Ketika
saya membaca kisah hidup St. Agustinus, dia sangat bangga akan ibunya, Santa
Monika. St. Agustinus menceritakan begini. Ketika masih kecil hingga remaja, ibunya
adalah orang yang bersahaja; sederhana dan taat pada orang tuanya. Ketika dia menikah, dia melayani suaminya
dengan setia. Meskipun suaminya itu
adalah seorang pemarah, kurang sabar dan kadang tidak setia, dia tidak
bertikai dengannya, tetapi menunggu
belaas kasih Allah untuk mengubah hati suaminya menjadi seorang yang beriman
dan berkeutamaan. Santa Monika, menurut St. Agustinus, adalah seorang ibu yang
membawa damai, yang bisa mendamaikan para tetangga yang berselisih, termasuk
mengambil hati ibu mertuanya yang pernah memusuhinya, gara-gara celotehan para
pembantu-pembantunya yang kurang bertanggungjawab. Santa Monika melayani siapa
saja dengan bertanggung jawab. Bahkan St. Ambrosius, yang waktu itu menjadi
uskup agung di Milan, sangat dekat dan bangga dengan ibunya St. Agustinus ini.
Apa yang menjadi kebanggaan St. Monika? Satu-satunya harapan dan kebanggaan St. Monika
adalah melihat Agustinus menjadi katolik, sebelum dia meninggal. Dia ingin
melihat Agustinus mengabdi Allah dan meninggalkan semua hal duniawi.
Apa yang bisa kita ambil hikmahnya dari pengalaman
St. Monika dan juga pengalaman kita hari ini? Paulus, dalam 2 Tim 1,14:
Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan Allah kepada kita, oleh
Roh Kudus yang diam di dalam kita. Iman kita pada Kristus adalah harta yang
besar dan indah., namun, terbentuk dalam bejana tanah liat. Bejana ini bermakna
kerapuhan dan kelemahan manusiawi seperti: kematian hati nurani, kurang peka
akan anjuran dan peringatan dari sesama, ketegaran hati untuk terus memenangkan
egoisme pribadi, rasa buru-buru, berbagai macam keinginan pribadi yang tidak
teratur, prinsip mau menang sendiri tanpa mengindahkan situasi dan kebutuhan
orang lain, kebiasaan menampilkan identitas diri dengan berbagai topeng dan
masker jati diri “agar bisa diterima”.
Ketika bejana ini jatuh dan pecah, apa yang terjadi? Tentu
harus dibersihkan dan dibuang kalau memang hancur berkeping-keping, karena
berasal dari tanah liat. Atau dimanfaatkan untuk hal lain. Dari sudut pandang spiritual,
kita bisa melihat bahwa keterpecahan bejana tanah liat ini memiliki efek sosial.
Yang lain harus menanggung resiko: membereskan,
membersihkan, mengatur tempat agar rapi kembali. Dosa –atau diterjemahkan
dengan kerapuhan manusiawi kita, keteledoran kita, ketegaran hati kita untuk
tidak mau mendengarkan, tidak horma kita pada peraturan, kematian hati nurani kita
– dosa: memiliki efek sosial, berupa kematian yang tidak adil.
Ayub, seorang mistikus penderitaan dalam
Perjanjian Lama, siapakah yang bisa mengatakan bahwa dia adalah orang yang
berdosa besar sehingga anak-anak, ladang, ternak dan semua hartanya habis? Dia adalah orang yang jujur, tulus dan benar. Tidak ada kesalahan
kepadanya. Namun penderitaan itu diterimanya, sebagai sebuah ujian kesetiaan
kepada Allah. Apakah dengan tidak adanya rahmat yang membahagiakan dan
meneguhkan, Ayub akan tetap setia?
Yesus pun di atas kayu salib juga mengalami kematian yang
tidak adil? Tidak ada kesalahan yang bisa ditimpakan kepada-Nya, tapi mengapa
dia dihukum seperti seorang penjahat?
Dosa, tidak pernah memiliki karakter personal, karakter
privat. Dosa selalu melibatkan sesama dan menghancurkan kehidupan. Kehadiran
dosa, merupakan sebuah tanda akan kematian hati nurani yang tidak peka akan
tujuan peziarahan kita. Kita berasal dari Allah, dan akan kembali kepada Allah.
Tujuan kita ada di surga. Maka, janganlah melupakan identitas ini. Karena, yang
menjadi korban dari dosa yang kita lakukan, adalah orang-orang yang tidak
bersalah, orang-orang yang kecil, lemah dan tidak mempunyai suara untuk bisa
membalaskan kemarahan mereka.
Bagaimana bisa dipertanggungjawabkan satu gerbong kereta
khusus untuk para remaja putri dan ibu-ibu yang justru menjadi korban dari
kecelakaan ini? Hukuman seberat apapun, tidak akan bisa mengembalikan mereka
yang kita cintai, yang kita kasihi, yang kepadanya kita memupuk sejuta
pengharapan. Marilah kita berhati-hati dengan kelemahan, keteledoran dan sikap
egois kita yang kurang memperhatikan orang lain, yang melihat orang lain selalu
sebagai ancaman dan saingan hidup kita.. semoga sikap-sikap egoisme seperti ini
tidak meminta korban yang meninggal dgn tidak adil.
Yesus dalam kesaksian iman Yoh 14, 6 mengatakan “Akulah
Jalan dan Kebenaran dan Kehidupan”. Hari ini, Natali ingin mengucapkan selamat
tinggal kepada kita semua. Kepergiannya yang mendadak beserta dengan korban kecelakaan ini membuat
kita semua terbelalak. Tidak mungkin! (disebut korban, karena mereka tidak
berdaya apa-apa untuk membela diri, mereka rentan dan rapuh melawan tantangan
kehidupan yang menggilas kehidupan mereka) Mata kita tidak sanggup melihat, mulut tidak
bisa berkata-kata, air mata seolah sudah kering karena beratnya penderitaan.
Hanya
ada satu pengharapan terakhir: Siapakah yang akan menjadi penjamin kehidupan
setelah pengembaraan di dunia kita berakhir? Yesus Kristuslah jaminannya. Dia
menjadi manusia seperti kita. Dia mengalami kerasnya kehidupan di Nazaret,
Galilea dan Yerusalem. Dia mengalami pahitnya menjadi korban ketidakadilan,
bahkan wafat di atas kayu salib dengan ketidakadilan! Dia sendiri juga turun ke
alam maut untuk menjemput orang-orang benar yang menantikan kebangkitan. Dia
sendiri yang menjadi penjamin kita, bahwa barang siapa percaya kepada-Nya akan
memperoleh hidup yang kekal.
Natali
sudah dibabtis, menerima komuni dan bersatu dengan Kristus. Kita percaya, bahwa
saat ini dia hadir di tengah-tengah kita, ingin memberi salam dan menghibur
kita... ingin mengatakan kebahagiaannya untuk bertemu dengan Allah yang dia
rindukan.
Imbal
jasa Allah kepada manusia yang percaya kepada-Nya adalah Allah sendiri, yang
hadir secara pribadi dan menjemput mereka untuk masuk dalam kebahagiaan
rumah-Nya.
Karena
tadi mulai dengan agustinus, maka, sebagai penutup, saya cuplikkan satu kalimat
dari St. Agustinus yang bisa menjad peneguhan kita: Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, ya Allah, dan hati kami belum
tenang sebelum beristirahat kepada-Mu. Semoga perayaan misa requiem ini,
makin meneguhkan pengharapan kita, akan tujuan akhir kehidupan kita: berkumpul
kembali dengan Allah, yang menciptakan dan menebus kita.
P. Alfons sx
Paroki St. Matius Penginjil - Bintaro