domenica 16 dicembre 2012

Berkatekese di dunia digital

Aspek kebudayaan merupakan faktor sentral di dalam evangelisasi. Di dalam kebudayaan benua keenam, internet menawarkan berbagai fasilitas yang mempercepat sebuah proses komunikasi dan tindakan yang terpisah jarak, ruang dan waktu. Pemakaian internet mendorong –mau atau tidak mau– sebuah kreativitas di dalam tindakan dan interaksi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dari sudut pandang katolik, tidak cukup sebuah relasi horisontal antar users. «Jika tidak ruang untuk Kristus, tidak ada ruang untuk manusia seutuhnya».

Inilah budaya digital yang mewarnai awal milenium ketiga. Bagaimanakah hal ini disikapi oleh para pewarta injil – para katekis, dalam mengemban tugas pewartaannya dan sekaligus menemukan perannya? Bagian pertama makalah ini hendak membuat foto analisis situasi makro dari benua keenam di awal milenium ketiga. Berikutnya adalah sebuah inspirasi kritis mengenai peranan para pewarta injil – para katekis dalam konteks.

1. MENGENALI SITUASI AWAL MILENIUM III
1.1 Membaca konteks
Apa yang kita ketahui dari gejala teknologi – internet di lingkungan dimana kita tinggal? Berbicara tentang situasi di dalam keluarga, di dalam pergaulan anak-anak muda, di dalam gereja, di tempat kerja atau di kota Jakarta, gejala apa yang mulai menyodok dan membuat perbedaan kehidupan sosial, bila kita mau membandingkan Jakarta sekarang dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu?
Dalam konteks global, ditemui bahwa lebih dari 3 miliar penduduk dunia memiliki minimal satu applikasi jaringan sosial (Fb, Twitter, Blog dll). Sebuah survey menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota berpopulasi terpadat dalam dunia Facebook . Aplikasi ini paling banyak diminati karena memiliki berbagai macam program yang menjawab kebutuhan dasar manusia untuk berkomunikasi: jaringan pertemanan, membuat acara, mengirim pesan pribadi, menulis status, melihat dan berkomentar pada profil lain dst. Maka, tidak mengherankan bila sekitar 500 juta users Fb: sekitar 50% membuka Fb tiap hari dan 700 billion menit dilewatkan orang per bulan di Fb, 20 juta aplikasi diinstal per hari dan 250 juta orang berinteraksi tiap hari.
Dalam skala yang lebih kecil, situasi sosial keluarga saat ini mengalami banyak perubahan dengan situasi dua puluh atau bahkan sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana pendapat anda tentang beberapa pertanyaan berikut?
+ Apakah anda sering mengirim pesan natal dan paskah secara otomatis lewat HP?
+ Apakah anda, salah satu anggota keluarga atau orang lain, merasa lebih bebas berekspresi di sosial media atau di keluarga?
+ Apakah anda lebih merasakan persahabatan dan komunikasi dalam dunia maya lebih mudah dari pada real?
+ Up date berita terkini anda peroleh dari mana? Bagaimana anda memilah-milah informasi yang credible?
+ Apakah anda sering menjumpai permasalahan dalam keluarga-keluarga muda, berkaitan dengan dinamika berelasi yang berubah? Apakah ada orang tua yang merasa ketinggalan dan kehilangan sesuatu dalam proses pendampingan anak?

Masih ada banyak butir yang bisa diperdalam berkaitan dengan dampak kehadiran berbagai sarana teknologi di dalam dunia modern. Semakin terasa bahwa teknologi mentrasformasi keberadaan manusia. Tidak hanya kabel dan listrik yang terbingkai dan menghasilkan sesuatu yang berubah, melainkan juga pengguna dari teknologi ini mengalami sebuah proses perubahan struktur dasar.
Maka, ide dasar evangelisasi dalam dunia digital itu membaca (berangkat dari) pergulatan manusia katolik dalam proses peziarahan historis-kontekstual. Peran katekis (pewarta) dalam pewartaan (teks) Injil tidak bisa lebas dari konteks (dunia) dimana dia berada.

1.2 Memahami dunia digital teknologi
Untuk memahami benua keenam ini, kita bisa mulai dengan beberapa pertanyaan untuk menuntun sebuah refleksi:
+ Apakah selama ini penggunaan media tradisional seperti majalah, buletin, radio dan televisi, telah menggerakkan dinamika kehidupan beriman seluruh umat? Apakah sarana ini terus makin berkembang, berubah, ditinggalkan dan atau diperbarui seiring perkembangan zaman? Gaya berkomunikasi di sini cenderung satu arah. Proses dialog atau komunikasi bilateral atau komunal memerlukan waktu.
+ Apakah dengan munculnya platform media sosial yang baru, seperti blog, Facebook, Twitter, pinterest, Path… membuat anda berpikir tentang peran media dalam aktivitas pewartaan – katekese? Satu hal yang patut disimak dalam penggunaan Web 2.0 ini adalah transformasi gaya berkomunikasi. Di sini ada sebuah relasi dinamis dalam dialog, perdebatan, diskusi dari bawah ke atas, dari pelosok ke pusat. Siapapun yang memegang social media, akan mendapat informasi dan reaksi dalam waktu yang real.
Di sinilah letak transformasi dari Web 1.0 (majalah, buletin, radio dan televisi) ke Web 2.0 (blog, Facebook, Twitter, pinterest, Path) dimana metode berkomunikasi mulai diperbaharui. Beberapa kebaruan itu adalah:
+ Waktu, jarak dan tempat menjadi relatif
+ Segala teknik dan praktek untuk menciptakan sesuatu dan membagikan hasil kreativitas secara online. Berbagai variasi di sosial media: jejaring sosial, blog, forum, microblogging, video sharing.
+ Identitas berlipat ganda: seorang user bisa menjadi konsumen dan produsen sekaligus.
+ Status semua penghuni: user. Di areopagi semua ada! Kredibilitas dalam dunia real tidak bisa ditransfer secara otomatis dalam dunia maya. Dalam hal ini, yang berteriak lebih keras bisa menguasai publik lebih banyak? Berkaitan dengan hal ini, permasalahan pokok tidak menyangkut soal kompleksitas teknologi, melainkan mentalitas dan logika dari users yang ada dibalik monitor. Maka, seseorang yang memberanikan diri untuk masuk dalam benua keenam ini ditantang untuk berani memberikan alasan dari “kebenaran” yang dia pegang, dia imani dan dia bagikan. Di sini ada sebuah bayangan krisis pemaknaan, ketidak percayaan pada autoritas atau berbagai bentuk hirarki (termasuk di dalamnya hirarki kebenaran?). Dengan semakin tersebarnya jaringan sosial, maka ketidakpercayaan ini bisa menjadi sebuah mentalitas the digital native.

1.3 Refleksi kritis
Membaca dan merefleksikan realitas baru ini, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkaitan dari sudut pandang berkatekese dalam konteks. Pertama, dunia internet merupakan sebuah dunia kaotik dan berbudaya sendiri. Segala sesuatu bisa ditemukan. Untuk memasukinya, ada etika ber-ada, berpikir, bertindak dan berelasi yang masih belum terkodifikasi secara resmi. Masing-masing komunitas online memiliki kodenya sendiri. Demikian juga Gereja, memberikan petunjuk etika berinternet dari sudut pandangnya sendiri.
Kedua, penggunaan sosial media memiliki banyak strukturisasi dari koneksi ke relasi atau dari level informatif ke level formatif. Apakah memiliki teman 5000 orang di Facebook membuat anda menjadi tenar dan amat bersahabat dalam dunia real? Belum tentu. Aringa pertemanan ini bisa menjadi pelampiasan egocentrik network. Berada dalam kontak pertemanan belum menjamin berada dalam relasi. Kerap kali yang muncul sebagai kriteria berkawan adalah dominasi dan kombinasi interest personal, emosi subyektif (narsisisme, individualisme). Maka, berkaitan dengan koneksi – relasi, bisa dipertajam pertanyaan yang muncul dalam jaringan sosial sebagai berikut: apakah network merupakan dunia relasi atau dunia orang kesepian?
Berkaitan dengan transisi level informatif ke formatif, kita bisa menganalasis bagaimana kita menerima dna memilah-milah berita yang muncul. Apakah informasi yang anda terima di internet membantu anda untuk membentuk – memformasi diri anda untuk menjadi orang katolik yang dewasa dalam konteks? Apakah semua informasi itu bisa diterima kebenarannya dan dicek validitasnya? Apakah ada perang ideologi dibalik informasi dari surat kabar – news online yang kita terima?
Ketiga, benua keenam menawarkan sebuah struktur kemanusiaan yang baru seperti keinginan untuk selalu omnipresent – hadir dimana-mana dan dalam tempo yang real, identitas ganda dalam berbagai profil yang dibuat atau dalam aplikasi yang diikuti, pemaknaan terhadap waktu yang relatif serta pembedaan realitas real dan imajiner . Apakah di rumah baru ini, para saksi iman, katekis, pewarta menemukan sebuah areopagus baru (Kis 17,22)?
Hal ini bisa ditelaah dengan mendalami bahwa dunia internet menawarkan: bukan program atau aplikasi, tetapi hasrat keinginan (buku, film, teman, musik, group…). Program yang ada merupakan sebuah struktur layanan dan bukan ikatan “sense of belonging”. Setelah satu aplikasi dirasa kurang keren dan berkembang, users akan mencari program lain yang lebih menjawab hasrat yang muncul dalam dirinya. Para users memiliki banyak kebebasan untuk lebih mencari “rumahku” daripada “rumah Allah”.
Apakah mungkin berbicara tentang resiko di sini? Resiko berpastoral dalam dunia maya selalu ada. Berangkat dari unsur-unsur pokok evangelisasi yaitu pewarta, sarana dan inti pewartaan, kita bisa melihat bahwa absennya salah satu aspek ini akan mengurangi efektivitas pewartaan.
Ketika penggunaan platform baru disertai dengan mentalitas tradisional, maka sarana teknologi akan dianggap sebagai strumentum saja. Resiko yang muncul adalah merelativisir subjek yang ada di belakang pengguna teknologi. Akibatnya, struktur manusia dari the digital native, budaya baru yang dimilikinya, karakter personal, cara berpikir, bertindak dan berada sebagai putra putri Allah yang dihidupi itu tidak tersentuh. Bahasa yang berbeda dalam penyampaian pesan injil akan membuat isinya kurang produktif. Di sisi lain, kekayaan aplikasi yang ditawarkan oleh berbagai kemajuan teknologi akan direduksi. Paling banter adalah penghematan waktu dan proses yang dipercepat.
Ketika kematangan pribadi manusia itu kurang seimbang, manusia itu sendiri bisa terjebak pada strumentalisasi teknologi modern untuk memperbesar ke-aku-an dan ke-egois-an pribadi. Pada saat bersamaan, dia akan memanipulasi lingkungan. Kontribusi kedewasaan ini nampak dalam pilihan-pilihan yang dia buat dan dalam metode yang dia gunakan untuk bertindak dalam dunia online. Apakah dalam berpastoral, dia juga mempertimbangkan isi yang disampaikan, subyek yang menjadi tujuan pewartaan dan sarana yang dia pilih untuk memaksimalkan evangelisasi ini?
Ketika agen evangelisasi tidak sanggup membaca tanda-tanda zaman, gejala perubahan sosial yang muncul, permasalahan yang mengambang di udara, maka, resiko yang muncul adalah kontekstualisasi pesan injil di dalam konteks lokal. Orang akan terjebak pada permainan teori dan hukum beragama dari pada proses pembinaan hidup beriman yang dewasa. Oleh sebab itu, perjumpaan autentik, semangat untuk mencintai keheningan, kehendak untuk membuat foto dari situasi dan mengkontemplasikan itu semua dalam terang Injil merupakan upaya yang amat dianjurkan agar evangelisasi yang kita buat itu seiring dengan pesan yang Allah kehendaki untuk disampaikan kepada umat-Nya.

2 PERAN KATEKIS: PERTOBATAN KARYA PASTORAL DALAM KONTEKS
Bagaimana menginkulturasikan iman di era digital? Ini adalah sebuah tantangan pembaharuan katekese di milenium ketiga. Dengan dunia digital, kita dituntut untuk mengkodifikasikan kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam hati manusia 2.0. Saat ini orang mencari Allah di dalam platform yang baru. Bahasa yang dipakai juga berubah.
Para imam kerap menggarisbawahi hal seperti ini: ketika anak-anak dan kaum muda yang melewatkan banyak waktu di internet itu belajar katekismus atau ikut misa, mereka memiliki gaya bahasa yang berbeda. Maka, saling tidak memahami itu amat wajar. Di sinilah pentingnya membentuk para katekis-katekis baru. Katekismus pun hendaknya dipikirkan kembali berkaitan dengan metode dan penyampaian. Karakter dialogis dan partisipatif mulai ditekankan untuk mengimbangi karakter social media. Maka, yang diusung bukanlah sebuah penyampaian informasi – bahan katekese, melainkan mengelaborasi informasi – bahan katekese sehingga terintegrasi dalam proses pembinaan iman dan menjadi bagian dari diriku sendiri. Tumbuh di sini rasa memiliki pada katekese.
Apakah sekarang waktunya untuk menteror para katekis agar merubah dan mentransformasi metode berkatekesenya? Perlu bertindak dengan bijaksana. Kantor-kantor pastoral keuskupan atau paroki hendaknya mulai memperkenalkan dan menjelaskan teknologi baru atau era digital dimana kita tinggal sekarang. Dengan demikian, bisa diharapkan munculnya katekis-katekis baru di masa depan. Kemudian, perlu juga kolaborasi efektif antar paroki – antar generasi.
Ini mengingat bahwa katekese merupakan kegiatan pastoral utama dalam evangelisasi Gereja. Sinode evangelisasi di Roma menunjukkan keseriusan Gereja untuk menghadapi dan menyikapi tantangan dunia modern. Maka, persoalan katekese, tidak hanya dihadapi oleh para katekis, melainkan oleh para jajaran petinggi Gereja sampai di dalam lingkup internasional juga! Budaya digital berkembang, sambil mentransformasi seluruh aspek kehidupan manusia. Dampaknya: struktur manusia berubah, metode untuk menangkap realitas berubah, gaya komunikasi berubah. Akhirnya, gaya hidup pun berubah.
Iman tidak menjadi autentik dan katekese tidak menjadi efektif jika keduanya tidak mengambil resiko untuk membenamkan diri dalam konteks sosial yang sedang terjadi. Mengabaikan dunia digital berarti menutup diri pada tiap kemungkinan evangelisasi dalam budaya modern.
Maka yang dibutuhkan adalah pertobatan dan pembentukan proyek pastoral kontekstual.

2.1 Pertobatan pastoral
Mengingat bahwa tugas katekese pertama-tama adalah membentuk sebuah mentalitas injili kepada umat yang dilayani. Maka, mentalitas yang perlu dibangun adalah sebuah pembinaan kehidupan beriman. Misalnya, tidak hanya kursus persiapan komuni pertama, krisma, perkawinan agar bisa mengikuti liturginya saja, melainkan membentuk mentalitas katolik sesuai tuntutan pada masing-masing tahap. Menjadikan masa persiapan ini sebagai bagian dari pembinaan iman yang terintegrasi dengan kehidupan. Kalau tidak, semua hanya buang-buang waktu saja!
Langkah pertama adalah pertobatan budaya. Pertobatan ini tidak menyentuh aspek pribadi saja, melainkan komunitas secara bersama-sama. Paroki pun didesak untuk mentransformasi fisionominya. Tentu saja dituntut untuk terus menjadi komunitas yang menjaga relasi personal, karya kasih yang nampak, pertemuan pembinaan langsung dan juga pelayanan sakramen.
Tidak hanya itu saja, paroki didesak untuk membuka diri pada dunia digital lewat: situs internet, post elektronik, jejaring sosial (Facebook, Twitter), perpustakaan online … mempertemukan umat untuk bersikap kritis juga tentang media dan pesan-pesannya. Jika generasi the digital native terus berbicara dalam bahasa yang orang tuanya tidak memahami, maka, Gereja akan kehilangan mereka dalam waktu yang pendek di masa depan. Dalam hal ini perlu pendampingan pada orang tua, guru dan agen pendidik agar mereka memahami bahasa dan budaya baru di awal milenium ketiga ini.
Namun kita bisa juga bertanya, apakah Gereja hadir di dalam dunia digital? Bagaimana berbicara tentang Allah kepada manusia milenium III? Dalam budaya baru ini perlu discernment. Tidak semua yang berembel-embel katolik muncul dalam dunia digital adalah valid dan sejalan dengan finalitas Gereja. Tema-tema religius hendaknya diolah dengan kompetensi, dengan sensibilitas dan profesionalitas yang autentik. Diantara beberapa gelintir orang katolik yang hadir dalam dunia maya, sering ditemukan religius, suster, imam, seminaris, bruder juga. Ketiadaan kontrol secara ketat bukanlah merupakan garansi bagi kebebasan berekspresi. Namun, tidak seorang pun punya hak untuk berbicara atas nama Gereja, bila tidak diberi kuasa oleh Gereja sendiri . Maka perlu dibedakan antara posisi dan ajaran Gereja dengan opini personal.
Berikut ada beberapa situs yang mencoba menghadirkan nilai-nilai injili di dalam era digital.

Seputar Vatikan
+ http://www.vatican.va/phome_it.htm
+ http://www.news.va/en
+ http://www.romereports.com/

Berdialog dengan imam / religius
+ http://www.pretionline.it/

Bahan pastoral
+ http://www.siticattolici.it/Segnalazioni_Varie/Siti_Personali/Blog/
+ http://catholicbloggersnetwork.blogspot.com/
+ http://www.bloguerosconelpapa.org/
+ http://www.micromedia.unisal.it/ (untuk pastoral)
+ http://www.maranatha.it/ (untuk pastoral)
+ http://www.qumran2.net/index.php (untuk pastoral)
+ http://www.testimonidigitali.it/ (pastoral online)
+ http://www.vangelodelgiorno.org/main.php?language=IT
+ http://www.comepraytherosary.org/ (pastoral doa dari Tanah Suci)
+ http://it.lourdes-france.org/tv-lourdes/ (on line dari Lourdes)
+ http://www.cuoreimmacolato.it/MIR.asp (on line dari Medjugorje)

2.2 Proyek pastoral
Setiap proyek pastoral hendaknya mempertimbangkan relasi antara bahasa iman dan bahasa baru dalam dunia digital. Teknik-teknik modern bukanlah semata-mata sarana komunikasi, kecanggihan teknologi, melainkan sebuah budaya baru yang masih mengambang di udara dan hendaknya ditangkap dan didefinisikan. Maka dalam ha lini, metode pastoral tradisional membutuhkan kreativitas untuk masuk dalam dunia angkatan digital yang lahir dengan HP di bawah bantal.
“Gereja mempertimbangkan kehadiran sarana-sarana komunikasi modern sebagai pemberian dari Allah, sejauh sarana-sarana tersebut di dalam rencana Kehendak Ilahi, terarah untuk mempersatukan manusia di dalam ikatan persaudaraan. Dengan demikian, sarana-sarana tersebut menjadi sumbangan bagi rencana karya keselamatan-Nya”.
Beberapa aspek berkatekese di era digital:
+ Mensinergikan pengalaman iman dengan budaya digital
+ Memahami bahasa baru dan menelaah dampaknya dalam situasi gereja domestik
+ Mengintegrasikan media dengan katekese di milenium ketiga dimana inti pewartaan tetap sama, namun metode dan cara berkatekese berbeda.
+ Membentuk tim pastoral yang terintegrasi. Dalam hal ini, misalnya perlu juga kerjasama antar seksi di dalam paroki sehingga tercipta sebuah sinergi. Oleh sebab itu, hendaknya dikenali para pewarta iman yang baru di dalam proses evangelisasi Gereja. “Setiap orang dipanggil dengan namanya masing-masing, dalam keunikan dan kekhasannya di dalam sejarah kehidupan pribainya, untuk memberikan kontribusi bagi kedatangan kerajaan Allah. Tidak ada talenta, bahkan yang paling kecil dan sederhana sekalipun, yang boleh disembunyikan dan ditelantarkan (bdk. Mt 25,24-27)”.
+ Jika dimungkinkan, mendesak sebuah pastoral antar paroki, di dalam sebuah jaringan.

Kemendesakan katekese ini makin ditunjang oleh kehidupan frenetik kita semua yang seolah-olah membawa kita pada budaya kekafiran, yang menjadi konteks kehidupan umat katolik di Gereja Perdana. Apakah di era digital ada sebuah kebudayaan tanpa Allah? Kita memerlukan kecerdasan akal budi dan hati yang berakar pada kontemplasi wajah Allah Bapa dan Putera-Nya yang berinkarnasi dan tinggal diantara kita.
Dengan demikian, katekese di era digital tidak bisa terlepas dari konteks digital yang menaungi manusia. Penggunaan berbagai macam teknologi hendaknya dilihat dalam cakrawala kontekstual, tidak hanya dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi – informasi, melainkan juga menempatkan user-user yang terkoneksi sebagai subyek baru dengan budaya dan bahasa baru dalam ber-ada, berpikir dan bertindak. Maka dengan pembabtisan dan tugas yang kita terima sebagai saksi dari Kristus yang bangkit, kita dipanggil untuk mengenvangelisasi dunia digital beserta penduduk di dalamnya. Kita semua dipanggil untuk menjadi saksi pengharapan. Sebuah pengharapan, yang meski dalam kesulitan, itu tetap ada dan harus diwartakan.

Makalah didedikasikan untuk seminar mantan mahasiswa kataketik Universitas Atmajaya Jakarta
15 Desember 2012
P. Alfonsus Widhi, sx

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends