martedì 10 dicembre 2013

Misa Requiem Natalia Naibaho

Ketika saya membaca kisah hidup St. Agustinus, dia sangat bangga akan ibunya, Santa Monika. St. Agustinus menceritakan begini. Ketika masih kecil hingga remaja, ibunya adalah orang yang bersahaja; sederhana dan taat pada orang tuanya.  Ketika dia menikah, dia melayani suaminya dengan setia.  Meskipun suaminya itu adalah seorang pemarah, kurang sabar dan kadang tidak setia, dia tidak bertikai  dengannya, tetapi menunggu belaas kasih Allah untuk mengubah hati suaminya menjadi seorang yang beriman dan berkeutamaan. Santa Monika, menurut St. Agustinus, adalah seorang ibu yang membawa damai, yang bisa mendamaikan para tetangga yang berselisih, termasuk mengambil hati ibu mertuanya yang pernah memusuhinya, gara-gara celotehan para pembantu-pembantunya yang kurang bertanggungjawab. Santa Monika melayani siapa saja dengan bertanggung jawab. Bahkan St. Ambrosius, yang waktu itu menjadi uskup agung di Milan, sangat dekat dan bangga dengan ibunya St. Agustinus ini.
Apa yang menjadi kebanggaan St. Monika?  Satu-satunya harapan dan kebanggaan St. Monika adalah melihat Agustinus menjadi katolik, sebelum dia meninggal. Dia ingin melihat Agustinus mengabdi Allah dan meninggalkan semua hal duniawi.
Apa yang bisa kita ambil hikmahnya dari pengalaman St. Monika dan juga pengalaman kita hari ini? Paulus, dalam 2 Tim 1,14: Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan Allah kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita. Iman kita pada Kristus adalah harta yang besar dan indah., namun, terbentuk dalam bejana tanah liat. Bejana ini bermakna kerapuhan dan kelemahan manusiawi seperti: kematian hati nurani, kurang peka akan anjuran dan peringatan dari sesama, ketegaran hati untuk terus memenangkan egoisme pribadi, rasa buru-buru, berbagai macam keinginan pribadi yang tidak teratur, prinsip mau menang sendiri tanpa mengindahkan situasi dan kebutuhan orang lain, kebiasaan menampilkan identitas diri dengan berbagai topeng dan masker jati diri “agar bisa diterima”.
Ketika bejana ini jatuh dan pecah, apa yang terjadi? Tentu harus dibersihkan dan dibuang kalau memang hancur berkeping-keping, karena berasal dari tanah liat. Atau dimanfaatkan untuk hal lain. Dari sudut pandang spiritual, kita bisa melihat bahwa keterpecahan bejana tanah liat ini memiliki efek sosial. Yang lain harus menanggung resiko: membereskan, membersihkan, mengatur tempat agar rapi kembali. Dosa –atau diterjemahkan dengan kerapuhan manusiawi kita, keteledoran kita, ketegaran hati kita untuk tidak mau mendengarkan, tidak horma kita pada peraturan, kematian hati nurani kita – dosa: memiliki efek sosial, berupa kematian yang tidak adil.
Ayub, seorang mistikus penderitaan dalam Perjanjian Lama, siapakah yang bisa mengatakan bahwa dia adalah orang yang berdosa besar sehingga anak-anak, ladang, ternak dan semua hartanya habis? Dia adalah orang yang jujur, tulus dan benar. Tidak ada kesalahan kepadanya. Namun penderitaan itu diterimanya, sebagai sebuah ujian kesetiaan kepada Allah. Apakah dengan tidak adanya rahmat yang membahagiakan dan meneguhkan, Ayub akan tetap setia?
Yesus pun di atas kayu salib juga mengalami kematian yang tidak adil? Tidak ada kesalahan yang bisa ditimpakan kepada-Nya, tapi mengapa dia dihukum seperti seorang penjahat?
Dosa, tidak pernah memiliki karakter personal, karakter privat. Dosa selalu melibatkan sesama dan menghancurkan kehidupan. Kehadiran dosa, merupakan sebuah tanda akan kematian hati nurani yang tidak peka akan tujuan peziarahan kita. Kita berasal dari Allah, dan akan kembali kepada Allah. Tujuan kita ada di surga. Maka, janganlah melupakan identitas ini. Karena, yang menjadi korban dari dosa yang kita lakukan, adalah orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang yang kecil, lemah dan tidak mempunyai suara untuk bisa membalaskan kemarahan mereka.
Bagaimana bisa dipertanggungjawabkan satu gerbong kereta khusus untuk para remaja putri dan ibu-ibu yang justru menjadi korban dari kecelakaan ini? Hukuman seberat apapun, tidak akan bisa mengembalikan mereka yang kita cintai, yang kita kasihi, yang kepadanya kita memupuk sejuta pengharapan. Marilah kita berhati-hati dengan kelemahan, keteledoran dan sikap egois kita yang kurang memperhatikan orang lain, yang melihat orang lain selalu sebagai ancaman dan saingan hidup kita.. semoga sikap-sikap egoisme seperti ini tidak meminta korban yang meninggal dgn tidak adil.
Yesus dalam kesaksian iman Yoh 14, 6 mengatakan “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Kehidupan”. Hari ini, Natali ingin mengucapkan selamat tinggal kepada kita semua. Kepergiannya yang mendadak beserta dengan korban kecelakaan ini membuat kita semua terbelalak. Tidak mungkin! (disebut korban, karena mereka tidak berdaya apa-apa untuk membela diri, mereka rentan dan rapuh melawan tantangan kehidupan yang menggilas kehidupan mereka)  Mata kita tidak sanggup melihat, mulut tidak bisa berkata-kata, air mata seolah sudah kering karena beratnya penderitaan.
Hanya ada satu pengharapan terakhir: Siapakah yang akan menjadi penjamin kehidupan setelah pengembaraan di dunia kita berakhir? Yesus Kristuslah jaminannya. Dia menjadi manusia seperti kita. Dia mengalami kerasnya kehidupan di Nazaret, Galilea dan Yerusalem. Dia mengalami pahitnya menjadi korban ketidakadilan, bahkan wafat di atas kayu salib dengan ketidakadilan! Dia sendiri juga turun ke alam maut untuk menjemput orang-orang benar yang menantikan kebangkitan. Dia sendiri yang menjadi penjamin kita, bahwa barang siapa percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup yang kekal.
Natali sudah dibabtis, menerima komuni dan bersatu dengan Kristus. Kita percaya, bahwa saat ini dia hadir di tengah-tengah kita, ingin memberi salam dan menghibur kita... ingin mengatakan kebahagiaannya untuk bertemu dengan Allah yang dia rindukan.
Imbal jasa Allah kepada manusia yang percaya kepada-Nya adalah Allah sendiri, yang hadir secara pribadi dan menjemput mereka untuk masuk dalam kebahagiaan rumah-Nya.
Karena tadi mulai dengan agustinus, maka, sebagai penutup, saya cuplikkan satu kalimat dari St. Agustinus yang bisa menjad peneguhan kita: Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, ya Allah, dan hati kami belum tenang sebelum beristirahat kepada-Mu. Semoga perayaan misa requiem ini, makin meneguhkan pengharapan kita, akan tujuan akhir kehidupan kita: berkumpul kembali dengan Allah, yang menciptakan dan menebus kita.
P. Alfons sx
Paroki St. Matius Penginjil - Bintaro

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends