lunedì 19 gennaio 2015

Keluarga di stasiun kereta..

Iya.. di sinilah tempat perhentian dan sementara dimana para penumpang turun, memilih kereta jurusan yang lain lalu melanjutkan perjalanannya, atau pulang ke rumah, ke kantor atau tempat lain yang hendak dituju. Bagi yang suka travelling karena pekerjaan atau sekedar jalan-jalan saja, dunianya akan banyak habis di jalan. Sebuah refleksi suara hati pun muncul dan bertanya secara spontan, bagaimana memanfaatkan waktu yang sedikit secara optimal? Bagaimana meningkatkan kualitas setiap perjumpaan menjadi tidak sekedar urusan bisnis dan pekerjaan, tetapi juga menyentuh kepribadian?
Stasiun kereta api bagi saya itu identik dengan sebuah kenangan akan perjumpaan dan perpisahan. Ada kalanya perlu keberanian kuat, bisa jadi karena agak dipaksakan dari kehendak, untuk meninggalkan masa lalu dengan banyak kenangan yang beragam dan mulai berani menatap ke masa depan dengan pengharapan. Banyak situasi dan perasaan hati, tidak sekedar sentimentalisme belaka, yang mengantar kepergian saya dari satu tempat ke tempat lain. Apalagi kalau sedang antri di stasiun Metro dan melihat begitu banyak orang berbondong-bondong dan berlomba-lomba untuk mencapai pintu kereta dalam kebisuan. Hanya terdengar derap kaki mereka, suara mesin karcis otomatis dan sesekali sekelompok orang mengobrol dan tertawa.
Stasiun kereta bisa merupakan cerminan dari keluarga kita. Mari kita mulai berhenti dan melihat pengalaman keluarga kita dalam sejarah. Mari kita buka keberanian untuk bertanya kepada wajah yang ada di depan pikiran kita:
  • Apakah anda ingat hari ulang tahun pasangan anda? Atau hari-hari penting dalam kehidupan keluarga? (bdk. Yer 2:32)
  • Apakah masa lalu (ransel) berpengaruh pada kehidupan berkeluarga kelak? (bdk. Yun 1-4)
  • Apakah ada ruang pengampunan dalam keluarga? Syaratnya apa? (Hos 3)
  • Bagaimana mengefektifkan komunikasi bagi keluarga karier?
  • Apakah dalam keluarga, ada pembagian kekuasaan - peran, negosiasi dan dialog (Yeh 16 dan 23)?
Pertanyaannya masih bisa dilanjutkan lagi, kalau kereta belum datang…atau kalau stasiun tujuan kita masih jauh. Silahkan mengunyah ini dalam hati untuk menata situasi kehidupan keluarga kita. Sementara itu, karena kereta saya sudah datang…saya tinggal dulu yak. Kita ketemu di perjalanan berikutnya dengan refleksi yang baru…siapa tahu, angin membawa kita untuk ketemu lagi dlam metafora perkawinan dalam kitab Perjanjian Lama.

P. Alfonsus Widhi

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends