|
Salib tersenyum di Puri Javier, tempat kelahiran st. Fransiskus Xaverius di Spanyol |
Renungan Minggu Prapaska IV
Bacaan: 2 Taw 36: 14-23; Ef 2,4-10 dan Yoh 3,14-21
Perjalanan Israel,
yang diceritakan pada bagian pertama, bergerak seperti sebuah film. Dari
sisi bangsa Israel: Kita melihat bagaimana kehidupan mereka diwarnai dengan
sebuah litani ketidak setiaan: karena ikut-ikutan dengan «mode» atau «yang lagi
ngetrend dengan zaman» (karena bangsa-bangsa lain berbuat demikian, maka akupun
berbuat demikian juga donk) atau memang karena kehendak sendiri untuk memutuskan
bertindak tidak setia.
Dari
sisi Allah yang telah menciptakan mereka «amat baik adanya», Dia terus menerus
mengirimkan para pekerja-Nya, para nabi, para rasul dan para orang kudusNya.
Tetapi Israel menolak, menghina, mengejek, membunuh mereka dan sekaligus
membakar rumah Allah dan merobohkan tembok Yerusalem. Seorang nabi yang
dibungkam atau sebuah bait Allah yang dihancurkan ≈ Manusia
memutuskan relasi mereka dengan Allah. Seorang nabi / seorang kudus, berbicara
dan menyampaikan pesan Allah; Sebuah bait Allah merupakan simbol pertemuan
antara Allah dan manusia (teologi Perjanjian Lama: Allah yang merendahkan diri dan manusia
yang memuji kebesaran Allah).
Kitab tawarikh ditutup dengan sebuah harapan: Raja negeri
Persia (bdk. bukan orang Israel, orang asing!) memerintahkan pembangunan kembali
bait Allah di Yerusalem. Harapan ini, dalam Perjanjian Baru diteruskan dan makin dispesifikkan, bukan kepada bangunan bait Allah, hukum
taurat, sabat dan Yerusalem, melainkan pada person, pada manusia, pada Allah
yang berinkarnasi dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan
manusia: Yesus Kristus.
Yohanes
dalam injil membuat satu perbandingan langsung pada inti inkarnasi Allah ini:
Musa meninggikan ular di padang gurun – Anak Manusia yang harus ditinggikan
dari bumi.
Kata
meninggikan / ditinggikan dalam bahasa Ibrani bermakna ganda antara
kematian dan kemuliaan. Dalam bahasa Aram langsung bicara pada salib, menggantungkan sesuatu. Dalam Injil Yohanes, tekanan pada kenaikan
Yesus yang berkelanjutan. Dari inkarnasi yang bergerak turun, ke peziarahan
kembali kepada Bapa. Pendek kata, dari salib menuju kebangkitan.
Bagaimana proses ini
dipahami dalam injil Yoh bab 3?
Pada
awal bab ini, dikisahkan bahwa Nikodemus datang kepada Yesus: pada waktu malam
dan menyapa Dia sebagai «Rabi, guru yang diutus oleh Allah». Alasan: tida ada
seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang dibuat Yesus, jika Allah
tidak menyertainya.
Pada
akhir bab ini (perikop yang kita renungkan hari ini), ditutup
dengan sebuah ajakan untuk meninggalkan kegelapan dan pergi menyongsong cahaya,
datang kepada terang. Lalu, Yesus
menyatakan diriNya sebagai: Anak Tunggal Allah – Anak yang diutus ke dalam
dunia – Yesus ≈ terang dunia.
Namun, ada
yang aneh-mengganjal: bagaimana dengan hukuman? Allah menghukum mereka yang
tidak mau ikut sang Terang? Kucoba
merumuskan begini «hukuman itu»: adalah manusia yang terus bergulat dalam
kegelapan. Hatinya terus mencari, tapi tidak pernah mencapai kepenuhan karena
bukan Yesus Kristus yang mengisi. Contoh praktis adalah seorang yang menang
tapi tak bisa merasakan dan merayakan kemenangan itu, orang yang memiliki
banyak harta duniawi tapi tak pernah merasa cukup dan terus menumpuknya .. orang
yang hidup terpisah dari Allah akan menemukan satu ruang kosong di dalam
hatinya. Bukan Allah yang menghukum, tapi hati manusia yang memisahkan diri dari
Allah dan menemukan ketidakbahagiaan.
û
Orang
terhukum atau “pendosa” yang dibicarakan oleh Yohanes, bukanlah pendosa yang
ikut-ikutan karena ajakan teman, bukan mereka yang tidak bisa membedakan tangan
kiri dari tangan kanan, melainkan orang yang telah melihat Terang, tetapi
hatinya membenciNya dan menolak kehadiranNya. Coba bandingkan refren
Mazmur: hanya pada Tuhanlah hatiku tenang. Ketenangan menjadi symbol kehadiran
Tuhan.
Salah satu simbol kehadiran Tuhan adalah salib. Demikian pengalaman Musa di padang gurun dan juga pengalaman kita. Santo Gregorius
Agung, dalam predica per la festa di un santo
martire, menjelaskan dua jalan bagaimana kita memanggul salib:
Dengan
berkorban, berpantang, berpuasa, ber-askese, menyangkal diri dengan segala
prinsip egoisme dan kelekatan tak teratur. Ini tidak cukup, meski ide yang
dibawa adalah mengikuti jejak Kristus, tetapi dia tidak mengikuti-Nya. Namun, hati-hati,
jangan sampai terjebak pada fariseisme, logika do ut des atau orang yang merasa
cukup bisa membeli surga dengan matiraga dan perbuatan baik yang dia perbuat. Sering
kita terjebak pada pemikiran: aku datang kepada Yesus dengan segala pengorbanan
dan salib yang kupanggul agar aku dibenarkan dan diloloskan masuk dalam kerajaan-Nya.
Pengampunan itu gratis. Allah telah
mencintaimu sebelum engkau menyadarinya. Allah telah mencarimu sebelum engkau
memutuskan untuk berlutut, bertobat dan kembali kepadaNya. E.g. saya menerima
kehidupan ini sebagai rahmat gratis dari Allah, maka saya berusaha membagikan
kepada saudara, melalui imamat dalam keluarga xaverian. Begitupun anda dalam
lingkup kecil, di dalam keluarga, tempat kerja, dan lingkungan, anda bisa
membagikan hidup ini bagi sesama. Conforti menyebut hidup yang terbagi ini sebagai tindakan kasih. Maka, model memanggul salib yang
kedua menurut Gregorius Agung adalah: memanggul salib + memiliki rasa belas
kasih kepada orang lain, karena menyadari bahwa Allah yang mahakasih, sudah
menebus kita dengan salib dan kebangkitan-Nya.
Minuccio felice, seorang advokat, pembela umat kristiani
di Roma abad II, menulis Dialog dengan
Oktavius. Tentang
salib dia menulis: mahkota kemenanganmu
hendaknya tidak hanya mengikuti sebuah salib yang telanjang saja, melainkan
sebuah salib bersama dengan seorang manusia yang tergantung diatasnya.
Berbicara
tentang salib, tidak berbicara soal dua kayu yang tersilang, melainkan dengan
Kristus yang tersalib. Jangan
malu mengakui Kristus yang tersalib dalam berbagai macam situasi, demikian
Santo Cirilus dari Aleksandria menali dalam katekese untuk para calon babtis.
Dalam
berbagai situasi, dengan iman, kita bisa membuat tanda salib. Semua orang bisa
buat, tanpa perlu banyak tenaga. Tanda sederhana ini merupakan pengharapan bagi
yang putus asa, kekuatan bagi yang lemah, perdamaian bagi yang bertobat dan
sekaligus menjadi sarana kemuliaan Allah yang ditinggikan, yang menarik semua
orang kepadaNya. Melalui salib menuju kebangkitan.
Janganlah
melecehkan salib, karena kesederhanaannya, karena ke-gratis-an keselamatan / cinta
kasih yang diberikan Allah pada kita. Sebaliknya bersyukurlah karena dengan
memandang Dia, hati kita menemukan ketenangan karena, menurut pengalaman mistik
dari Santo Conforti: aku memandang Dia,
dia memandang aku dan mengatakan banyak hal kepadaku.
p. alfons sx
wisma xaverian bintaro