domenica 18 marzo 2012

Aku memandang Dia, Dia memandang aku dan mengatakan banyak hal kepadaku (Conforti)


Salib tersenyum di Puri Javier, tempat kelahiran st. Fransiskus Xaverius di Spanyol 
Renungan Minggu Prapaska IV
Bacaan: 2 Taw 36: 14-23; Ef 2,4-10 dan Yoh 3,14-21

Perjalanan Israel, yang diceritakan pada bagian pertama, bergerak seperti sebuah film.  Dari sisi bangsa Israel: Kita melihat bagaimana kehidupan mereka diwarnai dengan sebuah litani ketidak setiaan: karena ikut-ikutan dengan «mode» atau «yang lagi ngetrend dengan zaman» (karena bangsa-bangsa lain berbuat demikian, maka akupun berbuat demikian juga donk) atau memang karena kehendak sendiri untuk memutuskan bertindak tidak setia.
Dari sisi Allah yang telah menciptakan mereka «amat baik adanya», Dia terus menerus mengirimkan para pekerja-Nya, para nabi, para rasul dan para orang kudusNya. Tetapi Israel menolak, menghina, mengejek, membunuh mereka dan sekaligus membakar rumah Allah dan merobohkan tembok Yerusalem. Seorang nabi yang dibungkam atau sebuah bait Allah yang dihancurkan ≈ Manusia memutuskan relasi mereka dengan Allah. Seorang nabi / seorang kudus, berbicara dan menyampaikan pesan Allah; Sebuah bait Allah merupakan simbol pertemuan antara Allah dan manusia (teologi Perjanjian Lama: Allah yang merendahkan diri dan manusia yang memuji kebesaran Allah).
Kitab tawarikh ditutup dengan sebuah harapan: Raja negeri Persia (bdk. bukan orang Israel, orang asing!) memerintahkan pembangunan kembali bait Allah di Yerusalem. Harapan ini, dalam Perjanjian Baru diteruskan dan makin dispesifikkan, bukan kepada bangunan bait Allah, hukum taurat, sabat dan Yerusalem, melainkan pada person, pada manusia, pada Allah yang berinkarnasi dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia: Yesus Kristus.
Yohanes dalam injil membuat satu perbandingan langsung pada inti inkarnasi Allah ini: Musa meninggikan ular di padang gurun – Anak Manusia yang harus ditinggikan dari bumi.
Kata meninggikan / ditinggikan dalam bahasa Ibrani bermakna ganda antara kematian dan kemuliaan. Dalam bahasa Aram langsung bicara pada salib, menggantungkan sesuatu. Dalam Injil Yohanes, tekanan pada kenaikan Yesus yang berkelanjutan. Dari inkarnasi yang bergerak turun, ke peziarahan kembali kepada Bapa. Pendek kata, dari salib menuju kebangkitan.
Bagaimana proses ini dipahami dalam injil Yoh bab 3?
Pada awal bab ini, dikisahkan bahwa Nikodemus datang kepada Yesus: pada waktu malam dan menyapa Dia sebagai «Rabi, guru yang diutus oleh Allah». Alasan: tida ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang dibuat Yesus, jika Allah tidak menyertainya.
Pada akhir bab ini (perikop yang kita renungkan hari ini), ditutup dengan sebuah ajakan untuk meninggalkan kegelapan dan pergi menyongsong cahaya, datang kepada terang. Lalu, Yesus menyatakan diriNya sebagai: Anak Tunggal Allah – Anak yang diutus ke dalam dunia – Yesus ≈ terang dunia.
Namun, ada yang aneh-mengganjal: bagaimana dengan hukuman? Allah menghukum mereka yang tidak mau ikut sang Terang? Kucoba merumuskan begini «hukuman itu»: adalah manusia yang terus bergulat dalam kegelapan. Hatinya terus mencari, tapi tidak pernah mencapai kepenuhan karena bukan Yesus Kristus yang mengisi. Contoh praktis adalah seorang yang menang tapi tak bisa merasakan dan merayakan kemenangan itu, orang yang memiliki banyak harta duniawi tapi tak pernah merasa cukup dan terus menumpuknya .. orang yang hidup terpisah dari Allah akan menemukan satu ruang kosong di dalam hatinya. Bukan Allah yang menghukum, tapi hati manusia yang memisahkan diri dari Allah dan menemukan ketidakbahagiaan.
û  Orang terhukum atau “pendosa” yang dibicarakan oleh Yohanes, bukanlah pendosa yang ikut-ikutan karena ajakan teman, bukan mereka yang tidak bisa membedakan tangan kiri dari tangan kanan, melainkan orang yang telah melihat Terang, tetapi hatinya membenciNya dan menolak kehadiranNya. Coba bandingkan refren Mazmur: hanya pada Tuhanlah hatiku tenang. Ketenangan menjadi symbol kehadiran Tuhan.
Salah satu simbol kehadiran Tuhan adalah salib. Demikian pengalaman Musa di padang gurun dan juga pengalaman kita. Santo Gregorius Agung, dalam predica per la festa di un santo martire, menjelaskan dua jalan bagaimana kita memanggul salib:
Dengan berkorban, berpantang, berpuasa, ber-askese, menyangkal diri dengan segala prinsip egoisme dan kelekatan tak teratur. Ini tidak cukup, meski ide yang dibawa adalah mengikuti jejak Kristus, tetapi dia tidak mengikuti-Nya. Namun, hati-hati, jangan sampai terjebak pada fariseisme, logika do ut des atau orang yang merasa cukup bisa membeli surga dengan matiraga dan perbuatan baik yang dia perbuat. Sering kita terjebak pada pemikiran: aku datang kepada Yesus dengan segala pengorbanan dan salib yang kupanggul agar aku dibenarkan dan diloloskan masuk dalam kerajaan-Nya.
Pengampunan itu gratis. Allah telah mencintaimu sebelum engkau menyadarinya. Allah telah mencarimu sebelum engkau memutuskan untuk berlutut, bertobat dan kembali kepadaNya. E.g. saya menerima kehidupan ini sebagai rahmat gratis dari Allah, maka saya berusaha membagikan kepada saudara, melalui imamat dalam keluarga xaverian. Begitupun anda dalam lingkup kecil, di dalam keluarga, tempat kerja, dan lingkungan, anda bisa membagikan hidup ini bagi sesama. Conforti menyebut hidup yang terbagi ini sebagai tindakan kasih. Maka, model memanggul salib yang kedua menurut Gregorius Agung adalah: memanggul salib + memiliki rasa belas kasih kepada orang lain, karena menyadari bahwa Allah yang mahakasih, sudah menebus kita dengan salib dan kebangkitan-Nya.
Minuccio felice, seorang advokat, pembela umat kristiani di Roma abad II, menulis Dialog dengan OktaviusTentang salib dia menulis: mahkota kemenanganmu hendaknya tidak hanya mengikuti sebuah salib yang telanjang saja, melainkan sebuah salib bersama dengan seorang manusia yang tergantung diatasnya.
Berbicara tentang salib, tidak berbicara soal dua kayu yang tersilang, melainkan dengan Kristus yang tersalibJangan malu mengakui Kristus yang tersalib dalam berbagai macam situasi, demikian Santo Cirilus dari Aleksandria menali dalam katekese untuk para calon babtis.
Dalam berbagai situasi, dengan iman, kita bisa membuat tanda salib. Semua orang bisa buat, tanpa perlu banyak tenaga. Tanda sederhana ini merupakan pengharapan bagi yang putus asa, kekuatan bagi yang lemah, perdamaian bagi yang bertobat dan sekaligus menjadi sarana kemuliaan Allah yang ditinggikan, yang menarik semua orang kepadaNya. Melalui salib menuju kebangkitan.
Janganlah melecehkan salib, karena kesederhanaannya, karena ke-gratis-an keselamatan / cinta kasih yang diberikan Allah pada kita. Sebaliknya bersyukurlah karena dengan memandang Dia, hati kita menemukan ketenangan karena, menurut pengalaman mistik dari Santo Conforti: aku memandang Dia, dia memandang aku dan mengatakan banyak hal kepadaku.
p. alfons sx
wisma xaverian bintaro

Lettura d'oggi

Friends