|
Foto M. Frasinetti sx
diambil di Cina pada abad lalu |
Jam enam pagi
pada tanggal 20 Maret 1865, lahir di Casalora – Italia, dari pasangan Rinaldo
Conforti dan Antonia Adorni, si kecil Yosef Guido Maria Conforti. Pak Rinaldo,
seorang petani yang tidak pernah lelah, memiliki ladang garapan yang amat luas
di sekitar rumahnya. Dia adalah seorang figur yang amat kaya, namun sekaligus
juga rakus, jarang mempraktekkan kehidupan beriman dan dia bukanlah tipe seorang katolik
yang sejati. Namun istrinya, ibu dari si Conforti kecil, adalah
seorang kristiani sejati dan menghidupi imannya setiap hari dengan setia. Dialah
yang menopang kehidupan beriman di dalam keluarga. Misalnya, ibu ini selalu mendaraskan
rosario setiap sore hari.
Suatu sore,
sambil memangku si Conforti kecil dalam pangkuannya, ibu Antonia menunjukkan
kepadanya sebuah salib. Sambil memegang jari jemari Guido, si ibu menuntunnya
untuk menyentuh bekas-bekas luka pada paku di Salib sambil berkata: «lihatlah,
betapa Allah menderita untuk kita».
Kesan pertama
yang baik adalah sebuah titik pijak yang kokoh untuk terus maju. Inilah saat
pertemuan privat antara tatapan mata si Conforti kecil dengan Yesus yang
memandang dari salib. Ini adalah sebuah peristiwa sederhana yang terjadi pada diri
semua orang. Peristiwa ini bisa terbang bersama dengan angin yang berlari
bersama dengan waktu. Namun, tatapan mata dari kayu salib pada sore hari itu membekas
di hati si Conforti kecil dan terus mendesak dia sepanjang hidup, untuk
selalu berangkat dari Yang Tersalib.
Inilah peristiwa “pertobatan” Conforti kecil, sebuah peristiwa yang menjadi karakter dari semua orang beriman. Disebut
pertobatan karena ada dua unsur penting di dalamnya. Pertama, karena ada rahmat
Allah yang berkarya dan kedua, ada sebuah gejala iman, yang mentransformasi
dinamika kehidupan pribadi dan mempengaruhi cara si Conforti kecil untuk
berada, berpikir, bertindak dan berelasi di dalam sejarah.
Gejala iman itu
bisa berupa sebuah kematian dari beberapa aspek negatif atau egoisme yang manusia
miliki. Pertemuan dengan Yang Tersalib membantunya untuk keluar dari kematian
ini dan melihat wajah Kristus terpancar dalam wajah setiap orang yang dia
temui. Maka, bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang katolik tanpa sebuah
pengalaman bersama dengan dan di dalam Salib. Pilihan mengikuti jejak Kristus
tidak pernah berhenti pada saat pembabtisan. Itulah sebabnya, di setiap jenjang
kehidupan manusia, selalu ada saat “kematian” dan “pertobatan” yang harus
dirayakan.
Pada musim gugur
di tahun 1872, si Conforti kecil pindah dari Casalora ke kota Parma, yang
berjarak sekitar 13 kilometer. Di kota ini dia memasuki jenjang sekolah dasar
di Institut La Salle, dekat di rumah keluarga Maini di jl. Borgo Torto, n° 8. Selama
lima tahun tinggal di keluarga ini, si Conforti kecil, yang baru berusia delapan
tahun, belajar hidup sebagai seorang katolik dengan kesederhanaan yang menjadi
karakternya. Hidup secara terpisah dari orang tua memberikan waktu kepadanya, untuk
mengenang saat-saat indah bersama dengan keluarga dan mengingat bagaimana
ibunya mengajarinya berdoa.
Pertemuan dengan Yesus
yang tersalib, di oratorio yang selalu dia lewati setiap pagi
menuju ke sekolah, membangunkan kembali kenangan, ketika dia mengenal-Nya dari
ibunya. Maka, pertemuan dengan salib Kristus yang besar, amat indah, amat hidup
dan sangat menarik perhatian di oratorio tersebut, memanggil kembali kenangan hati
masa kecilnya dahulu: “lihatlah, betapa Allah menderita untuk kita”.
Kegembiraan bertemu
dengan iman, yang dimiliki oleh ibunya, menuntun si Conforti kecil untuk berlutut dan hening sejenak
di depan Kristus yang Tersalib. Keindahan itu tertuang dalam kesaksiannya “aku
memandang Dia dan Dia memandang aku. Seolah-olah, Dia mengatakan banyak hal
kepadaku”.
Dengan kesaksian
ini, Santo Conforti kecil menunjukkan keindahan pertemuan iman dengan Kristus
yang Tersalib, sebuah pertemuan yang dipenuhi dengan persahabatan dimana di
dalamnya dia berkomunikasi dan mendengar Yang Tersalib. Ketika tatapan-Nya, yang
memikat melayang ke atas bumi dan tertumpu kepada dia yang berlutut di
hadapan-Nya, Dia melepaskan dahaga jiwa, yang haus dan yang terus mencari-Nya. Tatapan
tajam matanya mengungkapkan keindahan dan kebesaran cinta kasih Allah kepada
kita semua, melalui penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Melalui kesederhanaan
ini, terbukalah sebuah cakrawala peziarahan iman, yang akan memperkaya dan
menopang Guido Conforti, sebagai bapak para misionaris dan uskup bagi kota
Ravenna dan Parma.
disarikan dari "Volare con le due ali"
Novisiat Xaverian Bintaro
alfonsus widhi sx