5) Dari hidup bersama
menuju bersama-sama menghidupi keluarga. Perasaan cinta pada pasangan kerap
menjadi alasan mengapa seseorang memutuskan untuk mengkekalkan cinta itu dalam
ikatan janji perkawinan. Tetapi,
ikatan janji perkawinan tidak boleh dibingungkan dengan perasaan spontan
mencintai pasangan. Ikatan janji bersifat tetap, sedangkan perasaan seseorang
pada pasangan itu bersifat dinamis. Perasaan cinta itu kadang bernyala-nyala
seperti api yang membara, kadang juga dingin seperti es dan menjadi seperti orang asing di rumah
sendiri.
Duduk dan ngopi 5 menit besama, bukanlah membuang waktu |
Ketika rasa cinta
mulai menghilang dan legalitas hukum ikatan janji perkawinan mulai ditekankan,
muncul alarm dalam relasi yang tidak bisa ditunda lagi untuk diperhatikan. Nervosisme
dalam berelasi mulai muncul dengan memberi
jarak mekanisme pembelaan diri pada pasangan dengan misalnya, mencari
kambing hitam pada olah raga, pekerjaan, kecapaian, sakit kepala dst.
Jika pada bulan-bulan atau tahun-tahun pertama perkawinan, pasangan memberi banyak waktu untuk tinggal bersama dan menemukan kebahagiaan di dalamnya, lalu ditemukan hal-hal baru dalam diri pasangan dan mulai kehilangan passion untuk tinggal bersama, bahkan mulai muncul sikap agresivitas terbuka atau tidak langsung pada pasangan: inilah saatnya untuk bernegosiasi? Apakah keluarga dipahami sebagai merger antara dua insan yang semula hidup dalam dua rumah yang berbeda, kini tinggal serumah? Keluarga bukanlah merger dua perusahaan. Rumah bukanlah tempat parkir dua kendaraan di malam hari. Komunikasi tidak hanya berbagi informasi saja, mengutarakan perasaan saja, mencari solusi saja atau mencari kambing hitam saja.
Rasa cinta tidak
cukup untuk membangun sebuah keluarga, perlu sebuah keputusan pribadi yang
dewasa dan matang: Aku memilih engkau
menjadi isteri /suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu
dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan
menghormati engkau sepanjang hidup saya.
Yesus memberikan
teladan, mencintai dengan tulus dan jujur itu tanpa batas. Bahkan dengan
konsekuensi kematian pada kayu salib! Tetapi perlu diingat, kekuatan cinta itu
bahkan bisa menembus dinding-dinding kematian yang membelenggu Yesus, menuju
pada kebangkitan. Cinta kasih membawa pada kehidupan, bukan kematian.
Sebuah krisis yang
ditemui dalam perjalanan hidup perkawinan, belum serta merta mengatakan bahwa
keluarga ada dalam kondisi krisis perkawinan. Bisa jadi, problematika yang
muncul dan ditemui itu merupakan sebuah tuntutan
zaman agar keluarga berkembang ke tahap selanjutnya. Sedih memang, bila
tuntutan evolusi perkembangan dalam hidup berkeluarga dilihat sebagai ancaman,
sebagai krisis cinta yang mulai memudar lalu terburu-buru mengambil keputusan
berpisah, justru saat dimana dinamika hidup berkeluarga bisa diperbaiki untuk
hidup dengan lebih baik. Jika tidak ada ruang untuk ketidaksempurnaan dalam
keluarga, maka tidak ada ruang untuk penebusan Kristus bagi keluarga.
Beryukurlah bila pasutri menemukan kerikil-kerikil yang tajam dalam kehidupan
perkawinan. Mari kita melihat dan mengenali kehadiran kerapuhan salib di sana dan
dengan menatap wajah Kristus yang bangkit, kita rajut kehidupan berkeluarga
menuju kepada kebangkitan Kristus.
Sekian.
Nessun commento:
Posta un commento