Tuhanlah Gembalaku, takkan
kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput
hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun
aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah
kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan
tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di
hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Kebajikan dan kemurahan belaka, akan mengikuti aku seumur hidupku dan aku akan
diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa (Mzm 23).
|
Camping musim panas di Arabba, Italia 2007 |
Gambaran
tentang Allah yang dimiliki oleh pemazmur ini mengungkapkan sebuah keyakinan
akan kesetiaan Allah dalam berbagai situasi kehidupan manusia. Kata berbagai situasi menggarisbawahi
betul-betul apa yang manusia alami setiap hari: jerih payah bekerja dari pagi-pagi
buta sampai larut malam, kesuksesan dan kegagalan yang ditemui, permasalahan
dan solusi yang didapat untuk membongkar kerumitan problematika hidup, duka dan
tawa di hadapan sebuah peristiwa, kegetiran dan kelegaan dalam menghadapi
sesuatu… di setiap saat itu, Allah menyertai dan mendampingi dengan setia.
Ada dua
permasalahan yang muncul dari figur Allah yang demikian. Pertama, mengapa Allah, Sang Kehidupan, tidak membebaskan saya dari
pengalaman getir kehidupan dengan mujijat-Nya dan kedua, Apakah dengan mencintai, maka seseorang itu menunjukkan
kelemahannya?
Untuk pertanyaan
pertama, kepastian janji Yesus Kristus kepada kita adalah Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman (Mt 28,20). Salib
di puncak golgota persis berada di tengah-tengah dua orang lain yang disalibkan
bersama Yesus Kristus. Dia bisa membuat mujijat untuk membebaskan diri
dari derita dan maut yang mengancam dari salib. Tetapi, itu tidak dilakukan-Nya
demi kesetiaan pada setiap ajaran yang Dia sampaikan selama masa hidup-Nya,
seperti mencintai, mengasihi musuh, mengampuni dan mendoakan mereka. Orang dewasa
tahu bahwa setiap pilihan yang dibuatnya itu mengandung resiko. Jika Yesus telah
mengajarkan demikian, maka Dia pun mengambil resiko total dari apa yang sudah
diyakini-Nya. Yaitu, bahwa rantai kekerasan harus dipotong dengan pengampunan. Ini
sebuah prinsip yang sangat kokoh karena hendak menggarisbawahi kekuatan dan
kedigdayaan seseorang itu ternyata tidak diukur dari kemampuannya untuk membalas
dendam, tetapi dari kesanggupannya untuk mengendalikan amarah dan ketakutan
dalam dirinya.
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) berpendapat bahwa tujuan
hidup manusia adalah menaklukkan pada dirinya segala sesuatu yang bersifat irasional
dan menguasainya dengan bebas serta menurut keteraturannya sendiri. Ketika orang menjadi marah, kalut dan dunia sekitarnya
nampak gelap, hampir tidak ada kebebasan dalam dirinya untuk bertindak, karena
segala yang dia lakukan itu berdasar pada naluri untuk mempertahankan diri. Entah apa yang dipertahankan. Ini bisa berupa
egoisme, harga diri, rasa malu ... yang penting tidak kehilangan muka.
Dengan usaha yang tak kunjung henti, maka dia akan menyadari
bahwa hidup yang sungguh-sungguh adalah
mencintai. Inilah titik kritis yang menjadi acuan pada jawaban atas
pertanyaan kedua. Jika seseorang
mencintai dengan tulus dan jujur, apakah dia itu lemah? Kemampuan seseorang untuk sanggup mencintai
seperti demikian, kerap dipengaruhi oleh figur tentang Allah yang dia bangun
dalam imannya. Anselmus, seorang
teolog, filsuf, rahib dan uskup agung Canterbury, berpendapat bahwa iman harus dijalani secara rasional. Tentu saja
isi ajaran iman tidak bisa dibantah, tetapi akal budi bisa mendekati
kebenaran-kebenaran iman yang tak terbantahkan. Maka, orang beriman pun
musti berani mendekati iman secara rasional.
Mengaktualisasikan pemahaman Anselmus, kita ditantang untuk
bertanya, apakah orang lain yang tidak memiliki pemahaman figur tentang Allah
yang berbeda dengan saya itu harus dilenyapkan? Jika rasionalitas dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan
instrumental, maka akan terjadi pemutlakan hal-hal teknis, sehingga
petimbangan-pertimbangan moral diabaikan karena proses musti berjalan. Ini paham
ideologi yang sangat berbahaya. Jika Anselmus berpendapat bahwa pengertian tentang
Allah sebagai sesuatu yang lebih besar dari
padanya tidak bisa dipikirkan ada dalam pikiran, maka musti harus diterima
bahwa Dia juga ada di luar pemikiran, yakni dalam realitas - kenyataan. Di sini
kita harus berhati-hati! Adanya Allah tidak boleh dimengerti secara empiris saja
(seperti ada merpati, harimau, gunung, lautan…). Allah ada baik dalam akal budi,
maupun dalam realitas, maupun dalam diri-Nya sendiri.
Jika Jhon Locke,
seorang filsuf yang dikenal sebagai bapak liberalisme klasik, menyatakan bahwa keadaan alamiah manusia adalah tiap orang
sederajat. Tidak ada otoritas, tidak tunduk siapa-siapa dan di bawah bimbingan
akal, maka, siapakah aku sehingga berhak menghentikan kehidupan yang ada
dalam diri orang lain? Atas kuasa siapa aku menjalankan hal itu dengan sah?
Tidak ada! Hanya Sang Kehidupan yang berhak mengambil lagi kehidupan yang telah
dianugerahkan-Nya kepada manusia. Allah tidak perlu seorang pembela sehingga
manusia pun bisa mengambil hak Allah untuk mengambil kehidupan sesamanya. Justru
hal yang sebaliknyalah yang harus dilakukan, yaitu bahwa manusia menjadi pejuang
kehidupan bagi sesamanya. Dengan melakukan ini dia akan menjadi seorang
pecinta. Dia mencintai orang lain, bukan karena fungsi utilitarisme, kegunaannya
bagi saya, tetapi karena menyadari kualitas jati diri sebagai sesama mahluk
ciptaan Allah.
Jebakan muncul
ketika manusia terkotak-kotak dalam institusi agama. Dalam agama, pedoman untuk hidup baik dapat ditemukan dalam
perintah-perintah Allah. Di sini, agama berusaha menjamin hidup bermoral
berdasar keyakinan bahwa Allah adil: memberi surga untuk yang baik dan neraka
untuk yang tidak baik. (Paham tentang keadilan Allah ini diperbarui oleh Yesus
Kristus dan akan kita bicarakan di bagian lain). Jika hakekat moralitas adalah bagaimana hidup baik, maka agama mana yang dapat
menjadi dasar moralitas yang benar? Jika agama menjadi dasar hidup bermoral,
bagaimana orang yang tidak beragama atua beragama hanya di KTP dan tidak
mempraktekkannya, ternyata kok bisa juga menampilkan hidup bermoral? Bagaimana
agama-agama yang berbeda dapat tiba pada penilaian moral yang sama dalam banyak
hal? Ini menandakan bahwa moralitas tidak mengandaikan agama. Sekat-sekat yang
memisahkan institusi agama tidak bisa membatasi nilai-nilai moral.
Kesanggupan untuk
mencinta dan membela kehidupan adalah karakter dari orang yang memiliki visi
yang kokoh tentang Allah, manusia dan ciptaan. Hingga suatu saat nanti pun, ketika kita
memahami jati diri Allah adalah demikian, semoga kebajikan dan kemurahan Allah
saja lah yang akan mengikuti kita seumur hidup kita dan semoga... kita pun akan
diam di dalam rumah Tuhan sepanjang masa.
P. Alfonsus Widhi, sx