4) Tetap berbeda, tetapi
saling tergantung. Kita terbiasa melakukan segala sesuatu secara mandiri,
sendiri dan dalam kesendirian atau bersama-sama dengan orang lain? Dalam
keluarga, beberapa contoh diskusi seperti ini kerap muncul. Misalnya, apakah
berpartisipasi dalam doa lingkungan atau latihan koor bersama-sama di
lingkungan adalah buang-buang waktu saja? Apakah membawa anak-anak untuk ikut
bina iman di wilayah, mendorong remaja untuk ikut kegiatan OMK atau melibatkan
diri sebagai volunteer untuk kegiatan-kegiatan di paroki itu tidak baik bagi
perkembangan mereka? Bagaimana mengefektifkan komunikasi bagi keluarga yang
semuamnya berkarier, dimana waktu
efektif untuk bertemu, berkumpul, tinggal bersama dan menghidupi dinamika
keluarga minimal hanya tiga sampai empat jam per hari?
Bersama menjunjung |
Celah yang bisa dimasuki untuk memahami dinamika dialog adalah dengan tidak menggunakan timbangan untuk mengetahui sejauh mana saya otonom (di hadapan otonomi dai pasangan) dan sejauh mana kita adalah satu pasangan bersama sebagai keluarga (dengan demikian tidak ada ruang otonom), tetapi menempatkan diri pada level yang lain, yaitu masing-masing berani mempercayakan dirinya pada orang lain. Bagaimana caranya? Pertanyaan ini mungkin bisa membantu: bagaimana saya sanggup untuk menjadi teladan bagi pasangan atau sejauh mana saya sanggup terbuka untuk mencontoh teladan pasangan dan membiarkan diri untuk dipengaruhi?
Ini bukan soal harga diri yang turun atau naik pangkat, bukan otonomi atau sikap ketergantungan berlebihan yang menginvasi pasangan, tapi menyadari sikap batin yang tersembunyi: mana yang merupakan hak milikku sebagai milikku saja di hadapan hak milikmu sehingga aku tidak bisa mengotak-atik, atau mana yang merupakan hak milik berdua sehingga masing-masing memiliki hak yang sama. Mari kita ingat bahwa milik bisa saja berupa benda, harta, status, kekuasaan, superioritas, pengalaman, waktu, pekerjaan, afeksi, sentimen (bukan sentimentalisme) dan masih ada banyak lagi. Di sini perlu diwaspadai sikap kerakusan dan ketamakan dalam kepemilikan hanya untukku. Model seperti ini cenderung untuk memiliki semua bagi dirinya sendiri, dan ketika pasangan meminta untuk menempatkan bersama apa yang dimiliki, atau paling tidak menunjukkan saja apa yang dimiliki, dia akan menyerang balik soal kepemilikan.
Kalau diperdalam, dipikir dan direnungkan, sebetulnya, bukan
soal apa yang dimiliki, tetapi bagaimana sikap, perasaan dan pemikiran pada apa
yang ada di tangan. Ini yang kerap menjadi sumber diskusi-diskusi dalam
keluarga. Meskipun seseorang memiliki banyak hal, dia merasa miskin dan
menderita seperti orang tidak punya apa-apa – atau – meskipun dia tidak punya
banyak hal, tetapi menghidupi dengan penuh syukur dan berani berbagi dengan
keterbatasan yang dimilikinya, dia bahagia seperti malaikat.
Inilah tantangan diskusi, yang terletak pada kerakusan dan
keserakahan yang mengganjal kemampuan untuk saling mempercayakan diri pada
pasangan. Sangat tipis memang sikap dasar ini. Pada intinya, risonansi afektif
dari sikap ketergantungan akan membantu pasangan untuk menemukan ukuran yang
tepat tentang kapan misalnya, pasangan lain memerlukan waktu untuk sendiri,
untuk diam dan beristirahat serta tidak memaksanya untuk bertindak memenuhi
keinginan kita atau hanya untuk menyenangkan kita saja.
Nessun commento:
Posta un commento