giovedì 12 aprile 2012

Makna kematian dalam kebangkitan


merenungkan Luk 23, 35-48
Yesus sendiri berdiri di antara mereka. Kata di antara adalah sangat signifikan untuk memahami kehadiran Allah di pihak kita hingga akhir zaman. Kata ini terus bergema hingga hari ini di berbagai lukisan kebangkitan, yang dibuat oleh para penginjil. Kata di antara juga mengingat simbol perjanjian dalam Perjanjian Lama, yang melambangkan kehadiran Allah di antara bangsanya sendiri. Tampaknya Allah sendirilah adalah penulis sejarah Israel atau bahkan Dialah sumber semangat hidup yang terus menuntun hati orang Israel untuk kembali .. dan menimba kembali kehidupan dari Dia agar dapat hidup. Kita bisa bayangkan perjalanan Israel melalui padang gurun dari Mesir ke tanah perjanjian dan perjalanan keluaran kedua dari tanah pengasingan menuju Yerusalem. Kita bisa juga melihat apa yang dilakukan Samuel untuk memerintah bangsa dengan panduan kebijaksanaan yang datang dari atas. Kita bisa menyimak juga misteri hubungan antara Allah dan manusia dalam metafora pernikahan yang terlukis dalam lembaran kitab-kitab para nabi dan kitab-kitab kebijaksanaan.
Tuhan ini, yang berada di tengah-tengah umat-Nya, berinkarnasi dalam sejarah manusia dan ambil bagian dalam kehidupan manusia dalam diri Kristus Yesus. Keberadaan ini juga diperkuat dengan salam awal kepada para murid-Nya, Damai –shalom- bagimu. Sebuah ucapan yang mengingatkan kita akan salam para malaikat kepada para gembala yang berjaga di Padang gurun: Kemuliaan bagi Allah di surga tertinggi dan di bumi damai di antara mereka kepada yang dicintainya (Luk 2.14).  Sekarang, karunia perdamaian diberikan oleh Kristus yang bangkit kepada murid-muridnya. Semoga mereka menyambut salam itu dalam hati mereka, seperti yang dilakukan para gembala ketika menyambut Penebus dunia dalam kedamaian dan kesederhanaan gua Betlehem.
Bagaimana kita bisa membingkai pengalaman kematian dalam logika kebangkitan Yesus Kristus? Tentu saja, menghadapi ketakutan, pengalaman bahwa tidak ada yang tahu dan dapat mengalami dua kali kematian, selalu ada ketidakpastian, rasa sakit tak tertahankan dan misteri wajah dalam  kematian yang membisu. Untuk membantu refleksi ini, saya mau mengajak melihat dua tulisan para maestro kehidupan rohani: Basilius Agung dalam homilinya tentang martir Giulitta § 4 dan § Agustinus dari Hippona dalam Confessioni 9,10-11 ketika ia berbicara tentang kematian Monica, ibunya.
Demikian Basilius Agung membagikan renungannya tentang makna kematian: seorang anak yang lembut telah diculik oleh kematian dan penderitaan yang dialami oleh ibu waktu melahirkannya kembali menyayat hatinya yang berduka untuk anak tercinta: bagaimana bisa menghentikan ratapan dan melambungkan ucapan syukur pada Allah di dalam situasi seperti ini? Jika engkau berpikir sejenak tentang anak yang engkau lahirkan, Allah Bapa adalah Bapanya yang sejati, yang menuntun dan memeliharanya sekaligus penopang kehidupannya. Mengapa kita kerap tidak mengijinkan Allah yang maha bijaksana, membagi-bagikan hartanya sesukanya, dan mengapa kita seolah-olah terganggu seperti seolah-olah Allah merampas harta milik kita? Berpikirlah bahwa anak ini tidak mati, tetapi dikembalikan, dan bahwa anakmu yang terkasih tidak mati, tetapi telah pindah tempat, dan dalam waktu yang singkat,dia telah mendahului kamu menapaki jalan yang kita semua perlu harus lewati. Jadi ... mengapa engkau tidak belajar untuk menganggap hal-hal fana sebagai sebuah kematian? Seorang manusia lahir dalam kefanaan. Apa yang sangat luar biasa terjadi ketika orang yang fana ini meninggal? Bukankah bulan itu kadang bulat bersinar dan kadang Nampak juga separuh dan padam? Bukankah engkau melihat tanah yang kini berwarna hijau dedaunan dan menjadi kering di lain waktu? Apa yang stabil di sekitar kita? Lihatlah langit dan melihat bumi: mereka pun tidak stabil. "Langit dan bumi akan berlalu. Bintang-bintang akan jatuh dari langit, matahari akan menjadi gelap, bulan tidak akan bersinar "(Mat 24,35.29). Dengan mempertimbangkan ini, ketika engkau mengalami hal yang menjadi nasib umum setiap manusia (kematian), tanggunglah ini dalam keheningan, dengan bela rasa, bukan dengan sikap acuh dan apatis, tetapi dengan pergulatan di tengah-tengah banyak penderitaan. Berjuanglah seperti seorang petarung yang murah hati, yang mengungkapkan kekuatan dan keberaniannya dengan tidak hanya memukul lawan, tetapi juga dengan menerima kerasnya hantaman dari lawan. Peristiwa kehilangan seorang anak, seorang istri yang penuh kasih atau orang lain yang paling intim dan paling kita kasihi, bukanlah sesuatu yang mengerikan bagi manusia yang bijak, yang menempatkan akal budi yang bijak untuk menuntun kehidupannya, bukan berdasar hanya pada kebiasaan.
Mengingat ibu tercinta, Monica, yang telah meninggalkan Ostia, Agustinus mendedikasikan halaman ini dalam buku yang mengurai tentang pertobatannya. Dia ingat kata-kata ibunya begini "Anaku, bagiku hidup ini tidak lagi memiliki ketertarikan lagi bagiku. Untuk apa aku di sini, apa yang kulakukan di sini dan mengapa aku di sini.. semua aku tidak tahu. Harapan saya di atas bumi ini sekarang sudah habis. Hanya ada satu hal yangpernah  membuat saya ingin untuk tinggal di bumi sedikit lebih lama: untuk melihat engkau menjadi Katolik sebelum aku meninggal. Tuhanku telah mendengarkanku dan melegakan daku, karena aku melihatmu bahkan sampai menganggap sampah kebahagiaan duniawi demi melayani Tuhan kita. Lalu, apa yang aku lakukan di sini? Kemudian adiknya meminta Agustinus untuk menguburkan ibunya di tempat itu juga, di Ostia, sambil mengucapkan beberapa kata, mengungkapkan harapan bahwa kematian tidak diterima di negeri asing, tetapi di rumah.

Semoga Tuhan kita Yesus Kristus akan menjadi motor penggerak bagi kehidupan yang ada di dalam diri kita dan menguatkan kita untuk menjadi saksi-Nya yang setia.
selamat paska
wisma xaverian, bintaro. 12 april 2012. p. alfons sx

Lettura d'oggi

Friends