domenica 25 marzo 2012

hidup sebagai seorang murid Yesus adalah sebuah kebijaksanaan tentang kematian untuk mencintai

Minggu Prapaska V, tahun B

Apakah makna dari kata Perjanjian Baru yang dimaksudkan oleh Yeremia pada bacaan pertama? Dimanakah letak kebaruannya? Kenabian Yeremia terletak pada kemampuannya mengintuisi akan kedatangan waktu dimana Allah menaruh Taurat-Nya dalam batin manusia: aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka. Aspek baru yang muncul di sini adalah gerakan ke dalam, sebuah interiorisasi dari hukum-hukum Allah. Dalam penghayatan kehidupan keberagamaan, kebaruan bukan terletak pada isi perjanjian Allah dengan manusia, melainkan pada gaya hidup umat beriman. Dari yang terbatas pada mengikuti struktur lahiriah, menuju ke penghayatan batiniah. Dari kedalaman batin umat beriman, akan terasa kekuatan ekspresi lahiriah dari pelaksanaan hidup beragama.
Mengapa Yeremia menubuatkan aspek interiorisasi kehidupan beragamaan ini? Dia meyakini bahwa Allah itu memahami seluk beluk dan liku-liku kedalaman hati manusia. Dalam hati kita ada keutamaan nilai-nilai batiniah, seperti ketaatan dan cinta kasih kepada Allah, iman kepercayaan kepada Allah .. dst. Aspek inilah yang hendaknya dimurnikan terus menerus. Misalnya: bagaimana visi kita tentang Tuhan, tentang sesama, tentang dunia dan tentang diri kita sendiri? Jadi, perubahan yang diharapkan oleh Yeremia adalah sebuah perubahan sikap batin manusia beriman, agar beriman dengan dewasa dan tidak terbatas pada aspek lahiriah saja. Seperti Hosea, teks Yeremia memberi karakter perjanjian baru ini dengan cinta dan belas kasih – disimbolkan dengan perkawinan, dimana menuntut sebuah relasi batin yang tulus dan jujur. Oleh karena itu, wajar saja Yeremia menekankan dan manusia agar menyucikan hatinya.
Dampak kenabian Yeremia bisa terlihat kemudian pada teks Yeheziel dan Yesaya yang mengangkat kembali tema perjanjian. Menurut mereka, apa yang dituliskan oleh Yesaya bukanlah sebuah perjanjian baru, melainkan sebuah perjanjian kekal yang tidak dapat dihancurkan atau diingkari (Yeh 16,60. 34,25 dan 37,26 serta Yes 55,3 dan 61,8). Alasannya, ini menjadi mungkin karena hati yang baru sudah ditempatkan dalam hati manusia dan semangat yang baru sudah diberikan pada mereka.
Perjanjian baru dan kekal itu sekarang termaktub dalam Ekaristi yang kita rayakan. Perjanjian itu telah berinkarnasi dalam Tubuh dan Darah kristus. Dengan menerima ekaristi, berarti kita mengambil bagian dalam perjanjian itu dan terus menerus menerima panggilan untuk menyucikan hati kita. Setiap orang dipanggil kepada kekudusan. Menjadi santo atau santa bukanlah hak khusus bagi orang-orang tertentu, bagi orang eropa atau amerika saja, bagi biarawan/I saja, tapi bagi semua orang. Gereja tidak mencetak orang kudus dengan memberi gelar santo/a, tetapi mengakui kekudusan mereka, mengakui kesetiaan mereka dalam perjuangan sehari-hari untuk menjadi pengikut Yesus Kristus. Dengan demikian, mereka bisa menjadi contoh konkret bagi banyak orang.
Kembali pada tema perjanjian yang baru dan kekal, dalam injil kita melihat bahwa perjanjian ini bersifat universal. Dari mana kita peroleh universalitas perjanjian ini? Mari kita lihat konteksnya. Bacaan Yoh 12,20-33 merupakan sebuah episode yang tidak bisa terpisahkan dari kebangkitan Lazarus dari kubur (Yoh 11), pengurapan Yesus di Betania oleh Maria (tidak jelas identitas maria ini, bisa Maria saudari Lazarus, Maria dari Magdala atau Maria, seorang pendosa yang bertobat) dan masuknya Yesus ke Yerusalem yang disambut oleh massa berlimpah ruah. Siapakah mereka? Yohanes menyodorkan beberapa kemungkinan: mereka yang telah mendengar kisah kebangkitan Lazarus dan pergi ke Betania sebelum Yesus masuk ke Yerusalem (Yoh 12,9), mereka yang telah melihat kebangkitan Yesus dan terus mengikutinya (Yoh 12,17), mereka yang telah mendengar tentang peristiwa Lazarus dan mencari Yesus ketika dia masuk ke Yerusalem (Yoh 12,18). Jangan kita lewatkan juga, bahwa ada juga massa yahudi yang datang ke Yerusalem untuk pesta pondok daun (Yoh 12,12).
Yang menarik buat kita adalah kedatangan para orang Yunani ke Yerusalem. Bukan urusan mereka untuk ikut pesta pondok daun. Tetapi mereka datang untuk mencari Yesus: Tuan, kami ingin  bertemu dengan Yesus. Kedatangan mereka merupakan tanda bahwa saatnya sudah tiba (selalu dikatakan tidak pada Yoh 2,4; 7,30 dan 8,20). Maka kata kematian dan kemuliaan bagi Yesus menjadi identik: salib dan kemuliaan itu bersuara mirip. Di sinilah ada sebuah dialektika antara mencintai dan membenci, yang bagi kita adalah sebuah dialektika kemuridan. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Hidup atau mati? Siapa yang hidup dan siapa yang mati? Apa yang hidup dan apa yang mati?
Yang diminta di sini adalah sebuah totalitas. Hukum ini berlaku untuk semua umat kristiani. Kalau ada seseorang menyatakan cintanya pada orang lain secara tulus dan jujur. Cinta ini musti dipahami sebagai sebuah hidup yang terberikan, maka diapun rela untuk mati demi sang kekasih, demi orang yang dicintainya. Kalau benar cinta itu adalah sebuah cinta tanpa syarat. Kalau suami mengatakan cinta, tetapi tidak mau bekerja dan malas-malasan di rumah, atau istri mengatakan hal yang sama dan bahkan dia tidak mau punya anak, tetapi kalau anak asuh boleh. Apakah artinya cinta tulus dan jujur itu?
Bebaskanlah dirimu dari segala ketakutan. Kalau engkau benar-benar ingin mencintai seseorang dan mengikutinya, berikanlah dirimu seutuhnya padanya, tanpa syarat dan tanpa ikatan apapun, baik lahir dan batin, yang bisa menghalangi cintamu itu. Kalau kita mau mengaplikasikan ini pada jalan kemuridan maka hidup sebagai seorang murid Yesus adalah sebuah kebijaksanaan tentang kematian untuk mencintai.

p. alfonsus widhi sx
Wisma xaverian Bintaro, 25 maret 2012

Lettura d'oggi

Friends