dari Yes 1,10.16-20
Dengarlah.. adalah kata pertama yang kita dengarkan pada bacaan
ini. Aneh. Begitu pikirku. Tetapi realitasnya memang demikian dan tidak dapat
dipungkiri. Sayang sekali tidak kita dengarkan dalam bacaan harian pada selasa
ketiga ini, isi ayat 11-15 yang bisa membuat kita terhenyak seketika.
Yesaya berangkat dari konteks liturgy palsu yang dipraktekkan
oleh Israel. Kepalsuan itu terletak pada motivasi yang mendorong orang
berliturgi. Upacara liturgi direduksi menjadi sebuah tontontan agar dapat
dilihat. Motivasi semacam ini tidak melibatkan integritas manusia seutuhnya.
Hidupnya terpetak-petak antara doa dan pujian di dalam tembok bait Allah dan
pekerjaan sehari-hari di dalam dunia. Tidak adanya koherensi ini menyebabkan manusia
tidak menghidupi kehidupannya secara penuh.
Tetapi, terhadap orang semacam ini, Allah tetap mengarahkan
suaranya kepada mereka: Dengarlah! Dengan demikian, mereka masih bisa berharap
bahwa masih ada kehidupan di hadapan mereka, meskipun perlahan-lahan Israel
mulai menghidupi nasib Sodom dan Gomora! Tentu saja, seruan untuk mendengarkan
menjadi penting karena pertama, Allah yang diimani oleh Israel bukanlah Dia
yang menghendaki kematian orang fasik, orang jahil atau orang jahat (bdk. Yeh
18,21-28). Justru sebaliknya, kepada merekapun masih ditawarkan sebuah ruang
kehidupan agar mereka berbalik, bertobat dan membarui hidupnya. Kedua, Yesaya
mengusulkan sebuah jalan untuk membarui hidup, yaitu dengan berliturgi yang
benar, akrab disebut sebagai liturgi kehidupan. Ini adalah sebuah liturgi yang
bercakrawala menyeluruh, yang melihat manusia seutuhnya dengan segala jerih
payah, suka duka, kegembiraan dan keputusasaannya dst.
Jadi, di depan kita terhampar sebuah ajakan untuk mewarnai setiap
pemikiran, perasaan dan kegiatan kita dengan kasih Allah yang telah merangkul kita,
karena Allah kita bukanlah Dia yang menghendaki kematian, melainkan kehidupan.
p. alfonsus sx
7 maret 2012, xaverian-Bintaro