sabato 21 luglio 2012

Renungan Minggu Biasa XVI (B)

Kawanan domba di jalan setapak menuju Xavier - Spanyol

Apa perbedaan antara seorang penggembala domba dan penggembala bebek? Dua-duanya punya tanggungjawab menggembalakan binatang piaraan. Meskipun sesama penggembala, mereka memiliki keunikan yang bisa disharingkan satu sama lain. Mari kita simak perbedaan yang mencolok diantara keduanya.
Pertama, penggembala domba menggembalakan domba-dombanya dari depan. Maka, semua binatang itu mengikutinya dari belakang; sementara penggembala bebek mengarahkan pasukannya dari belakang. Seolah-olah, dia menjadi actor di belakang layar yang mengatur semuanya.
Lalu, bagaimana trik mereka untuk mengarahkan binatang-binatang yang dipercayakan kepada mereka? Bagi penggembala domba cukup mudah karena domba-domba itu mengenal tuannya. Makanya tidak ditemukan kesulitan cukup berarti karena domba betina misalnya, dia ini cukup pemalu, tapi amat pandai dan memiliki kemampuan memori yang lebih tinggi dari domba jantan. Dengan demikian akan memudahkan dia untuk menangkap instruksi dari penggembalanya atau membaca situasi di sekitarnya.
Di sisi lain, bagi penggembala bebek, tantangan terbesar darinya adalah menghadapi ocehan dan komentar-komentar dari kawanannya yang tidak pernah diam sejenak. Ketika dia mengarahkan tangan ke kiri, si kawanan pergi ke kanan; demikian juga ketika dia mengarahkan tangan ke kanan, si kawanan pergi ke arah sebaliknya. Tetapi begitulah dinamika kehidupan kawanannya yang penuh dengan keramaian dan kontradiksi.
Bacaan dari Yer 23,1-6, Mzm 23 dan Mk 6,30-34 mengarah semua ke model kepemimpinan. Kita ingat bahwa tugas para penggembala adalah menghidupi spiritualitas imam, nabi dan raja. Saya mempersempit sharing pada bagian terakhir, yaitu tugas penggembalaan sebagai raja.
Figur yang disodorkan oleh Markus amat menarik. Logika penggembalaan sebagai raja dideskripsikan  pertama-tama sebagai figur Yesus yang mengayomi para pekerja pastoralnya. Yesus pertama-tama membaca dan menyentuh hati mereka yang menjadi perpanjangan tangan-Nya. Dia menciptakan sebuah komunio / paguyuban yang berpusat pada diri-Nya sendiri. Paguyuban ini melahirkan sebuah paguyuban dan berujung pada karya pastoral. Di sini kita menemukan satu figure kepemimpinan yang harmonis dimana ada keseimbangan antara pentingnya sebuah paguyuban, persaudaraan dan kebersamaan bersama diantara Yesus dan pekerja pastoralnya, lalu di sisi lain, dari kehidupan di dalam paguyuban ini, yesus mengirim mereka untuk pergi. Maka, kedua aspek ini, yaitu istirahat dan kerja, atau paguyuban dan karya pastoral itu memiliki makna yang seimbang.
Dari sini, mari kita memperdalam penerapan dua tema di lingkungan kita: istirahat dan kepemimpinan.
ketika lewat di Basilika St. Petrus di waktu malam... 
Kepemimpinan
Apakah figur kepemimpinan yang disodorkan oleh Markus itu masih relevan hingga 2000 tahun sesudahnya? LG 88 30 menggarisbawahi kembali logika ini dengan menyatakan bahwa para imam itu tahu, bahwa mereka tidak dididik untuk menanggung beban semua kehidupan pastoral gereja. Tugas mereka adalah menggembalakan domba, umat beriman, gereja dan mendampingi mereka untuk mengenal kekayaan rahmat, karisma dan pelayanan yang mereka miliki, dengan harapan agar mereka pun bisa bekerja sama, sesuai dengan kemampuannya, untuk kebaikan bersama (al bene comune).
Dengan demikian, kepemimpinan para pastor paroki bukanlah sebuah kepemimpinan otoriter. Misalnya: “saya menjadi pastor paroki di sini, maka ini semua milik saya. Dewan pastoral paroki itu ada dalam binaan saya dan mereka semua harus tunduk pada saya.” Logika seperti ini masih ada dan kerap saya temukan.
Contoh yang lain misalnya bisa kita lihat pada kehadiran para kongregasi religius di paroki kita. Apakah mereka hadir, berkarya dan terlibat dalam dinamika kehidupan paroki atau terlalu sibuk dengan karya pastoralnya sendiri; misalnya bekerja menghasilkan income bagi kongregasi dan kurang cooperatif dalam kegiatan-kegiatan di paroki?
Saudara/i, misteri gereja adalah misteri integrasi timbal balik antara kaum awam, rohaniwan/wati dan imam. Di dalam gereja tidak ada warga kelas satu dan kelas dua. Kita semua adalah ranting-ranting yang tumbuh dan berkembang dari satu pokok anggur, yaitu Yesus sendiri. Posisi yang kita miliki sekarang adalah pengejawantahan dari rahmat dan karisma yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Maka, lembaran dari kitab yeremia merupakan sebuah pukulan keras bagi para pemimpin, penggembala yang membawa kawanannya atau mereka yang dipercayakan kepadanya, kepada jalan yang menyimpang. Para gembala itu bisa jadi uskup, pastor, suster, orang tua, guru, pengurus di paroki, pemimpin masyarakat, politikus, gubernur, ketua RT/RW dst.
Istirahat
Apakah memang benar, kalau kerja dan istirahat itu memiliki makna yang seimbang? Bukankah kita kerap berpikir bahwa kita itu menjadi amat efektif kalau bekerja / istirahat, dan tidak produktif kalau diam saja? Mari kita telaah makna dari kata istirahat. Kesan pertama adalah bahwa istirahat itu merupakan waktu bebas dari pekerjaan, atau sebuah waktu dimana tidak ada sesuatu yang wajib dikerjakan. Bisa jadi, waktu istirahat adalah waktu untuk menjadi pelancong, liburan, menjadi konsumen semampunya atau waktu untuk dapat berekspresi semau gue. Pemahaman waktu istirahat ini sudah dimanipolasi dan teralienasi dari logika “bekerja” yang sesungguhnya.
Memang benar bawah jati diri manusia pada dasarnya tercipta untuk bekerja, beristirahat, tidur, bernyanyi, menari dan juga berdoa. Tetapi kalau kita melihat unsur masing-masing, semuanya ada dalam sebuah ketegangan, sebuah tarik ulur. Misalnya, antara kerja dan istirahat, antara berdoa dan bekerja, meluangkan waktu untuk keluarga, lingkungan dan tempat kerja, memberikan perhatian pada anak, pada teman, pada rekan kerja atau pada gereja. Semuanya ada dalam ketegangan seperti digambarkan dalam kitab Qohelet 3,1-5. Tetapi jangan dilupakan bahwa dalam lembaran kitab Perjanjian Lama, kita bisa menemukan beberapa teks yang menyatakan bahwa dalam waktu tenang, istirahat dan hening, Tuhan menyatakan diri-Nya. Waktu ini bukanlah waktu pasif dan tidak berguna. Justru sebaliknya, ketika manusia itu pasif, Tuhanlah yang justru berinisiatif member petunjuk dan mengarahkan jalan hidup manusia (bdk. Mzm 127,1-2, kisah penciptaan di Kej 2 atau kisah panggilan Musa di Kel).
Jadi bisa disimpulkan bahwa waktu istirahat ini adalah waktu yang amat efisien untuk kembali kepada akar; waktu amat efektif untuk masuk ke dalam lorong-lorong kehidupan diri kita sendiri dan menemukan pencerahan di dalam Kristus, Sang Gembala kita; waktu untuk memilah-milah dan mengenal hal mana yang merupakan kehendak Allah dan hal mana yang merupakan jebakan untuk lebih menjauhkan kita dari-Nya.
Ajakan
Marilah kita membentuk jiwa kepemimpinan kita seperti Yesus, Sang Gembala baik. Marilah kita beristirahat sejenak bersama Kristus dengan memberikan waktu bagi Dia untuk bersabda, sekaligus menelusuri lorong-lorong gelap dalam hati kita untuk mendapat pencerahan dari-Nya.
p. alfonsus Widhi sx

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends