Suatu ketika ada seseorang pemuda yang mendapat perintah untuk menikahi seorang pemudi. Karena enggan, hormat dan keseganan yang dia miliki, akhirnya pemuda itu menikahiseorang pemudi, yang adalah seorang perempuan sundal. Ketiga anak yang dilahirkannya diberi nama "aku hukum", "tidak ada belas kasih/ampun" dan "tidak ada relasi" (putus hubungan). Ketika kupikir dan kurenungkan peristiwa ini.... sangat aneh dan asing bagiku. Namun begitulah kisahnya.. kisah seorang nabi yang bernama Hosea.
Tentu historitas relasi ini bisa dipertanyakan, namun, yang ingin disampaikan adalah bahwa figur yang ditampilkan dalam metafora perkawinan ini adalah dinamika relasi antara Allah dan bangsa Israel, yang kerap mangkir dan mengkhianati kesetiaan Allah.
Ternyata, ceritanya tidak berhenti di sini. Berkali kali Israel mengkhianatinya, namun, dengan kesabaran dan kerendahan hatinya, Allah mencoba menarik hatinya. Allah mencoba membawanya ke tempat sunyi dan sepi (padang gurun) dan berbicara dengan hatinya.
Indah sekali pernyataan itu... kutulis indah, karena konsepnya amat sederhana: cinta kasih. Cinta yang indah itu sederhana dan tanpa macam-macam topeng yang menutupinya. Indah karena di dalam cinta itu ada saling berbagi, kesetiaan, tidak terputuskan selamanya. Tapi kalau dipikir-pikir sejenak, seolah-oleh tiga aspek itu merupakan sebuah ancaman bagi kebebasan manusia? Tidak!!! Justru ketiga aspek itu merupakan bantuan Allah untuk melanggengkan aktualisasi cinta manusia.
Tentu ketika orang memutuskan untuk menikah, dia berniat memberikan diri seutuhnya bagi pasangannya, mengharapkan pasangannya bertindak demikian dan tidak mengharapkan sedikitpun pengkhianatan dari pasangannya tersebut (Mk 10,2-12).
Tapi, kalau salah satu dari pasangan tersebut selingkuh, apa yang terjadi? Bagaimana kita harus bertindak? Mari kita melihat visi Allah tentang manusia di dalam Kej 2,18-24. Allah menciptakan manusia untuk saling menolong. Allah menciptakannya tidak sekedar untuk hidup bersama dan menghasilkan sesuatu. namun agar kedua manusia yang saling mencinta itu sanggup untuk tinggal sehati dan sejiwa bersama dengan pasangannya. Dengan kekuatan cinta yang tulus ini, diharapkan agar masing-masing merasakan kekuatan cinta dari orang lain. "Merasa diri dicintai" merupakan salah satu kondisi agar dapat mengampuni. Apalagi, sistem sosial dimana keluarga-keluarga katolik tinggal kerap tidak mendukung nilai-nilai injili yang ingin mereka hidupi. Dunia yang terpecah, egois, ingin menang sendiri, tidakjujur, serakah, terue menerus menggunakan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah ... adalah sekelumit gaya hidup yang ditawarkan sebagai racun yang memabukkan bagi keluarga. Kalau tidak mengikuti gaya seperti ini, mereka merasa akan terlempar keluar. Inilah serangan yang kuat kepada pasangan suami istri yang berniat sehidup semati, dalam suka dan duka, untung dan malang.. seumur hidup. Kalau kebacut terjadi perselisihan yang tidak terjembatani?
Mari kita ingat Yer 31,3 "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu aku melanjtkan kasih setiaku kepadamu". Saya ingin menekankan kata melanjutkan sebagai salah satu bentuk kesetiaan kepada cinta itu sendiri. Yang mau dibela di sini adalah kesatuan cinta yang indah seperti bunga di musim semi.
Maka, sebagai ajakan, marilah kita memupuk iman kita dengan mempelajarinya. Marilah kita meneguhkan iman kita dan belajar dari rosario: merenungkan misteri-misteri iman bersama dengan Bunda Maria. Mari kita ingat bahwa di dalam Gereja, kita tidak bertemu dengan sebuah rumusan teori, melainkan kita bertemu dengan seseorang yang hidup dan mati untuk kita, Yesus Kristus.
Maka, jika pernikahan adlaah sakramen cinta kasih Allah, maka kesetiaan suami istri adalah pernyataan dari cinta kasih itu sendiri.
Selamat berjuang untuk setia, seperti Yesus setia juga kepada kehidupan dan sejarah kita.
P. Alfonsus Widhi sx
Bintaro