|
Kawanan domba di jalan setapak menuju Xavier - Spanyol |
Apa perbedaan antara seorang penggembala domba dan
penggembala bebek? Dua-duanya punya tanggungjawab menggembalakan binatang
piaraan. Meskipun sesama penggembala, mereka memiliki keunikan yang bisa
disharingkan satu sama lain. Mari kita simak perbedaan yang mencolok diantara
keduanya.
Pertama, penggembala domba menggembalakan domba-dombanya
dari depan. Maka, semua binatang itu mengikutinya dari belakang; sementara
penggembala bebek mengarahkan pasukannya dari belakang. Seolah-olah, dia
menjadi actor di belakang layar yang mengatur semuanya.
Lalu, bagaimana trik mereka untuk mengarahkan
binatang-binatang yang dipercayakan kepada mereka? Bagi penggembala domba cukup
mudah karena domba-domba itu mengenal tuannya. Makanya tidak ditemukan
kesulitan cukup berarti karena domba betina misalnya, dia ini cukup pemalu,
tapi amat pandai dan memiliki kemampuan memori yang lebih tinggi dari domba
jantan. Dengan demikian akan memudahkan dia untuk menangkap instruksi dari
penggembalanya atau membaca situasi di sekitarnya.
Di sisi lain, bagi penggembala bebek, tantangan terbesar
darinya adalah menghadapi ocehan dan komentar-komentar dari kawanannya yang
tidak pernah diam sejenak. Ketika dia mengarahkan tangan ke kiri, si kawanan
pergi ke kanan; demikian juga ketika dia mengarahkan tangan ke kanan, si
kawanan pergi ke arah sebaliknya. Tetapi begitulah dinamika kehidupan
kawanannya yang penuh dengan keramaian dan kontradiksi.
Bacaan dari Yer 23,1-6, Mzm 23 dan Mk 6,30-34 mengarah semua
ke model kepemimpinan. Kita ingat bahwa tugas para penggembala adalah
menghidupi spiritualitas imam, nabi dan raja. Saya mempersempit sharing pada
bagian terakhir, yaitu tugas penggembalaan sebagai raja.
Figur yang disodorkan oleh Markus amat menarik. Logika
penggembalaan sebagai raja dideskripsikan
pertama-tama sebagai figur Yesus yang mengayomi para pekerja
pastoralnya. Yesus pertama-tama membaca dan menyentuh hati mereka yang menjadi
perpanjangan tangan-Nya. Dia menciptakan sebuah komunio / paguyuban yang berpusat
pada diri-Nya sendiri. Paguyuban ini melahirkan sebuah paguyuban dan berujung
pada karya pastoral. Di sini kita menemukan satu figure kepemimpinan yang
harmonis dimana ada keseimbangan antara pentingnya sebuah paguyuban,
persaudaraan dan kebersamaan bersama diantara Yesus dan pekerja pastoralnya,
lalu di sisi lain, dari kehidupan di dalam paguyuban ini, yesus mengirim mereka
untuk pergi. Maka, kedua aspek ini,
yaitu istirahat dan kerja, atau paguyuban dan karya pastoral itu memiliki
makna yang seimbang.
Dari sini, mari kita memperdalam penerapan dua tema di lingkungan kita: istirahat dan kepemimpinan.
|
ketika lewat di Basilika St. Petrus di waktu malam... |
Kepemimpinan
Apakah figur kepemimpinan yang disodorkan oleh Markus itu
masih relevan hingga 2000 tahun sesudahnya? LG 88 30 menggarisbawahi kembali
logika ini dengan menyatakan bahwa para imam itu tahu, bahwa mereka tidak
dididik untuk menanggung beban semua kehidupan pastoral gereja. Tugas mereka
adalah menggembalakan domba, umat beriman, gereja dan mendampingi mereka untuk
mengenal kekayaan rahmat, karisma dan pelayanan yang mereka miliki, dengan
harapan agar mereka pun bisa bekerja sama, sesuai dengan kemampuannya, untuk kebaikan bersama (al bene comune).
Dengan demikian,
kepemimpinan para pastor paroki bukanlah sebuah kepemimpinan otoriter.
Misalnya: “saya menjadi pastor paroki di sini, maka ini semua milik saya. Dewan
pastoral paroki itu ada dalam binaan saya dan mereka semua harus tunduk pada
saya.” Logika seperti ini masih ada dan kerap saya temukan.
Contoh yang lain
misalnya bisa kita lihat pada kehadiran para kongregasi religius di paroki
kita. Apakah mereka hadir, berkarya dan terlibat dalam dinamika kehidupan
paroki atau terlalu sibuk dengan karya pastoralnya sendiri; misalnya bekerja
menghasilkan income bagi kongregasi dan kurang cooperatif dalam
kegiatan-kegiatan di paroki?
Saudara/i,
misteri gereja adalah misteri integrasi timbal balik antara kaum awam,
rohaniwan/wati dan imam. Di dalam gereja tidak ada warga kelas satu dan kelas
dua. Kita semua adalah ranting-ranting yang tumbuh dan berkembang dari satu
pokok anggur, yaitu Yesus sendiri. Posisi yang kita miliki sekarang adalah pengejawantahan
dari rahmat dan karisma yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Maka, lembaran dari
kitab yeremia merupakan sebuah pukulan keras bagi para pemimpin, penggembala yang
membawa kawanannya atau mereka yang dipercayakan kepadanya, kepada jalan yang menyimpang.
Para gembala itu bisa jadi uskup, pastor, suster, orang tua, guru, pengurus di paroki,
pemimpin masyarakat, politikus, gubernur, ketua RT/RW dst.
Istirahat
Apakah memang benar, kalau kerja dan istirahat itu memiliki
makna yang seimbang? Bukankah kita kerap berpikir bahwa kita itu menjadi amat
efektif kalau bekerja / istirahat, dan tidak produktif kalau diam saja? Mari
kita telaah makna dari kata istirahat. Kesan pertama adalah bahwa istirahat itu
merupakan waktu bebas dari pekerjaan, atau sebuah waktu dimana tidak ada
sesuatu yang wajib dikerjakan. Bisa jadi, waktu istirahat adalah waktu untuk
menjadi pelancong, liburan, menjadi konsumen semampunya atau waktu untuk dapat
berekspresi semau gue. Pemahaman waktu istirahat ini sudah dimanipolasi dan
teralienasi dari logika “bekerja” yang sesungguhnya.
Memang benar bawah jati diri manusia pada dasarnya tercipta
untuk bekerja, beristirahat, tidur, bernyanyi, menari dan juga berdoa. Tetapi
kalau kita melihat unsur masing-masing, semuanya ada dalam sebuah ketegangan,
sebuah tarik ulur. Misalnya, antara kerja dan istirahat, antara berdoa dan
bekerja, meluangkan waktu untuk keluarga, lingkungan dan tempat kerja,
memberikan perhatian pada anak, pada teman, pada rekan kerja atau pada gereja.
Semuanya ada dalam ketegangan seperti digambarkan dalam kitab Qohelet 3,1-5.
Tetapi jangan dilupakan bahwa dalam lembaran kitab Perjanjian Lama, kita bisa
menemukan beberapa teks yang menyatakan bahwa dalam waktu tenang, istirahat dan
hening, Tuhan menyatakan diri-Nya. Waktu ini bukanlah waktu pasif dan tidak
berguna. Justru sebaliknya, ketika manusia itu pasif, Tuhanlah yang justru
berinisiatif member petunjuk dan mengarahkan jalan hidup manusia (bdk. Mzm 127,1-2, kisah penciptaan di Kej 2 atau kisah
panggilan Musa di Kel).
Jadi bisa disimpulkan
bahwa waktu istirahat ini adalah waktu yang amat efisien untuk kembali kepada
akar; waktu amat efektif untuk masuk ke dalam lorong-lorong kehidupan diri kita
sendiri dan menemukan pencerahan di dalam Kristus, Sang Gembala kita; waktu
untuk memilah-milah dan mengenal hal mana yang merupakan kehendak Allah dan hal
mana yang merupakan jebakan untuk lebih menjauhkan kita dari-Nya.
Ajakan
Marilah kita membentuk jiwa kepemimpinan kita seperti Yesus,
Sang Gembala baik. Marilah kita beristirahat sejenak bersama Kristus dengan memberikan
waktu bagi Dia untuk bersabda, sekaligus menelusuri lorong-lorong gelap dalam hati
kita untuk mendapat pencerahan dari-Nya.
p. alfonsus Widhi sx