengah-tengah kita, ingin memberi salam dan menghibur kita... ingin mengatakan kebahagiaannya untuk bertemu dengan Allah yang dia rindukan.
Imbal jasa Allah kepada manusia yang percaya kepada-Nya adalah Allah sendiri, yang hadir secara pribadi dan menjemput mereka untuk masuk dalam kebahagiaan rumah-Nya.
Karena tadi mulai dengan agustinus, maka, sebagai penutup, saya cuplikkan satu kalimat dari St. Agustinus yang bisa menjad peneguhan kita: Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, ya Allah, dan hati kami belum tenang sebelum beristirahat kepada-Mu. Semoga perayaan misa requiem ini, makin meneguhkan pengharapan kita, akan tujuan akhir kehidupan kita: berkumpul kembali dengan Allah, yang menciptakan dan menebus kita.
P. Alfons sx
Paroki St. Matius Penginjil - Bintaro

venerdì 29 novembre 2013

Spiritualitas misi dalam teks-teks klasik

Membuka-buka lembaran beberapa teks klasik dari para orang kudus, saya temukan beberapa teks klasik ini yang hendak menggambarkan tentang spiritualitas mereka dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dipakai istilah misi, untuk lebih menekankan makna dasarnya, yaitu pergi, bergerak keluar, sebuah perjalanan dari titik nol menuju ke suatu target. Pergerakan ini tidak mungkin ada tanpa ada sesuatu yang menggerakkan. Nah, dimanakah dan apakah dasar yang menggerakkan para orang kudus itu untuk berkarya?
Marilah kita lihat perlahan-lahan dalam tulisan-tulisan mereka. Saya tidak mau menyuguhkan refleksi saya, tetapi saya mengajak anda sendiri untuk menangkap apa yang tersirat dalam suratan hati mereka.

  • Atti dei martiri di Lione e Vienne: Kristus yang menderita dalam diri para martir
Dalam diri para tampuk pemerintahan dan para algojo, muncul persaingan ketat dalam menyiksa, karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan kepadanya. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk memberikan pelat perunggu pada bagian yang paling halus dari tubuh yang paling rapuh. Anggota tubuhnya terbakar, namun para martir tetap tegas dan pantang menyerah, teguh dalam pengakuan imannya, karena diteguhkan oleh sumber air surgawi - air kehidupan, yang mengalir dari lambung Kristus. Tubuh para martir adalah saksi hidup dari penderitaan. Badannya sudah tereduksi karena luka dan memar, tinggal tungkai dan tidak nampak lagi wajah manusia., tetapi Kristus yang menderita di dalamnya. Ia akan dipenuhi dengan tanda kemuliaan, dengan menunjuk pada diri-Nya sendiri sebagai teladan yang telah mengalahkan para musuh-Nya, agar menjadi contoh bagi orang lain, bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa menakut-nakuti kita untuk tinggal di dalam kasih Bapa. Dimana di situ bersinar kemuliaan Kristus, tidak ada derita yang tidak tertanggungkan.
  • Atti dei martiri: il martirio di Perpetua e Felicita: Kristus yang menderita dalam diri para martir
...wanita itu diserang oleh rasa sakit saat melahirkan, seperti yang terjadi pada bulan kedelapan. Dia menderita karena proses kelahiran yang sangat sulit, dan salah satu pegawai yang membantunya dalam persalinan bertanya: "Jika sekarang engkau mengeluh seperti itu, apa yang akan engkau lakukan ketika engkau akan dilemparkan ke teater yang kau benci, ketika engkau menolak untuk mempersembahkan korban?» Dia menjawab, «Sekarang saya sedang menderita. Di sana akan ada Yang Lain yang akan menderita di dalam diri saya, karena saya menderita untuk Dia». Dia melahirkan seorang bayi perempuan, yang kemudian diambil oleh salah satu saudara perempuannya dan mengangkat dia sebagai putrinya (15,5-7).
  • La Vita di Antonio: Misi = kesaksian hidup total pada Kristus
Setelah penganiayaan mereda dan (alm) Uskup Petrus  bersaksi dengan imannya, St. Antonius kembali ke tempat tinggal soliternya dan setiap hari bersaksi dengan hati nuraninya sendiri dan masuk dalam pertempuran iman. Bahkan, dia berlatih asketisme dengan intensitas yang lebih besar. Selalu berpuasa, pakaian dalamnya terbuat dari karung, yang luar dari kulit. Sampai akhir hidupnya, ia mengikuti aturan ini: Jangan pernah mencuci badan dengan air, atau janganlah kaki menyentuh air kecuali bila itu perlu. Tidak ada seorangpun pernah melihat badan St. Antonius, kecuali saat ia dimakamkan setelah kematiannya (La Vita di Antonio 47,1-3).
  • Spiritualitas misi St. Colombanus: Peregrinantes pro Christo.
Mari kita memusatkan diri pada hal-hal ilahi, seperti seorang peziarah yang benar. Dia selalu memiliki  kerinduan pada rumah dan nostalgia ini selalu memotivasinya. Seorang peziarah selalu merindukan, bahkan dengan sangat, akhir perjalanan mereka. Itulah sebabnya, kita pun yang berada di dunia ini, kita adalah orang-orang yang berjalan, orang peziarah. Maka, kita harus berpikir sungguh-sungguh tentang tujuan dari perjalanan ini, yaitu hidup kita. Akhir dari perjalanan ini adalah rumah kita. Di tempat itu nanti, semua orang yang sudah menyelesaikan perjalanannya di dunia, akan memiliki nasib yang berbeda tergantung pada jasa-jasa mereka. Para pejalan kaki yang baik akan beristirahat di rumah mereka. Sebaliknya, para orang fasik tidak akan bisa mencapainya. Pada kenyataannya, banyak orang akan kehilangan rumah mereka, karena mereka lebih mencintai jalan menuju rumah dari pada  rumah itu sendiri. Janganlah kita mencintai jalan lebih dari pada rumah, agar tidak kehilangan rumah kediaman kekal. Maka Rumah yang demikian harus kita cintai (Instructiones VIII)
  • Caterina dari Siena: Misi = rasa memiliki pada Gereja dalam Surat kepada Paus Gregorius XI...
Seseorang yang telah menulis surat kepada Bapa Suci, seperti yang saya pahami, itu seperti setan di dalam jiwa. Sering dia masuk di bawah warna kebajikan dan kasih sayang, kemudian melempar racun. Secara khusus kepada hamba Allah, dia melakukan ini karena hanya dengan cacat pusaka, dia tidak akan tertipu.
Nampaknya wajah setan yang berinkarnasi ini telah menuliskan kepada Bapa suci dengan nuansa penuh perhatian dan kekudusan. Nampaknya dia adalah orang kudus dan benar, namun sebenarnya adalah manusia yang jahat, penasehat para iblis, penyamun dalam kehidupan komunitas kristiani dan reformasi kehidupan menggereja, pecinta cinta diri dan mencari kekayaan bagi dirinya sendiri.
Namun, tidak lama lagi, bapa dapat menyatakan jika dia datang dari orang yang benar atau tidak. Menurut saya, demi kemuliaan Allah, Bpa hendaknya mencarinya. [...] Saya berharap, dengan bantuan Kristus yang tersalib, agar Bapa tidak menjadi seerti anak kecil yang penakut, melainkan seorang yang jantan dan teguh.
  • Madelaine Delbrêl
Dalam lingkungan orang yang skeptis, menjadi penting berevangelisasi. Seseorang tidak bisa memilih antara melakukannya atau tidak melakukannya, dan juga tidak bisa memilih akan berbicara tentang apa [...]. Mewartakan Injil sesuai dengan gaya bahasa orang yang ada di depan kita itu tidak cukup. Perlu mewartakan Injil dengan gaya bahasa Yesus Kristus. Gaya bahasa-Nya adalah selalu disertai dengan kata-kata kemurahan hati-Nya.
 
Salam,
P. Alfonsus Widhi, sx
Paroki Matius Penginjil Bintaro

lunedì 4 novembre 2013

Religious life and Apostolic charism of San Guido Conforti

Conforti's crucifix at Mother house of the Xaverian Missionary in Parma
 The reality of the mission in the era of Conforti was favored by a strong idea that the identity of the mission is "to go away and for a long time." These actions, of the so-called mission in a foreign country, are often treated with the proper identity of the missionaries. It is an undeniable fact that the missionaries have given a great contribution not just in the mission. The same antithesis is also true with regard to 'burn-out' of the missionaries. Despite the very context define the way of the mission, the danger remains behind the door in the mix of the nature of the charism and the ways of expressing it, or between the orders with the hierarchical structural conditions of the state of life. The open trap of this concept is when you reduce the mission only as the "go," reducing the "live-in"; or when the existence of missionary be reduced only in the "land of mission at foreign", rejecting the Church which sent him as a missionary. The imbalance the way of thinking threatens the emptying of interiority which coincides to the person. This language pessimist does not seek to give a justification behind the crisis of the mission or the forfeiture of the missionary vocation today, but go to see the core of the mystical experience of Conforti with Jesus Christ crucified so that you may keep alive "the Christ's love that imples us forward" (2 Cor 5:14).
San Guido Maria Conforti
The Crucifix speaking from the silence of the oratory of Peace, increasing the listening heart of the young Conforti to understand "et omnia in omnibus Christus."The heart of this man is to small, called by Cardinal Angelo Roncalli as "a shepherd and two flock," but "the holy shepherd of the only flock in the Church of God," to hold the love of the cross that leads to totality of the gift of self for the consecration and mission of the Father. That love of the Father does not stop in the life of Jesus Christ, but overflows through his death, dripping from his side (cf. Jn 20:27). Only the grace of God and the generosity on the part of man can welcome him intimately, sharing it with all those who do not know and still love the One who gave His life for all, even unto death on a cross (cf. Phil 2:8 ). Contemplating under the crucified Jesus ensures the perfect setup and balanced between the state of election, of consecration and that the mandate of the mission in Jesus Christ, the Father's missionary par excellence.
At first reading of the Xaverian charism and the current phenomena that affect the religious-apostolic life, no one thought a reading so structured and well-articulated being discovered little by little along the way. There is no novelty, nor last word presented in this article, because all the spirituality are rooted in Jesus Christ and his Gospel. It is when it comes to the ways in which a child of Conforti, after a century, try to understand the mystical intuition of its founding father. Reading his writings and comparing them directly with the context of today, I try to capture in this present work, a creative reading to extract the charisma of Conforti.
The experience gained during the arrangement of the work has become an opportunity to learn the spirit that animate the religious - apostolic life of Conforti. It is the gift that is always free and in order to build up the community. First, i feel that it is the gift of God for the whole Church through the docility of Conforti to let his life formed and transformed by the Holy Spirit who inspires to relive the experience "et omnia in omnibus Christus" (Col 3:11). Another gift comes from my confreres who share their life, work, thought, and their fraternity. Thanks for all. May our Lord Jesus Christ, be the heart of the world.
Fr. Alfonsus Widhi, sx
Xaverian Missionary in Jakarta

sabato 19 ottobre 2013

Berjalan bersama Ibu Maria

Kami memuji dan memuliakan-Mu, Tuhan Yesus Kristus,
dengan kerendahan hati yang mendalam, engkau telah memilih seorang perempuan sederhana, Maria, yang menikah dengan seorang tukang kayu yang miskin, benar dan kudus, Yosep, sebagai orang tua-Mu.
Kami memuji dan memuliakan-Mu ya Yesus, karena engkau mengosongkan kebesaran-Mu sebagai Allah dengan lahir dari rahim St. Perawan Maria, untuk mengisi kehausan kami akan Allah, untuk mengangkat kami dengan kerendahan hati-Mu, untuk menguatkan kami dengan kerapuhan-Mu, untuk menuntun kami menuju kepada kemuliaan kehidupan kekal dengan kematian-Mu di salib.
Thomas a Kempis

Dormitio

Banyak jalan dan banyak tujuan di dalam hidup kita. Tujuan-tujuan itu menunjuk pada sebuah tempat dan juga memberikan cara-cara tertentu untuk bisa tiba di situ. Jika peziarahan dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk “mensakralkan” ruang dan waktu, maka tujuan dan jalan merupakan sarana yang musti dialami sebagai prasyarat agar kita bisa memaknai hidup kita.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ada kehausan manusia akan kebenaran, yang mendesaknya untuk terus mencari kebenaran, mencari kebijaksanaan hati dan memahami tujuan dari kehidupan kita yang penuh misteri ini. Kitab Putra Sirakh, ketika merefleksikan makna dari peziarahan manusia, menuliskan: «Barangsiapa berjalan, dia mengenal banyak hal; barangsiapa berjalan, dia menumbuhkan banyak pengalaman. Aku telah melihat banyak hal selama perjalanan. Pengetahuanku lebih dari pada kata-kataku» Sir 34:9-11)

Makna perjalanan adalah tujuan
Dengan berjalan, kita belajar. Dengan mempelajari banyak hal, manusia akan makin menyadari keterbatasnnya dan dengan dmeikain dia makin terpicu untuk mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan, kebahagiaan tinggal di dunia, kesadaran akan keberdosaan diri dan kerendahan hati. Maka, kegiatan berjalan itu tidak sekedar menggarisbawahi insting ragawi dan memenuhi rasa ingin tahu kita akan hal-hal baru, melainkan dengan berjalan, kita meneguhkan hakikat kita sebagai manusia peziarah, homo viator.
Dengan berjalan menikmati pemandangan, menikmati indahnya alam pedesaan atau komplek perkotaan, kita diajak untuk menelusuri relung-relung hati kita sendiri. Bukan saja gemerlap lampu yang memikat atau suara jangkrik yang mengerik syahdu yang menentukan indah tidaknya sesuatu, tetapi itu semua bisa ditangkap keindahannya jika hati manusia pun sanggup untuk membuka diri dan menerima keindahan itu. Lika-liku hati kita pun tidak akan menemukan kedamaian, sebelum beristirahat di dalam Allah (St. Agustinus).
Dalam perjalanan, tidak mengherankan bahwa seorang peziarah itu bertemu dengan jalan yang bercabang. Mari kita ingat bahwa perempatan jalan bukanlah tujuan dari peziarahan kita, melainkan sebuah persimpangan sekaligus juga tempat untuk memutuskan: kemana aku akan pergi? Maka, persimpangan bisa menjadi sebuah tempat pencobaan dan mengacaukan tujuan peziarahan yang hendak kita tuju. Seorang peziarah tidak boleh terjebak oleh persimpangan jalan, karena dia akan kehilangan identitasnya sebagai seorang peziarah yang hendak berjalan menuju satu tujuan yang sudah ditetapkan.  Di sinilah justru seorang peziarah ditempatkan dalam sebuah ujian: imannya, maksud dan intensinya yang paling dasar, motivasi autentiknya untuk mencapai tujuan peziarahan atau kembali ke rumah.
Maka, ketika berjalan, sorang peziarah diajak untuk mengalami sebuah panggilan. Dia dipanggil kepada kehidupan. Kehidupan siapa? Kehidupan yang dihembuskan kepada kita, berasal dari Allah. Di sanalah kita semua akan kembali setelah perjalanan kita di dunia ini. Kalau begitu, sejauh manakah saya sudah menunjukkan tanggung jawab kepada kehidupan yang sudah diberikan dan dipercayakan oleh Allah kepada saya?

Kemurahan hati
Berziarah berarti kita menggantungkan diri kita pada kemurahan hati orang-orang, keluarga-keluarga dan tempat-tempat yang kita lewati. Seorang peziarah membawa bekal seperlunya dalam perjalanan. Dia menyadari bahwa semakin banyak benda dimasukkan ke ransel, perjalanan akan semakin tersendat karena harus beristirahat. Akibatnya, perlu waktu lebih banyak untuk tiba pada tujuan yang hendak dicapai.
Melihat bahwa seorang peziarah itu memiliki sebuah tujuan yang harus dicapai, maka sepanjang perjalanan dia pun mempersiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Dengan bekal secukupnya dia berangkat. Maka tidak mengherankan bila seorang peziarah itu menumpang tidur dan mencari makan dimana orang menerima dia. Dengan demikian, sikap dasar yang dihidupi oleh seorang peziarah adalah sikap pasrah dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah yang menyelenggarakan kehidupan. Jika seekor burung pipit saja dilindungi oleh Allah, tentu manusiapun mendapat perhatian yang lebih dari seekor burung pipit. Semakin seorang peziarah berserah, semakin pula dia akan menikmati lika-liku perjalanan dengan dinamikanya: diterima atau ditolak, disambut dengan baik atau diacuhkan, diberi makan atau kelaparan dst. Ini semua merupakan bagian dan seni peziarahan. Bersiapkah kita membangun mentalitas peziarah dalam kehidupan kita? apakah yang merupakan kendala dan tantangannya?
Bekal apa yang perlu dibawa? Pertanyaan yang sangat menarik. Selain bekal yang diperlukan untuk kebutuhan fisik, seorang peziarah diajak pula untuk meninggalkan beban-beban lain yang tidak perlu: urusan keluarga, urusan kerja, urusan RT/RW atau mendoakan orang lain. Justru dalam peziarahan, Allah mengharapkan supaya kita berkonsentrasi hanya kepada-nya. Melalui perjalanan menyusuri batin kita, Allah ingin berbicara dan menyampaikan pesannya. Mari kita melihat perjalanan hidup kita. Dimanakah Allah berusaha mengetuk dan menyentuh hati kita? Dimanakah kita justru mengalami krisis akan ketidakhadiran Allah di dalam hidup kita? Apakah yang merupakan bakat dan talenta, rahmat dan keutamaan yang kita miliki dan kita lakukan dengan senang hati? Apakah selama ini saya menganggap hal-hal tersebut biasa atau justru saya mengabaikannya? Inilah tanda dan sarana Allah untuk berkarya di tengah-tengah kita. Jika operasi batin ini dilakukan secara serius, tentu buah-buah dari peziarahan akan dirasakan oleh keluarga, rekan-rekan di tempat kerja atau di RT/RW serta siapa saja yang berelasi dengan kita dalam kehidupan sehari-hari pasca peziarahan.



Persatuan Maria dengan Yesus
Kami memuji dan meuliakanmu, Bunda Allah yang terpilih dan hamba Tuhan (Luk 1:38), atas segala pelayanan penuh kasih dan bantuan yang sangat berharga bagi Yesus Kristus, Putramu; atas berbagai pedang yang menembus hatimu, atas jerih payah dan kerja keras yang engkau tanggung dengan sabar bersama-Nya.
Kami memuji dan meuliakanmu dengan segenap kekuatan, Bunda Allah yang amat setia dan amat dikasihi, atas segala ketekunanmu dalam iman yang teguh dan cinta kasih yang sempurna, terutama ketika para murid tercerai berai karena takut, bahkan ketika hanya sedikit saja dari para murid yang mengikuti Yesus merasa malu, engkau sendiri, dengan kesetiaan yang kokoh, engkau tetap memegang lilin iman yang bernyala dalam misteri sengsara Kristus. Engkau sendiri tidak meragukan akan kebangkitan-Nya pada hari ketiga.
Santa Perawan Maria, Bunda Allah, Ratu surga, Pengantara segala rahmat, kebahagiaan para orang kudus, penghibur orang berdosa, dengarkanlah rintihan para pendosa yang bertobat; dengarkanlah harapan mereka yang mempercayakan diri kepadamu, temanilah mereka yang mendekati ajal, lindungilah hamba-hambamu dari sijahat, bawalah bersamamu siapa saja yang mencintaimu kepada kehidupan kekal, dimana engkau bersama dengan Putra tunggalmu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, meraja sepanjang segala masa. Amin.
(Thomas a Kempis)
P. Alfonsus Widhi, sx
Paroki St. Matius - Bintaro

 

sabato 12 ottobre 2013

Ritiro del Consiglio pastorale

La Parrocchia di Santo Matius Penginjil - Bintaro
Quando parliamo del Consiglio pastorale della parrocchia, che cosa vieni in mente? é una cosa inutile? é soltanto la formalità? Serve solo per fare le attività affinché ci sono delle cose da mettere per scritto da dire al Vescovo???
Dimenticate tutte queste risposte. Fin dall'inizio, la parrocchia dove sono adesso da quattro mesi circa, funzione benissimo a causa della partecipazione molto attiva dei laici. Circa cinque anni fa, era dovuto costruire un altra parrocchia perchè la chiesa è troppo piccola per contenere diciotto mila fedeli per tutte le cinque messe di domenica. Adesso noi sacerdoti possiamo respirare più tranquilli perché accompagniamo soltanto dieci mila fedeli circa, con più di quattro cento attività annuale.
La domanda più geniale sarebbe: come si gestisce quelle attività? Non aggiungiamo le altre cose spetta al minister sacramentale, le messe nelle famiglie, i funeral, il canonico, gli insegnamenti nelle università, l'administrazione della parrocchia ecc...
Certamente il prete non deve fare tutto e non può fare tutto! Perciò, abbiamo bisogno di un consiglio pastorale, dei prodiaconi, dei volontari, dei catechisti, degli operatori sanitari, dei sagrestani, delle sicurezze .... tutti devono sentirsi che la communità parrochiale è composta da tutti i membri della parrocchia. Perciò... se fosse possibile, tutti dovrebbero partecipare, in un modo o altro, nelle attività parrocchiale.
Celebrare il patrono della stazione di San Bernadette - Tamanmangu
A che cosa serve il Consiglio Pastorale? Considerando la linea di guida della Diocesi di Giacarta, ho notato che il Vescovo desidera lo sviluppo della comunità di base, in cui la famiglia è l'agente principale. L'educazione Cristiana dei fedeli trova il suo centro nella famiglia. Perciò, I responsabili della parrocchia devono impegnarsi molto sulla pastorale delle famiglie: il rapporto tra marito e moglio, il perdono, il dialogo religioso, il vivere da Cristiano nel contesto plural, le sfide della modernità ecc. Credo che in tutti I settori, il prete non può entrare dappertutto. Il parroco ha bisogno dei collaborator, che sono I laici.
Stasera, ci raduniamo tutti... prepariamo il nostro cammino. Prima di progettare le attività del futuro, dovremo restare uniti sulla direzione e la meta da raggiungere.
Chiederei le vostre preghiere, affinché ciò che stiamo facendo... sia benedetto dal Signore.
 
P. Alfonsus Widhi, sx
il 2° vice parroco

venerdì 4 ottobre 2013

Spiritualità tranformativa - digitale

Il paradiso dei Raja Ampat - Papua che ci accoglie
L'estensione geografica dell'Indonesia è molto larga. Fare un incontro al livello nazionale di tutti I rettori dei seminari costa troppo: il biglietto d'aereo, il tempo anche per quanto riguarda la scala di priorità dei problemi da risolvere, dei progetti da fare, delle materiali da collaborare. Perciò,  la Commissione dei Seminari ha creato i vari gruppi dei seminari per poter collaborare meglio. Ci sono cinque gruppi che rappresentano la presenza di tutti.
  
1. Il Vescovo, Mons. Datus Lega insieme con i formatori dei seminari minori
2. I seminaristi della diocese di Sorong - Papua



Dal 20 settembre fino al 24 settembre ho frequentato un incontro di uno di questi gruppi. Erano presenti i rettori di dodici seminari circa, un retore dell'anno postulantato, due diaconi della diocese che ci ospitano, la rapresentanza della Commissione dei Seminari della Conferenza Episcopale dell'Indonesia e sottoscritto. allora, c'erano diciotto sacerdoti e il Vescovo della zona.
I seminari presenti venivano dale città di Manado, Makassar, Ambon e le sue cinque isole-cinque seminari, Sorong, Jayapura, Merauke. Geograficamente, questi seminari sono estesi dall'isola di Borneo fino a Papua.
Il nostro refettorio
Ho offerto il contenuto della spiritualità di carattere transformative, a partire dallo sviluppo tecnologico che invade la struttura dell'uomo... dei nostri ragazzi, affinchè noi come formatori, possano offrire l'accompagnamento adatto al loro linguaggio.
 Non è stato facile preparare questo incontro, perchè il materiale di partenza era una domanda: come costruire l'educazione di carattere transformative, visto il cambiamento globale nell'ambito digitale che penetra anche la densità della foresta di Papua, che supera la distanza delle isole dal mare...
Alla fine dell'incontro, ho raccolto una preoccupazione generale dei rettori: attraverso la presenza dell'internet e dei cellular, i nostri seminaristi  imparano a vivere con la doppia identità, a costruire pian-piano lo spirito di disobedienza e disonesta?
Perché la doppia identità? Per esempio, possiamo prendere un caso molto semplice in cui i genitori di solito mandano il mensile ai ragazzi per il pagamento della scuola (media o superior) e il dormitorio. Ci sono alcuni che iniziano a prendere il mensile per comprare il credito del cellulare o addirittura per comprare "l'ultimo prodotto" dei cellulari. Nonostante la regola fosse forte, fino a divieto dell'uso dei cellulari in seminario, questa non funzionerebbe. Se oggi il rettore incontrasse un seminarista con un cellulare a mano, ed egli lo prenderebbe... domain, quell seminarista avrebbe un altro cellulare dell'ultimo modello e di nascosto!
Apparentemente, quei seminaristi che infrangono le regole potrebbero essere buoni e bravissimi nella classe. Sono bene accettati dai compagni, hanno delle buone relazioni.. ma chissa.. la violazione delle regole commune succeed lo stesso.
Entra anche il problema del disonesto, quando la connessione dell'internet non è presente nel seminario, ma il Rettore deve dare il permesso ai certi seminaristi per andare fuori nei internet cafe, poter fare i suoi compiti. In realtà, non tutti approffittano il permesso a fare tutto ciò che si deve fare. La mancanza del controllo suscita i canali aperti per la violazione delle regole commune.
Allora, dopo aver ascoltate le varie situazioni e i vari problem che nascono e succedono ogni giorno nei vari seminari, mi domando: come possiamo preparare i nostri future sacerdoti, avendo la tecnologia a mano?
Certamente questa domanda non finisce qui... e non da rispondere in fretta. Si inizia ora l'operazione della struttura dei nativi digitali. Ci vuole uno studio integrative, a partire dalla filosofia... per poter meglio comprendere l'incarnazione del Verbo... anche in questo mondo digitale. Mi piacerebbe impegnarsi in questo ambito di formazione, perché è il nostro dovere accompagnare i nativi digitali per affrontare la realtà, la quotidianità... che non sia semplicemente un click del mouse o dei keyboard che esprime la nostra identità. La nostra gioia e fatica della quotidianità va affrontata con la nostra presenza.. tutta.. insieme con la sua fragilità umana. Avere il coraggio per affrontare la fragilità, avere l'onesta per utilizzare la teconologia, avere la maturità per servire il Regno utilizzando i mezzi tecnologici a mano sono alcuni dei nostri compiti. Fratelli, ci vediamo all'anno prossimo per confrontarsi meglio la nostra ricerca e il nostro contributo per preparare meglio i nostri futuri sacerdoti. Tanti saluti da Raja Ampat.

P. Alfonsus Widhi, sx
Missionari Saveriani - Jakarta

mercoledì 11 settembre 2013

Animazione vocazionale

Questa è una esperienza molto semplice, che fa parte del cammino vocazionale. Sì.. i nostri ragazzi che fanno parte del "Come and See Club" (CSC) hanno passato tre giorni e due notti in tre seminari e tre conventi delle suore. CSC è un gruppo vocazionale nella nostra parrocchia San Matteo a Bintaro.
All'inizio del cammino eravamo circa ottantina di persone. Poi questo gruppo si allarga fino al trecento circa.
Gli animatori della Parr. San Matteo, I seminaristi
e il Rettore del Seminari Fermentum - Bandung
Il programma di questo mese è la convivenza in modo tale che le ragazze ed i ragazzi del gruppo possano conoscere la vita quotidiana dei seminaristi o delle suore.
C'erano 75 ragazzi che hanno fatto questa esperienza. Le varie esperienza sono molto belle. Alcuni ragazzi che hanno passato la vita nel seminario maggiore sentono come se fosse la loro casa. Le ragazze che hanno vissuto questi tre giorni di convivenza raccontano la vicinanza a questa vocazione. ci sono alcuni però hanno capito che la vita da suore o da prete non è facile. Allora si ritirano...
Negli altri giorni vi racconterò le loro esperienze. Però, adesso vorrei scrivere a voi ciò che sto vivendo con questo gruppo da quasi un anno.
Innanzitutto mi sento come la donna che sta per partorire... Sì, questo gruppo è nato a partire da una realtà in cui tantissimi ragazzi non scelgono la vita religiosa o sacerdotale perchè non conoscono, non ci sono le persone che introducono questo stile di vita come una scelta da scegliere. Tantissimi ragazzi non ci pensano come un modo di vita, ma soltanto una grazia per alcuni. Mah.. non è possibile!!! Parlando con i vari insegnanti, I genitori, I colleghi dell'animazione missionaria... allora pensiamo di creare un gruppo per introdurre questo stile di vita ai ragazzi di elementare, medie e superiore.
Il cielo ci aiuta. Ho visto la loro gioia quando avevano la possibilità per conoscere meglio questo stile di vita. Ho sentito l'entusiamo nei loro volti. Ho ascoltato le loro domande... quando ci andiamo!!! Ho toccata con le mani anche la difficoltà da parte dei loro genitori per lasciare questi ragazzi per partire... Addirittura, alcuni di loro non hanno il corraggio di vedere che il loro figlio parte... Ma qui, credo che il Signore non lascia da soli I nostril genitori. Credo che l'adorzione eucaristica che facciamo ogni primo giovedì del mese grida nel silenzio... quella voce che esce dal cuore di Gesù, penetra il nostro cuore. Credo che non è una decisione facile per I genitori che devono lasciare I loro figli vanno nel seminario per diventare sacerdoti, o le loro figlie vanno nel convent per diventare le suore. Credo anche che Gesù visita le loro case... prende la sedia vuota nella loro famiglia.
 
P. Alfonsus widhi, sx
Paroki St. Matius Penginjil Bintaro
Jakarta

martedì 27 agosto 2013

Penyegaran Iman Katolik PIKAT IV 2013

Buku Kehidupan Kristus dan Legenda Orang Kudus
yang dibaca St. Ignasius dari Loyola selama masa sakitnya.
Program untuk Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta (ARDAS – KAJ) akan dijabarkan dalam 4 pertemuan. Ini berkaitan dengan implementasi di paroki, terutama untuk mengembangkan lingkungan. Maka, skema yang diusulkan akan sangat praktis karena berangkat dari pengalaman mas Felix dari keuskupan, yang akan bercerita juga tentang situasi di paroki-paroki KAJ secara umum, dan Rm. Natalis, karena pengalamannya di Cikarang dan di Kota Bumi.
Program Credo akan dijabarkan dalam 8 pertemuan: sejarah rumusan Credo, 7 konsili ekumenis pertama, spiritualitas inkarnatoris, gereja sebagai karya allah, 4 dogma tentang maria, menghidupi misteri trinitas, surga neraka api penyucian dan fenomen-fenomen mistik dan eksorsisme di dalam ajaran Gereja. Penjabaran ini terbatas. Karena apa? Tujuan pertama adalah menjawab evaluasi yang disampaikan dan ditulis oleh para peserta dalam PIKAT yang diselenggarakan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, apa saja dogma tentang Maria? Mengapa ada banyak aliran dan kelompok gereja-gereja yang beriman sama kepada Yesus Kristus? Bagaimana kita menjelaskan tentang “Allah menciptakan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan?” Dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan dibahas dan dijawab pada pertemuan-pertemuan kali ini.
Program pendalaman Credo ini akan diawali dengan 2 pendalaman Kitab Suci, berupa proses kelahiran Kitab Suci dan model tafsir Kitab Suci. Kitab Suci merupakan salah satu sumber iman kita. Oleh sebab itu kita pun diajak  untuk membacanya. Namun kita ingat, bahwa Kitab Suci itu lahir tidak sekali jadi melainkan memakan kurun waktu kurang lebih seribu tahun! Oleh sebab itu, ada banyak metode membaca dan menafsir Kitab Suci. Pada kesempatan kali ini, akan dipelajari sebuah metode sederhana bagi umat, meskipun tidak mengenyam pendidikan khusus teologi, agar bisa membaca dan memahami makna yang tersirat, seturut dengan situasi dan konteks yang sedang dihidupi.
Program Sakramen menekankan tentang aspek persekutuan dengan Allah dan sesama, lalu bagaimana persekutuan ini bisa dihayati dan dihidupi di dalam kehidupan sehari-hari. Maka, 5 tema yang diusulkan adalah aspek sosial dari sakramen ekaristi, sakramen perkawinan dari sudut pandang Gereja, seputar kerasulan keluarga di KAJ, spiritualitas penderitaan (berkaitan dengan sakramen tobat dan perminyakan) dan peran keluarga di dalam panggilan (ini berkaitan dengan sakramen imamat khususnya, dan panggilan umum di dalam Gereja). Dengan kursus-kursus ini, diharapkan agar perayaan iman yang kita jalankan bersama dengan komunitas di paroki atau di lingkungan, dapat membuahkan hasilnya di dalam kehidupan sehari-hari.
Program PIKAT dalam sektor Beriman kontekstual terdiri dari 4 pertemuan. Tema-tema ini menyangkut spiritualitas awam, Discernment karisma pada berbagai gerakan / organisasi bernuansa katolik (menjabarkan tentang kriteria-kriteria yang dipakai Gereja untuk memberi penilaian tentang kesehatan gerakan-gerakan ini), bentuk-bentuk hidup kristiani, spiritualitas jejaring sosial (berbicara tentang facebook, twitter, you tube dst. bagaimana itu dievaluasi dan disikapi dari sudut pandang Gereja). Beriman di millenium ketiga memiliki tantangan dan metode yang berbeda dengan beriman pada zaman Yesus Kristus. Iman kita tetap sama, namun konteks zaman berubah dan ini membutuhkan strategi yang berbeda. 
Bagi yang berminat mengikuti kegiatan ini, silahkan menghubungi Paroki St. Matius Penginjil - Bintaro (021) 735.8123 atau (021) 7388.2716, bagian pendaftaran PIKAT.
 

 

 
1.    3 Sept: ARDAS KAJ: Implementasi di Paroki – lingkungan (Bp. Felix)
2.    6 Sept: Proses kelahiran Kitab Suci (P. Purnomo, ofm )
3.    10 Sept: Sejarah Rumusan Credo (P. Eddy, ofm)
4.    13 Sept: 7 Konsili ekumenis pertama (P. Eddy, ofm)
5.    17 Sept: Pengembangan lingkungan (P. Natalis, Pr)
6.    24 Sept: ARDAS KAJ: kaderisasi dan pendampingan pelayan pastoral-leadership (P. Natalis.Pr)
7.    27 Sept: Spiritualitas inkarnatoris: Allah menyelamatkan kita melalui Yesus Kristus (P. Memo, sx)
8.    1 Okt: Peran keluarga dalam panggilan (P. Lukas, osc)
9.    4 Okt: Spiritualitas jejaring sosial (P. Alfons, sx)
10. 8 okt: Bentuk-bentuk hidup kristiani (P. Gerris, sx)
11. 11 Okt: Gereja sebagai karya Allah: Satu, Kudus, Katolik, Apostolik (P. Gerris, sx)
12. 18 Okt: Dogma-dogma tentang Maria (P. Riki, Pr)
13.  22 Okt: Discernment Karisma pada kelompok-kelompok bernuansa katolik (P. Alfons, sx)
14. 25 Okt: Spiritualitas awam (P. Yus noron, Pr)
15. 29 Okt: Surga, Neraka, Api penyucian dan Persekutuan para kudus (P. Purnomo, ofm)
16. 1 Nov: Situasi Kerasulan keluarga di KAJ (P. Erwin, msf)
17. 8 Nov: Model tafsir Kitab Suci (P. Ruby, sx)
18. 12 Nov: Aspek sosial dari Sakr. Ekaristi (P. Adi, osc)*
19. 15 Nov: Sakramen persekutuan: Imamat dan Perkawinan (P. Purbo, pr)
20. 19 Nov: Fenomen-fenomen mistik dan eksorsisme di dalam Gereja (P. Alfons, sx)
21. 22 Nov: Sakr. Tobat dan Perminyakan: Spiritualitas penderitaan (P. Daniele, sx)
22. 26 Nov: Menghidupi misteri trinitas (P. Narko, ofm)
23. 29 Nov: Pastoral kontekstual dan berbasis data di lingkungan (Bp. Felix)
 nb. tanda (*) masih dalam konfirmasi

Jakarta, 27 Agustus 2013
Peringatan St. Monika
by. p. Alfonsus Widhi sx
 

 

domenica 7 luglio 2013

Pengalaman

Venezia


Apakah yang kita pikirkan bila mendengar kata pengalaman?
Seringkali, kita merasa kalau waktu terus berlalu dengan cepat. Berbagai hal terjadi, namun kita tidak bisa menikmatinya secara penuh. Seolah segalanya berlalu begitu saja tanpa kita menyadari, seperti ketika kita naik boot dan berkeliling di kota Venezia.
Orang-orang pada abad ini lebih cenderung untuk mengatakan pengalaman sebagai sebuah kesadaran psikologis tentang keadaan di dalam diri seseorang, situasi afektif dan emosinya. Maka, aspek kesadaran inilah yang memegang prioritas dari pada sebuah kehadiran efektif di suatu tempat.
Tentu ini sebuah pergeseran pemahaman dibandingkan dengan makna pengalaman di abad lalu. Pada abad XX, istilah pengalaman cenderung dimaknai sebagai sebuah kehadiran langsung dan real yang tampak di depan kita. Nilai langsung dan real menyangkut keterlibatan dari panca indera kita dalam menyentuh, merasa, membaui, mendengar dan melihat.  Keterlibatan ini hendak menyatakan bahwa kehadiran seluruh jati diri manusia pada waktu dan ruang tertentu menunjuk pada keterlibatannya dalam mengalami sesuatu.
Jika saya bertanya, apakah kamu sudah pernah makan tahu dan tempe? Orang abad XX akan menjawab secara positif ketika dia sudah makan, entah waktu makan itu pemikirannya ada di situ atau tidak. Entah ketika dia makan, dia asyik ngobrol dengan temannya atau pusing dengan permasalahan yang dihadapinya, sehingga ketika makan selesai dia tiba-tiba menyadari bahwa tempe dan tahu sudah habis. Dalam koridor ini, jika orang tidak menyadari kalau sedang makan tahu tempe, tidak ada keterlibatan afektif dengan tahu dan tempe yang sedang dimakan, orang-orang abad XXI agak meragukan kalau dia sudah secara terminologis, pernah mengalami makan tahu dan tempe. 
Ada juga jenis pengalaman yang lain, yang biasa dikenal dengan pengalaman religius. Pengalaman ini menandai sebuah kontak yang hidup dengan Yang Ilahi melalui kesadaran akal budi. Pengalaman ini lahir dari kondisi natural yang muncul dari dalam diri manusia. Secara alamiah, ada kecenderungan dari dalam dirinya untuk kembali kepada Yang Ilahi, dengan berbagai ungkapan ritus liturgisnya. Bahkan tanpa perlu mencari dasar-dasar yang menyusun iman di dalam peristiwa historis dari Perjanjian dan Perwahyuan, seperti dalam tradisi katolik.
Oleh sebab itu, pengalaman religius katolik merupakaan salah satu pengalaman dari ratusan dan ribuan pengalaman religius setiap orang untuk mencoba menempatkan diri dalam relasi dengan Yang Ilahi. Satu hal yang mencirikaskan pengalaman religius katolik adalah sosok Allah yang bisa dikenali oleh manusia sejauh Dia mewahyukan diri kepadanya (DV 2).
Dengan demikian, pengalaman religius katolik tidak berbicara soal pengalaman tentang Allah saja, melainkan pengalaman dengan Allah. (Alfonsus Widhi, sx)

sabato 22 giugno 2013

Kapitel General Xaverian - 21 juni 2013

Kita mulai hari ini dengan presentasi dari Direksi General: P. Rino Benzoni, P. Luigi Menegazzo, P. Carlo Girola, P. Katindi Ramanzani dan P. José de Jesus Romero Vera. Setiap kapitularis menerima satu paket presentasi dan 21 lampiran. Moderator hari ini adalah P.  Antonio Flores Osuna.
P. Benzoni, General Xaverian, menghantar session ini dengan mengingatkan dua peristiwa amat penting, yaitu kanonisasi Pendiri Xaverian dan pembukaan ladang misi baru di Thailand. Kanonisasi merupakan peristiwa pendalaman pembaharuan hidup royani, yang telah dihidupi dengan kegembiraan seluruh kongregasi. Figur dan pilihan-pilihan hidup Conforti harus menjadi titik orientasi kehidupan kita, demikian penegasan P. Benzoni. Selain itu, peristiwa kanonisasi juga mengajak seluruh kongregasi untuk memusatkan diri pada tujuan unik dan khas dari kongregasi untuk mengevaluasi kehadiran dan kegiatan kita di berbagai macam regio.
Presentasi P. Benzoni juga mempertimbangkan realitas personalia dan perkembangan kongregasi sejak berdirinya. Dari tahun 1984, prosentasi para anggota yang keluar hampir 60%, baik yang berkaul kekal maupun sementara. Tenaga-tenaga baru yang siap untuk misi semakin terbatas. Kongregasi sedang mengalami penuaan dengan ritme yang cukup cepat. Bagi DG, perlu membuat refleksi kritis, tapi tanpa menjatuhkan kesalahan pada pendidikan.
Kemudian beliau berbicara tentang aspek internasionalitas dan interkulturalitas. Inilah due elemen penting bagi model kehidupan kita untuk berkarya, agar lebih tegas, rendah hati, solider, kreatif, dan berdasar pada identitas kita dari pada apa yang kita buat (XV CG 46). Komunitas internasional membutuhkan sebuah spiritualitas yang seirama.
Berikutnya, diuraikan tentang komunio dan komunitas. Kongregasi sedang berkembang dalam aspek ini, meskipun kita masih kurang belum yakin bahwa komunitas adalah misi pada dirinya sendiri. Seringkali tetap menjadi sebuah ide bahwa komunitas dilihat sebagai penghalang bagi kara misi dan pengerem bagi semangat kerasulan kita. Demikian juga komunikasi di dalam komunitas kita juga melemah, baik dalam penyampaian maupun mendengarkan.
Relasi DG berlanjut dengan evaluasi kegiatan animasi misioner dan panggilan, pendidikan, struktur pembinaan, personalia dalam pendidikan, teologi internasional dan bina lanjut.
Berkaitan dengan situasi ekonomi, di hadapan krisis moneter dunia yang bergerak secara tersembunyi, pilihan-pilihan yang telah dibuat oleh DG telah menunjukkan efektivitasnya. Maka, situasi perekonomian secara umum masih terkendali. Namun demikian, permasalahan masih ada di beberapa regio yang masih harus ditopang kehidupannya. Menurut DG, tidak dapat dihadapi permasalahan ini di luar dari pilihan-pilihan yang telah dibuat oleh Santo Conforti, terutama dalam kepercayaan penuh pada Penyelenggaraan Ilahi.
Presentasi berikut menyentuh beberapa aspek dari kehidupan kita: kerapuhan manusiawi, perubahan status yuridis dari regio ke delegasi, rumah induk, konfrater berusia lanjut, penerbitan xaverian, rumah direksi general, postulat, pusat studi xaverian (CSCS), relasi dengan Tahta Suci, keuskupan, suster xaverian, awam xaverian dan kongregasi-kongregasi misioner lainnya.
Pada akhirnya, relasi dari DG mengutip pesan pertemuan para superior general (USG) pada bulan Mei 2013: Kita sadar tentang krisis yang sedang kita hadapai itu cukup dalam dan terstruktur (...) satu politik yang memperbaiki permukaan nampak kurang bijaksana. Demikian juga tidak bisa diperkirakan dengan baik jalan yang harus ditempuh. Ini adalah waktu untuk berdiscernment, saat menantang untuk membaca dengan mendalam proses secara komuniter dan dengan iman.  
Reuni kapitularis menjawab dengan penuh syukur pelayanan yang telah dijalankan  P. Benzoni bersama dengan penasehat di dalam kongregasi.
Menjelang siang, dibuka sebuah session dialog. Beberapa tema yang disentuh misalnya tentang kontrak dengan keuskupan dimana kita berkarya, biaya ristrukturisasi musem cina dan etnografi, beberapa permohonan baru dari para uskup,prioritas yang kurang untuk dialog inter-religious dan inter-kultural, gaya hidup memimpin lebih berkarakter penjiwaan dari pada penekanan.
Pada sore hari, diskusi berlanjut tentang 1) relasi antara DG dengan regio-regio (diharapkan lebih dapat bekerjasama, lebih bisa hadir di dalam kehidupan di regio), 2) tentang personalia dan mereka yang mengundurkan diri (tidak cukup statistik untuk memahami gejala ini), 3) tentang pronlematik dan relasi antara ad gentes dan ad extra, 4) tentang komunio dan komunikasi (ternyata kita tidak memberikan terlalu banyak waktu untuk berkomunikasi dengan para konfrater), 5) tentang teologi internasional, 6) tentang situs web DG.
Pada sore hari, P. Carlo Girola mempresentasikan administrasi finansial kongregasi. Kita bersyukur kepada Allah karena Penyelenggaraan Ilahinya yang menyertai kita hingga periode krisis ini.
By Stefano Raschietti, sx
Terj. Alfonsus Widhi, sx

Kapitel General Xaverian - 19 juni 2013

Pada hari kamis 19 juni 2013, kita mendengarkan presentasi dari “benua tua” Eropa. P. Benzoni membaca surat-surat sambutan yang dikirimkan oleh Mons. Solmi (Uskup Parma) dan Kard. Filoni “Kongregasi untuk Pewartaan iman”. Satu surat telah ditulis juga kepada Paus Fransiskus, namun sampai sekarang belum ada jawaban. Namun, P. Rino, yang telah menemuinya setelah perayaan ekaristi di St. Marta, menerima pesan darinya agar tetap semangat dan terus maju.
Pada hari ini masih belum hadir P. Vincenzo Munari, yang masih tinggal dalam keluarga karena meninggalnya saudara kandung.
Moderator pada hari ini adalah P. Renzo Larcher. Dia mengundang P. Luigi Menegazzo untuk mempresentasikan satu session “di luar skema” tentang para konfrater kita di Thailand..

Thailand: satu misi baru xaverian
Empat pioner di ladang misi yang baru berada di Bangkok. Mereka sedang bekerja keras mempelajari bahasa dan budaya Thai. Ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Beberapa kali mereka bertemu dengan Uskup Nakhon Sawan, dimana mereka akan berkarya di sana. Saat ini mereka masih ditopang oleh para suster xaverian dan para misionaris PIME. Mereka sudah mulai merencanakan berbagai karya pastoral dan hidup di dua komunitas berbeda. Mereka berharap agar memperoleh “bantuan personalia” dan bisa bertemu dengan para xaverian di regio asia lainnya.
Dalam session tanya jawab, P. Benzoni e P. Menegazzo menginformasikan bahwa ladang baru yang dipilih para xaverian di Thailand bukanlah Bangkok, melainkan keuskupan Nakhon Sawan, dimana mereka akan mendedikasikan “pewartaan pertama”. Dua konfrater sudah menerima visa misionaris dari pemerintahan Thai. Menjadi tugas bagi direksi general baru untuk mengkonkretisasikan proyek xaverian di dalam ladang misi yang baru.

Spanyol
Presentasi dibacakan oleh P. Mario Mula. Di dalam delegasi Spanyol ada 9 konfrater yang terbagi dalam dua komunitas di Madrid dan Murci. Para konfarter Spanyol boleh dikatakan “cukup puas dengan karya misioner dan gaya hidup xaverian yang sedang mereka jalankan”.
Menyimak bersama situasi kongregasi, diminta kepada kapitel general agar lebih menaruh minat pada bagaimana kita (soal identitas jatidiri siapa kita sudah diperdalam di tahun-tahun sebelumnya). Yang dimaksud dalam hal ini adalah beralih dari internasionalistas di dalam kongregasi kita saat ini  kepada interkulturalitas yang harus dibangun secara sadar.
Sektor lain yang mendesak adalah apa yang kita buat, termasuk juga menurunnya jumlah para xaverian? Seringkali dikutip pernyataan ini: bukan Gereja yang memiliki misi, melainkan adalah misi yang memiliki Gereja (J. Moltman). Untuk lebih memfokuskan pusat perhatian, kita harus mengevaluasi efektivitas busur dan panahnya: kita sedang berada pada perhitungan di dalam kongregasi
Session dialog menyinggung tema-tema berikut: Assosiasi budaya intessendo, perbahan dari regio ke delegasi, jaringan relasi dengan para sahabat dan animasi misioner di masyarakat.
Italia
P. Rosario Giannattasio, dengan bantuan P. R. Larcher dan P. M. Menin menghadirkan presentasi dari regio Italia, dimana saat ini ada 149 xaverian yang berkaul kekal. Mereka terbagi di 15 komunitas. 55 konfrater diantaranya tinggal di Rumah Induk, dan diantara ini, 24 sedang menjalani perawatan. Permasalahan pokok yang sedang dihadapi regio ini adalah penurunan jumlah konfrater yang aktif dengan sangat cepat, ada disorientasi dan kecemasan tertentu, relasi persaudaraan, situasi sakit dan ketuaan.
Regio ini berkonsentrasi di lima bidang: 1) animasi misioner dan panggilan dalam berbagai level (ada kebutuhan akan kehadiran konfrater berkualifikasi), 2) proyek budaya misioner dengan CSCS di Parma dan CSAM di Brescia dalam berbagai sektor, 3) pendidikan dalam komunitas telogi di Parma, 4) perawatan konfrater yang tua dan sakit di Parma, Vicenza (dan Desio), 5) Inisiatif ad gentes (sebagaimana dideskripsikan di Vita nostra n. 238).
Diangkat juga tentang Awam Xaverian dan Asosiasi Misionaris Onlus.
Dalam dialog, naik ke permukaan tema berikut: Prokura, Museum dan regio Italia, kemudian missione ad gentes di Italia dan relasinya dengan para imigran, para penderma dan pengumpulan dana, OnLus, para xaverian yang mulai berkurang kemampuannya dan animasi, panggilan xaverian, pengakuan untuk pendampingan pada yang sakit dan tua ....

Inggris
Mulai P. Kevin Ryan, yang memuja iman orang-orang skotlandia, yang diteguhkan dengan darah para martir. Dalam iman ini, dia menunjukkan satu tanda: the quake (satu piala untuk minum) dengan dua pegangan untuk berbagi minuman dengan para sahabat. Dengan jelas, P. Kevin menarik dari dalam tasnya juga satu “Chivas Regal, blended Schotch Whisky, aged 12 years”. Botol yang lain adalah “GlenGrant” yang diperuntukkan bagi P. Luigi Anzalone yang sedang berulang tahun hari ini.
Presentasi dibacakan oleh P. Giovanni Zampese, dibantu denga P. K. Ryan. Di Inggris ada 11 konfrater xaverian yang tinggal di 4 komunitas: Paroki Glasgow, Institut Conforti di Coatbridge, komunias di Preston dan London. Secara khusus, melalui Institut Conforti, kita memberikan banyak pengaruh di paroki-paroki dan sekolah-sekolah, sambil membentuk para pemimpin, guru, dan  juga di dalam masyarakat secara umum.
Lima konfrater berkarya di sekolah, dengan program berkarakter religius. Semuanya berkecimpung di dalam hari minggu misioner (180 per tahun). Sebagian besar kelompok para sahabat dan penderma berkarya di dalam animasi misioner dan pengumpulan dana.
Beberapa hal dijelaskan berikutnya dalam diskusi seperti tema: Institut Conforti di Scozia, kerjasama dengan CEM Mondialita di Italia, animasi di sekolah-sekolah, hari minggu misioner, rumah xaverian di London, kerjasama atlantik antara USA dan Inggris dan atau kerjasama dengan Eropa (ENG – ESP – ITA), seputar inisiatif ekumenisme dst.

Delegasi Central
P. Luigi Anzanello, provinsial dari delegasi membacakan presentasinya. Ada 60 konfrater yang tinggal tersebar di: Direksi General, Collegio Conforti, Prokur dan Museum, Tavernerio, Paris, Thailand dan tempat lain (14 konfrater). Presentasi pendek berakhir dengan sebuah harapan: kerjasama lebih erat antara delegasi central dan regio Italia dalam animasi misioner dan panggilan, untuk mempersatukan kekuatan.
Diantara beberapa pertanyaan, adalah minta penjelasan tentang: rumah di Paris, pelayanan khusus ad personam, kesulitan terlibat dalam animasi misioner dan panggilan terkait dengan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan, relasi dengan regio italia, aktivitas penyambutan beberapa kelompok, partisipasi pada kursus pembaruan tiga bulanan dst.

Kita baktikan waktu untuk berbicara tentant kelanjutan kegiatan kapitel di beberapa hari mendatang. Lalu pada sore hari kita berkumpul untuk beradorasi bersama.
By Marcello Storgato, sx
Terj. Alfonsus Widhi, sx

Lettura d'oggi

Friends