Hidup tua di jalanan.
Barangkali ini ungkapan pas untuk mendeskripsikan situasi kita di Jakarta.
Macet, macet dan macet lagi. Habis waktu di jalan dua atau tiga jam untuk
perjalanan dari rumah ke tempat kerja sudah menjadi biasa. Ini tentu melelahkan
dan memboroskan banyak hal.
Kompas sabtu, 19 mei
2012 (hal. 33) bicara tentang kerja virtual pada halaman kompas karier (ide
yang serupa sudah muncul 23 juli 2008, rapat virtual dan cara kerja modern).
Artikel ini mengusulkan sebuah metode berbeda
demi efisiensi dan efektivitas kerja, yaitu dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi. Bukankah sudah ada lap top, iPad, kekuatan broadband dan kemajuan
perangkat lunak untuk bekerja? Bukankah sudah ada web / video conference,
online document sharing, wikis dan aplikasi lain sebagai sarana untuk bekerja? Sarana
teknologi ini memungkinkan transfer kerja di kantor ke rumah.
Dengan motor-motor pencari di internet, kita
bisa bertanya banyak hal, menerima dan menyebarkan informasi bermacam-macam,
menjalin kontak, relasi dan membuat pertemuan dan bahkan mengagendakan sebuah rapat
serentak dari 5 benua dalam waktu yang sama. Sampai-sampai kitapun kebanjiran
informasi (bahkan yang tidak perlu) dan mengalami kesulitan untuk memilah-milah.
Dengan demikian diharapkan bahwa pekerja bisa mengatur waktu (membagi waktu
antara menggarap pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor, Hemat waktu, BBM, bisa
antar jemput anak ke sekolah, bisa hemat emosi karena kemacetan dst.), tidak
perlu pakai seragam (cukup pakai kaos oblong, lebih produktif?)
Tawaran ini cukup
menarik buat pekerja kantoran, mahasiswa maupun siapa saja yang dalam kehidupan
sehari-hari memerlukan media komunikasi sebagai sarana pokok untuk bekerja. Namun
masih tetap DIPERTANYAKAN dan PERLU PEMIKIRAN: Bukan hanya soal hasil yang
dicapai, tapi perlu «KEKUATAN PENGUKURAN KINERJA, jaminan pembinaan,
pengembangan sistem, pencanangan prioritas dan manajemen waktu dst»
(Rachman, E. - Savitri, S., «kerja virtual», Kompaskarier.com, p.
33).
Berhububung hari ini
adalah hari komunikasi sosial sedunia, marilah kita persempit refleksi kita dalam
SPIRITUALITAS DIGITAL: melihat pengalaman pribadi kita masing-masing
ditengah-tengah kehadiran teknologi, sebagai sebuah tempat untuk mengembangkan
hidup rohani. Paus Benediktus XVI menyodorkan sebuah tema untuk hari ini «parola-silenzio,
word-silence, sabda-keheningan».
Dalam menyampaikan
kata, ketika orang mulai berbagi informasi, menyampaikan pesan dan ide, dalam
waktu yang sama mereka sedang membagikan juga dirinya, pandangannya tentang
dunia, harapan dan impian mereka. Sikap diam
bagi mereka yang menerima informasi ini merupakan kesediaan hati untuk
percaya pada orang lain dan memberi kesempatan padanya untuk mengekspresikan
diri dan pendapatnya. Dengan demikian terbukalah ruang tanya jawab, dialog dan komunikasi
menjadi lebih manusiawi dan berkualitas. Maka bisa dikembangkan di sini relasi
pribadi yang hangat dan mendalam.
Dalam keheningan, kita
mendengar dan mengenal diri lebih baik. Sebuah pemikiran lahir dan diperdalam.
Kebahagiaan batin, kecemasan, penderitaan dan harapan pun berbicara dan
menemukan ekspresi amat tepat dan berbobot dalam ketiadaan kata-kata. Ketika
kita kebanjiran informasi (dari TV, radio, phone, internet) keheningan menjadi
tempat esensial untuk memilah-milah mana yang penting dan mendesak, mana yang
omong kosong dan tidak perlu. Dengan demikian diharapkan kita bisa
mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang esensial saja.
Bagaimana dengan
media komunikasi modern? Relasi dalam
dunia maya itu terbatas. Berkomunikasi lewat layar itu seperti menikmati nonton
wayang. Kita tidak melihat YANG REAL, melainkan BAYANGAN saja. Kita tidak
menangkap secara keseluruhan pribadi manusia yang ada di depan kita, melainkan
hanya bayangan, hanya sebagian saja dari seluruh kepribadiannya.
Di sini, kadang kita
terjebak dengan mereduksi kekayaan sebuah pertemuan tatap muka langsung dan
menyamakannya nilainya cukup dengan sms, dengan mail atau dengan chat. Padahal, kalau
memang dimungkinkan sebuah pertemuan ini, orang akan diperkaya dgn pertemuan
pribadi, tahu apa yang tersirat dibalik ungkapan sebuah kata. Dialog ini memberi
peluang orang untuk melihat diri dan membuka diri pada sebuah peziarahan batin.
KEHENINGAN pun
berbicara. Allah sendiri mewahyukan dirinya JUGA dalam keheningan. Dalam kisah
penciptaan manusia kedua (bdk. Kej 2,21), dalam keheningan setelah badai (bdk.
Mat 14,22-33), dalam kesunyian dan kegelapan di atas salib Kristus (bdk. Mat 27,45-54),
Allah berbicara lewat kebisuan, keheningan, tidak ada kata-kata. Jika Allah pun
berbicara dengan manusia lewat kebisuan, manusiapun bisa menyingkap bahwa dalam
ketiadaan kata-kata-pun, ada kemungkinan berbicara TENTANG Tuhan dan DENGAN Tuhan.
Kita masing-masing memerlukan keheningan itu, yang akan menuntun kita pada kontemplasi
dan akan mengantar kita masuk ke dalam keheningan Allah.
Semoga, dalam hiruk
pikuk keramaian media komunikasi yg kita miliki untuk hiburan, musik, film,
mencari berita, bekerja… kita pun bisa
menemukan sebuah ruang batin yang sejuk, yang menciptakan atmosfer doa,
refleksi, meditasi dan berbagi pengalaman iman.
Semoga, di dalam
keheningan, tanpa kata, kita bisa mengkomunikasikan diri kita dgn sesama dan
dgn Allah. Dgn demikian, semoga terpenuhi 3 permohonan Kristus dalam Injil hari ini (Yoh 17,11-19): 1) kita
pun bisa tetap tinggal bersama Allah, 2) membiarkan diri dijaga
oleh-Nya dari YANG JAHAT (menjadi anak-anak dunia ≈ hidup tanpa Allah yang maha
kasih dan tanpa kehidupan), 3)
agar kita dikuduskan (Edith stein: tanpa kehidupan
berahmat, tidak ada Gereja), KARENA Yesus meminta kepada Bapa, agar MENGUDUSKAN
anak-anakNyaya dalam Kebenaran, karena mereka dan kita mengemban tugas membawa
Sabda kepada dunia, seperti Yesus sendiri.
Bibliografi:
Benedict. PP XVI, «Silence
and Word: path of evangelization»
Rachman, E. - Savitri,
S., «Kerja virtual», Kompaskarier.com, 19 mei 2012, p. 33
N.n., «Rapat
virtual
dan cara kerja modern», Kompas 23 juli 2008
p. alfonsus widhi sx
wisma xaverian bintaro
Nessun commento:
Posta un commento