Di dalam dan di luar ada di dalam dunia, namun tidak menjadi bagian dari dunia |
Bagaimana bisa menjelaskan misteri Tritunggal mahakudus kepada kita semua?
Sering
kali kita terjebak pada upaya untuk memahaminya dari sudut pandang teologis –
intelektual. Jebakan
itu ada pada kesombongan intelektual, yaitu merasa
memahami Trinitas kalau sudah ikut kursus atau studi. St. Thomas aquinas pun
mengalami hal yang sama. Ketika di pantai, dia melihat seorang anak kecil yang
berusaha memasukkan air samudera ke dalam lubang yang dibuat oleh jari
jemarinya. Dia menertawakannya: itu tidak mungkin. Hal yang sama juga dibuat oleh
anak itu: tidak mungkin menjelaskan semua tentang Allah dalam summa theologia yang dia tulis.
Santo Ambrosius mengatakan: tidak perlu bicara tentang Tritunggal.
Karena Serafim menampakkan diri ketika dia mau menampakkan diri. Nabi Yesaya
hanya mendengar suaranya (Yes 6,6). Nabi Elia ingin melihat, namun hanya
merasakannya dalam angin sepoi-sepoi. Allah hadir di tengah-tengah kita, namun
kita tidak memiliki indera untuk melihat kehadiran-Nya secara fisik. Berbahagialah yang murni hatinya, karena
mereka akan melihat Allah (Mt 5,8).
Untuk mengenal, memahami dan merasakan kehadiran Allah perlu sebuah
keharmonisan antara pengetahuan akal budi, kebijaksanaan hati (intelligenza del
cuore), dan kekuatan kehendak. Studi teologi, hukum dan ajaran gereja TANPA diimbangi oleh visio beatifica, hati yang rindu untuk
melihat wajah Allah dengan bertekuk lutut dalam doa (= BERTEOLOGI DENGAN LUTUT)
dan kehidupan nyata yang bercorak katolik, akan
lebih merusak kehidupan beriman dan menggereja dari pada membangun kesatuan
komunitas jemaat Allah. Akar permasalahan terletak pada beriman secara
teoretis, hanya sampai di kepala, dan tidak direnungkan dalam hati (seperti
Bunda Maria yang merenungkan segala perkara dalam hati –Lk 2,51) dan diwujudnyatakan
dalam kehidupan sehari-hari. Mari
kita mendekatkan diri pada misteri ini dengan sebuah trilogi: dari akal budi,
turun ke hati dan berbuah dalam relasi dengan sesama.
Paus Alexander III
yang bertahta dari tahun 1159-1181 menyatakan tidak perlunya hari raya khusus
Trinitas karena kita sudah memperingatinya setiap hari. Kita ingat:
- Pembabtisan dengan nama Trinitas (bukan salah satu atau salah dua dari komunitas).
- Gereja membuka dan menutup doa selalu dengan devosi kepada Allah Tritunggal
- Paus Damasus pada tahun 368 menyatakan bahwa pada setiap akhir mazmur ditutup dengan kemuliaan.
- Pada masa ini, setiap umat beriman menghidupi devosi setiap hari: pada hari senin, mereka berdoa untuk jiwa-jiwa di api penyucian, hari selasa devosi kepada malaikat pelindung, hari rabu kepada santo Yosep, hari kamis merupakan hari adorasi kepada Sakramen Maha Kudus, hari jumat mengenangkan sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, sabtu merupakan hari yang didedikasikan kepada Bunda Maria dan hari Minggu adalah hari yang khusus bagi Allah Tritunggal Maha Kudus atas segala rahmat yang dicurahkan dengan karya penciptaan dan penebusan-Nya yang terus menerus membaharui muka bumi.
Tetapi hal
ini rupanya tidak cukup bagi Paus Yohanes XXII (1316). Dia menetapkan satu hari
khusus untuk merayakan misteri Tritunggal maha kudus pada minggu pertama
setelah pentakosta. Alasannya:
- Agar kehidupan iman umat semakin diperkaya dan diberi nutrisi yang kokoh.
- Agar iman mereka terus menerus diperbarui oleh misteri paling dasar dari iman katolik.
- Untuk mengingatkan kepada seluruh dunia, bahwa segala bentuk praktek liturgi dan devosi tidak memiliki obyek pokok selain untuk kemuliaan Allah Tritunggal: sumber segala rahmat dan kebaikan sepanjang segala masa
- Dari sudut pandang pastoral, misteri pertama yang diwartakan oleh para rasul pada hari pentakosta adalah misteri Tritunggal maha kudus.
Komentar
St. Basilius tentang Tritunggal mahakudus (dengan beberapa catatan tambahan)
Jiwa yang mencintai Tuhan tidak pernah akan puas, tetapi sulit untuk
berbicara tentang Tuhan, roh kita nampaknya jauh dari seperti hal yang besar. Semakin kita bertumbuh dalam pengenalan akan
Tuhan, semakin kita merasa tidak berdaya, kecil dan begitu tidak pantas. Kisah
Abraham dan Musa, ketika mereka bisa melihat Allah, sejauh mungkin bagi
manusia, mereka merasa sebagai yang terkecil dari semua, Abraham menyebut
dirinya sebagai abu dan debu, dan Musa merasa tak sanggup
berkata-kata dan berbicara (Kej 18,27; Kel 4,11). Bahkan, dia menekankan
ketidakmampuan lidah untuk menjelaskan kebesaran Allah. Kita berbicara tentang
Tuhan, bukan tentang apa dia dan bagaimana satu dan tiga itu dijelaskan,
melainkan bagaimana kita bisa memahami sejauh Dia menyatakan diri-Nya kepada
kita.
Demikian
juga kamu, jika kamu ingin mengatakan atau mendengar sesuatu dari Allah,
biarkanlah dirimu didamaikan dengan-Nya, angkatlah jiwamu melampaui segala
ciptaan, kontemplasikanlah la natura
divina hal-hal surgawi. Diperlukan sebuah kebijaksanaan rohani, bukan hanya
kecerdasan duniawi untuk memahami hal-hal yang bersifat ilahi.
Di sanalah
engkau akan menemukan sifat ilahi yang ada, yang kekal, tidak berubah, cahaya
yang tidak dapat didekati, keindahan yang tiada bandingnya yang merasuk jiwa,
tetapi itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata yang memadai.
Di
sinilah berada Bapa, Putera dan Roh Kudus. Allah Bapa adalah prinsip dari segala
sesuatu, penyebab dari segala ciptaan dan akar dari segala hidup. Dari dialah
mengalir segala Sumber Kehidupan, Kebijaksanaan, Kekuatan. Dialah ikon sempurna
dari Allah yang tidak kelihatan. Sang Putera, berasal dari Bapa, adalah Firman
yang hidup, adalah Allah, dan berada bersama Bapa (1 Kor 1,24; Ibr 1,3; Yoh 1,1).
Dari sini kita memahami bahwa Sang Putera, berbagi sifat yang sama, tidak
diciptakan oleh sebuah perintah, bersatu dengan Bapa dari kekekalan, setara
dengan Dia dalam kebaikan, sama berkuasa, dan serupa dalam kemuliaan.
Dan
ketika akal budi kita telah dimurnikan dari nafsu atau kelekatan-kelekatan duniawi,
seperti seekor ikan yang muncul dari kedalaman ke permukaan, jiwa kita akan kembali
kepada kemurniannya sama seperti pada penciptaan: manusia diciptakan secitra
dengan rupa Allah. Di sinilah jiwa kita akan melihat dan merasakan kehadiran Roh
Kudus di mana Sang Putera berada bersama Allah Bapa. Roh Kudus pun memiliki segala keutamaan,
kekudusan dan kehidupan serupa dengan Allah Bapa dan Putera.
Bagaimana
kita
menemukan cinta kasih Tritunggal Mahakudus di dalam pengalaman salib?
Di dalam salib, cinta kasih Tritunggal Mahakudus dinyatakan kepada
umat manusia dimana Allah bapa memberikan Putra tunggal-Nya yang terkasih, dan
Sang Putera menerimanya dalam Roh untuk menyatakan cinta kasih Bapa hingga
kematian di salib. Roh Kudus itu pulalah yang menuntun Sang Putera hingga pada
ketaatan total kepada Bapa, meski manusia menunjukkan realitas kedosaannya yang
dahsyat.
Dengan demikian, di atas kayu salib:
- Tidak hanya ada Yesus sendirian yang merendahkan diri, sampai wafat di kayu salib (Fil 2,8)
- Hadir juga Allah Bpa yang memberikan Putera tunggalnya yang terkasih untuk kita semua (Rm 8,32)
- Ada juga Roh Kudus, melalui Yesus yang menyerahkan dirinya (Ibr 9,14)
Aspek
dramatis dalam teologi salib:
- Dosa dan kematian tidak memecah relasi cinta kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera
- Salib membuat ita paham bahwa kesatuan cinta kasih antara Bapa dan Putera tetap hadir, meski dalam situasi negatif dan kegelapan.
- Dengan demikian, identitas Tritunggal mahakudus adalah relasional, karena relasi timbal balik itulah yang mengikat mereka dalam sebuah kesatuan kekal.
Sebagai penutup, saya ingin mengambil kutipan dari Ricardo san Vittore melukiskan bahwa
Allah Bapa itu adalah «yang mengasihi», Allah Putera adalah «yang dikasihi» dan
Allah Roh Kudus adalah yang mengasihi dan dikasihi dari dan oleh keduanya.
Selamat mendalami perayaan hari raya Tritunggal mahakudus.
Bintaro, 2012
alfonsus widhi sx
Nessun commento:
Posta un commento