Pada hari minggu ketiga prapaska ini kita melihat bagaimana Allah
mengkomunikasikan diri lewat sepuluh perintah-Nya kepada Musa di atas sebuah
gunung, sebagaimana dilukiskan oleh tradisi dari kitab Keluaran.
Masihkah pewahyuan itu berkelanjutan hingga saat ini?
Pertama, kalau pada zaman Nabi Musa, perwahyuan ini
digambarkan amat dahsyat, bagaimana sekarang? Kita ingat bahkan dalam film the ten commandments, sang sutradara
memberikan efek-efek yang memberi kesan keagungan yang menggetarkan hati
nurani. Adakah penampakan yang ajaib ini terulang dengan fenomen luar biasa dan
menghebohkan atau, sarana yang dipergunakan oleh Allah akan turut juga berubah?
Kedua, komunikasi antara Allah dan manusia kiranya mulai
disadari bahwa relasi ini tidak menjadi privilegi bagi orang-orang tertentu,
bagi mereka yang tinggal di tempat tertentu atau bagi kelompok berstatus social
tertentu. Allah bebas dalam menyatakan diri-Nya kepada siapa saja dan dengan
berbagai macam sarana yang Dia kehendaki.
Pertanyaan saya: termasuk internet? Apakah Allah sudah
secanggih kita di zaman modern ini? Eh, barangkali pertanyaannya perlu
dikoreksi kali ya???
Memang di satu sisi, internet menawarkan sebuah model dan
bentuk baru berkomunikasi: jarak, waktu dan ruang menjadi relatif, pertemuan 5
orang dari lima benua bisa diadakan pada waktu yang bersamaan, orang bisa
bertindak dari jarak jauh tanpa dia sendiri harus hadir di tempat kejadian,
nilai fisik kepribadian manusia menjadi relative dan ini menawarkan sebuah
bahaya laten bagi para homo electricus: terjebak dalam internet dan tidak tahu
mau kemana. Jadinya, habis waktu berjam-jam hanya untuk melihat-lihat dan
memuaskan egoisme belaka.
Bagaimanakah kita menghubungkan antara yang real dan yang obyektif?
Apakah diantara keduanya ada perbedaan? Apakah yang kita temukan dan lihat di
internet itu selalu obyektif? Atau merupakan realitas konkret? Ah … kiranya ini
perlu satu pendalaman lagi di lain waktu. Lebih baik kita kembali ke pertanyaan
tentang kemungkinan perwahyuan dari Allah di dalam internet dan atau
kemungkinan Allah mengkomunikasikan dirinya lewat teknologi.
Kiranya tak perlu bersibuk ria melipatgandakan dan
menciptakan sebuah bentuk berelasi yang baru, meskipun teknologi yang
ditawarkan terus berkembang. Apalagi Apple baru saja meluncurkan produk iPad 3
bulan ini. Hal yang paling penting perlu disikapi adalah mengintegrasikan pesan
dalam konteks kebudayaan yang baru yang dibawa oleh arus komunikasi dunia
modern.
Pernah kita dengar homo sapiens, homo socialis, homo hominis
lupus ecc… kini muncul istilah Homo electricus yang menjadi karakter para
browser. Tapi rupanya, homo electricus kita di dalam dunia maya ini masih
terlalu rapuh, misalnya:
- Dia masih membutuhkan pusat perhatian dan menjadi pusat seluruh alam semesta atau semua orang di sekelilingnya.
- Dia masih juga mengklaim hak untuk mengetahui segalanya dan berhak untuk ber-ada.
- Dia haus untuk berkomunikasi, bertemu dengan orang lain dan didengarkan.
Kerapuhan ini menemukan tempat berekspresi dalam dunia internet?
Bisa jadi.
Internet menjadi sebuah medan pertempuran antara «aku ideal» dan «aku actual», sebuah lahan
dialog dan perdebatan antara kebenaran dan kebohongan, sebuah ruang relasi
humanis, sebuah kamar pertemuan antar budaya, tapi juga sekaligus sebuah sarana
penyalahgunaan! Siapa yang berpengaruh dalam menentukan keputusan apakah
internet akan menjadi sarana yang ampuh untuk pengembangan diri atau untuk
penyalahgunaan? Di sinilah letak pentingnya kedewasaan pribadi para browser.
Sebuah kedewasaan yang merupakan buah dari sebuah pendidikan di dalam keluarga,
di sekolah atau kampus, di tempat kerja dan di lingkungan dimana para browser
itu tinggal.
Dimana Gereja? Apakah Gereja sudah memanfaatkan sarana internet,
menolaknya atau bersikap menjadi penonton sebuah dunia yang sedang berubah,
yang sedang mencampuradukkan jaringan social virtual dengan jaringan yang real
dan mengedepankan pentingnya sebuah face to face?
Silahkan membaca ensiklik Redemptoris missio dari Paus Yohanes Paulus II, the Church and internet dan Ethics in internet yang diterbitkan oleh Pontifical Counsil for Social Comunications.
Disarikan dari: Grienti,
Vincenzo, Chiesa e Web 2.0. Pericoli e opportunità in rete,
Cantalupa, Effatà 2009, 95 pp.
p. alfonsus sx
Wisma xaverian, Bintaro. 8 maret 2012