merenungkan Luk 23, 35-48
Yesus sendiri
berdiri di antara mereka. Kata di antara adalah sangat signifikan untuk
memahami kehadiran Allah di pihak kita hingga akhir zaman. Kata ini terus
bergema hingga hari ini di berbagai lukisan kebangkitan, yang dibuat oleh para penginjil.
Kata di antara juga mengingat simbol perjanjian
dalam Perjanjian Lama, yang melambangkan kehadiran Allah di antara bangsanya sendiri.
Tampaknya Allah sendirilah adalah penulis sejarah Israel atau bahkan Dialah
sumber semangat hidup yang terus menuntun hati orang Israel untuk kembali .. dan
menimba kembali kehidupan dari Dia agar dapat hidup. Kita bisa bayangkan
perjalanan Israel melalui padang gurun dari Mesir ke tanah perjanjian dan perjalanan
keluaran kedua dari tanah pengasingan menuju Yerusalem. Kita bisa juga melihat apa
yang dilakukan Samuel untuk memerintah bangsa dengan panduan kebijaksanaan yang
datang dari atas. Kita bisa menyimak juga misteri hubungan antara Allah dan
manusia dalam metafora pernikahan yang terlukis dalam lembaran kitab-kitab para
nabi dan kitab-kitab kebijaksanaan.
Tuhan ini, yang
berada di tengah-tengah umat-Nya, berinkarnasi dalam sejarah manusia dan ambil
bagian dalam kehidupan manusia dalam diri Kristus Yesus. Keberadaan ini juga diperkuat
dengan salam awal kepada para murid-Nya, Damai
–shalom- bagimu. Sebuah ucapan yang mengingatkan kita akan salam para
malaikat kepada para gembala yang berjaga di Padang gurun: Kemuliaan bagi Allah di surga tertinggi dan di bumi damai di antara
mereka kepada yang dicintainya (Luk 2.14). Sekarang, karunia perdamaian diberikan oleh
Kristus yang bangkit kepada murid-muridnya. Semoga mereka menyambut salam itu dalam
hati mereka, seperti yang dilakukan para gembala ketika menyambut Penebus dunia
dalam kedamaian dan kesederhanaan gua Betlehem.
Bagaimana kita
bisa membingkai pengalaman kematian dalam logika kebangkitan Yesus Kristus?
Tentu saja, menghadapi ketakutan, pengalaman bahwa tidak ada yang tahu dan
dapat mengalami dua kali kematian, selalu ada ketidakpastian, rasa sakit tak tertahankan
dan misteri wajah dalam kematian yang
membisu. Untuk membantu refleksi ini, saya mau mengajak melihat dua tulisan
para maestro kehidupan rohani: Basilius Agung dalam homilinya tentang martir Giulitta
§ 4 dan § Agustinus dari Hippona dalam Confessioni 9,10-11 ketika ia berbicara
tentang kematian Monica, ibunya.
Demikian Basilius
Agung membagikan renungannya tentang makna kematian: seorang anak yang lembut telah diculik oleh kematian dan penderitaan yang
dialami oleh ibu waktu melahirkannya kembali menyayat hatinya yang berduka
untuk anak tercinta: bagaimana bisa menghentikan ratapan dan melambungkan
ucapan syukur pada Allah di dalam situasi seperti ini? Jika engkau berpikir sejenak
tentang anak yang engkau lahirkan, Allah Bapa adalah Bapanya yang sejati, yang
menuntun dan memeliharanya sekaligus penopang kehidupannya. Mengapa kita kerap
tidak mengijinkan Allah yang maha bijaksana, membagi-bagikan hartanya
sesukanya, dan mengapa kita seolah-olah terganggu seperti seolah-olah Allah
merampas harta milik kita? Berpikirlah bahwa anak ini tidak mati, tetapi
dikembalikan, dan bahwa anakmu yang terkasih tidak mati, tetapi telah pindah
tempat, dan dalam waktu yang singkat,dia telah mendahului kamu menapaki jalan yang
kita semua perlu harus lewati. Jadi ... mengapa engkau tidak belajar untuk menganggap
hal-hal fana sebagai sebuah kematian? Seorang manusia lahir dalam kefanaan. Apa
yang sangat luar biasa terjadi ketika orang yang fana ini meninggal? Bukankah
bulan itu kadang bulat bersinar dan kadang Nampak juga separuh dan padam? Bukankah
engkau melihat tanah yang kini berwarna hijau dedaunan dan menjadi kering di
lain waktu? Apa yang stabil di sekitar kita?
Lihatlah langit dan melihat bumi: mereka pun tidak stabil. "Langit dan
bumi akan berlalu. Bintang-bintang akan jatuh dari langit, matahari akan
menjadi gelap, bulan tidak akan bersinar "(Mat 24,35.29). Dengan
mempertimbangkan ini, ketika engkau mengalami hal yang menjadi nasib umum
setiap manusia (kematian), tanggunglah ini dalam keheningan, dengan bela rasa,
bukan dengan sikap acuh dan apatis, tetapi dengan pergulatan di tengah-tengah banyak
penderitaan. Berjuanglah seperti seorang petarung yang murah hati, yang
mengungkapkan kekuatan dan keberaniannya dengan tidak hanya memukul lawan,
tetapi juga dengan menerima kerasnya hantaman dari lawan. Peristiwa kehilangan
seorang anak, seorang istri yang penuh kasih atau orang lain yang paling intim
dan paling kita kasihi, bukanlah sesuatu yang mengerikan bagi manusia yang bijak,
yang menempatkan akal budi yang bijak untuk menuntun kehidupannya, bukan
berdasar hanya pada kebiasaan.
Mengingat
ibu tercinta, Monica, yang telah meninggalkan Ostia, Agustinus mendedikasikan
halaman ini dalam buku yang mengurai tentang pertobatannya. Dia ingat kata-kata ibunya begini "Anaku, bagiku hidup ini tidak lagi memiliki ketertarikan lagi
bagiku. Untuk apa aku di sini, apa yang kulakukan di sini
dan mengapa aku di sini.. semua aku tidak tahu. Harapan saya di atas bumi ini sekarang
sudah habis. Hanya ada satu hal yangpernah membuat saya ingin untuk tinggal di bumi sedikit
lebih lama: untuk melihat engkau menjadi Katolik sebelum aku meninggal. Tuhanku
telah mendengarkanku dan melegakan daku, karena aku melihatmu bahkan sampai menganggap
sampah kebahagiaan duniawi demi melayani Tuhan kita. Lalu, apa yang aku lakukan
di sini? Kemudian adiknya
meminta Agustinus untuk menguburkan ibunya di tempat itu juga, di Ostia, sambil mengucapkan beberapa kata, mengungkapkan harapan bahwa kematian tidak
diterima di negeri asing, tetapi di rumah.
Semoga Tuhan kita Yesus Kristus akan menjadi motor penggerak bagi kehidupan yang ada di dalam diri kita dan menguatkan kita untuk menjadi saksi-Nya
yang setia.
selamat paska
wisma xaverian, bintaro. 12 april 2012. p. alfons sx