Seorang teman dari Milano, Italia, menanggapi email saya
bercerita bahwa dalam hidupnya dia merasa seperti sudah direduksi. Mengapa?
Coba lihat saja bagaimana dia harus menjalani aktivitasnya sehari-hari. Untuk
berangkat ke kampus, dia harus mengeluarkan kartu pelanggan naik angkutan umum;
untuk masuk ke perpustakaan dia harus menggunakan kartu anggota perpustakaan;
untuk pergi ke tempat kerja, dia harus memasukkan kartunya ke register daftar
pekerja yang hadir; ketika dia sakit, dia harus menggunakan kartu kesehatan;
ketika dia berbelanja, dia harus menggunakan kartu belanjaan di toko tertentu
dan membayar dengan kartu kredit; ketika dia mengendarai mobil, dia harus
membawa SIM dan KTP dan untunglah, ketika dia masuk ke gereja, tidak harus
membawa kartu anggota!
Bagaimana dengan realitas kita? Kupikir tidak jauh-jauh juga.
Demikian pula ketika kita mengakses HP, mail, facebook, twitter, youtube atau
blog untuk kirim ucapan selamat natal pada teman, sodara atau orang-orang lain
yang kita kenal. Saya menyempitkan refleksi ini pada pertemanan di Facebook.
Mengucapkan selamat natal di Facebook itu baik, yaitu, meskipun kita saling
berjauhan, kita ingin hadir didekatnya dengan mengucapkan salam. Yang menjadi
pertanyaan, apakah yang menjadi dasar relasi dan persahabatan itu?
Sebuah pertemanan sejati menuntut sebuah perjumpaan secara
konkrit dalam suka dan duka, sebuah sejarah kehidupan yang dibagikan dalam
kehidupan offline dan sebuah empati
dalam mengenal orang lain sebagai bagian dari diri kita. Jangan-jangan kita
memiliki 5000 teman di Facebook, tapi dalam hidup sehari-hari kita lebih sering
sendiri dan tidak punya teman. Kita menyetujui pertemanan hanya untuk merasa
diri popular di Facebook dan tidak kenal secara personal orang tersebut! Kalau
tidak begini, nama dan foto yang ada di Facebook menjadi sebuah identitas
anonim belaka dan disinilah kita terjebak dalam mereduksi orang menjadi kartu
yang berjajaran di Facebook atau di wall kita. Inilah bahaya yang ada di balik
relasi instant di Facebook, mereduksi “teman-teman online” menjadi sebuah kartu semata.
Karakter pertemanan yang benar dan sehat di Facebook itu
berdasarkan sebuah perjumpaan yang konkrit ketika kita dalam dunia offline. Fungsinya pertemanan di
Facebook hendak melanggengkan dan makin memperdalam perjumpaan yang hangat yang
dialami ketika kita log out. Dengan
demikian, ucapan selamat natal tidak tereduksi menjadi sebuah ucapan selamat
pada orang-orang anonim dan impersonal dalam jejeran friends di Facebook kita.
Sudahkah hidup ini direduksi menjadi sebuah kartu identitas
seperti KTP, credit card, SIM, member
card dll? Jangan-jangan, Yesus yang
lahir pun akan kita reduksi menjadi sebuah kartu belaka. Kalaupun kita harus
mengidentifikasikannya, identitas apa yang akan kita berikan pada-Nya: bayi
laki-laki, anak Yosep dan Maria, lahir di gua di Betlehem dalam perjalanan
menuju kampungnya, saksi kelahirannya adalah kaum pinggiran (para gembala dan
domba-dombanya) dan jelas-jelas orang miskin! Kalau memang demikian, jelas dia
tidak akan sanggup memiliki banyak kartu seperti teman saya tadi. Nampaknya deskripsi
seperti ini terlalu miskin dan lahiriah belaka untuk menggambarkan si bayi itu.
Lha kalau kita mau melengkapi identitasnya lebih lanjut, tentu butuh waktu
untuk mengenal dia lebih baik dalam dunia offline
atau dengan kata lain, menyediakan sebuah palungan dalam hati kita agar Dia
lahir dan tinggal di dalamnya.
Inilah yang menjadi tantangan Christmas online di Facebook! Sejauh manakah pesan yang kita
sampaikan itu benar-benar sebuah ungkapan berkat dan rahmat bagi orang lain. Hati
yang damai menjadi tanda bahwa Allah itu hadir dan meraja di dalam hidup kita. Hati
yang peka, akan menangkap kedalaman kata dan pesan natal yang disampaikan oleh
orang lain kepadanya. Pembatinan pesan ini ke dalam sanubari merupakan sebuah
proses sebagaimana Sang Sabda hadir dan berinkarnasi, menjadi daging dan darah
di dalam tubuh kita. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa hidup kita pun
ditrasformasi olehNya melalui pembatinan Sabda dan melalui perjumpaan pribadi
dengan wajah Allah yang terpancar dalam diri orang lain, ketika kita log out dari berbagai macam rutinitas
dan kesibukan sehari-hari.
Yah… semoga blog ini, Facebook, twitter, email dan
sarana-sarana social network lain bisa membantu kita untuk melahirkan Yesus
(kembali) di dalam hati kita. Semoga perjumpaan dengan orang lain di dunia maya
ini mendorong kita untuk makin menghargai nilai dan makna sebuah perjumpaan
pribadi. Dan saya ucapkan Selamat natal pada saudara/i, semoga pandangan kita
bertemu di dalam tatapan Yesus yang meraja dari atas palungan.
alfonsus widhi
rembang, natal 2011