Malam Paskah di Stasi Kota Batak Peroki St. Paulus Labuh Baru Pekanbaru |
Mengucapkan “selamat
paskah” merupakan sebuah tanda penghargaan iman yang sangat besar. Kepada mereka
yang kita beri salam, ini bukanlah sekedar formalitas, bukan sekedar tanda pengakuan,
bukan saja soal toleransi umat beragama, melainkan sebuah pengharapan. Begitu besarnya
pengharapan yang dimiliki oleh Gereja, maka perayaan paskah pun diperpanjang
hingga saat pentakosta. Kita ingat bahwa dalam masa ini, Gereja menunjukkan
kepada kita berbagai pengalaman para murid yang memperoleh perjumpaan dengan
Yesus Tuhan setelah kematian di kayu salib, dalam berbagai macam situasi hidup
sehari-hari.
Ada pengharapan apa di
balik perayaan yang cukup panjang ini? Mari kita singkap makna ucapan paskah
yang kita berikan kepada saudara/I kita yang merayakannya. Paskah berarti Tuhan
lewat. Ada pengalaman puncak misteri inkarnasi Allah yang menjadi
manusia dan tinggal di tengah-tengah kita. Dia lahir dalam kemiskinan di
Betlehem dan Dia mati dalam kemiskinan di atas kayu salib. Namun kisah
hidup-Nya tidak ditutup dengan kematian dan makam, melainkan dengan kebangkitan-Nya
dan tindak lanjut karya-karya yang dibuat sepanjang hidup-Nya melalui
karya-karya keselamatan yang diteruskan oleh para murid-Nya. Dan diantara
mereka, adalah nama kita masing-masing.
Maka, mengucapkan
selamat paskah berarti menyampaikan selamat dan pengharapan bahwa orang yang
kita salam itu memiliki iman seperti Yesus: tidak takut akan pengalaman
kematian. Ini disebabkan karena derita dan kematian adalah
pintu menuju kepada Allah. Ini adalah dampak atau konsekwensi dari komitmen
kita untuk menjadi pelayan-pelayan Kerajaan Allah dalam panggilan dan tugas
yang sedang kita hadapi sekarang ini. Meskipun dampak dari kematian itu indah, dan
kita pun akan menyambutnya dalam kebahagiaan karena akan berjumpa dengan
kerinduan kita, namun kehidupan adalah milik Tuhan dan bukan di tangan kita
untuk memutuskan kapan saya harus mati. Saya yakin bahwa masih banyak hal harus
kita perbuat untuk menunjukkan komitmen kita pada panggilan yang sedang kita
jalankan.
Lalu, apakah paskah itu
memiliki karakter misioner?
Saya misionaris dan di sini saya tegaskan,
pengalaman paskah adalah pengalaman dasar untuk bertindak misioner. Dalam paska,
orang mengalami Tuhan. Mengenal Yesus dengan sungguh-sungguh akan membuat kita
mengalami krisis eksistensial. Semua tatanan nilai yang kita miliki bisa
dijungkirbalikkan-Nya. Semua rencana yang sudah kita matangkan, bisa
dirombak-Nya. Mengapa? Karena perjumpaan tulus dan jujur dengan Yesus, akan
menyeret kita untuk merasakan dengan hati, berpikir dengan akal budi dan
bertindak sekuat tenaga sebagaimana yang Yesus pernah lakukan. Dia akan menjadi
model dan inspirasi hidup kita. Yang lainnya adalah sampah! Pengalaman dasar perjumpaan
dengan Yesus inilah yang membakar tiap orang untuk berani pergi dan berkarya,
apapun resikonya, tidak akan pernah mundur!
Saudara/I boleh bertanya pada saya, darimana
kamu tahu semua itu? Jawaban saya sederhana, karena saya pernah mengalami
berjumpa dengan Yesus dalam hidup saya. Dan saya yakin, saudara pun pernah
berjumpa dengan Dia di masa lalu. Mungkin terlambat disadari, tapi pengalaman
itu ada dan terus kembali. Kalau kita memilikinya, di depan kita ada jalan tol.
Berbagai perencanaan hidup ditambah dengan komitmen yang kita miliki, akan
menghasilkan banyak buah.
Namun, apakah ada jaminan bahwa kita akan tetap
berpegang pada komitmen paska kita? Godaan yang dialami Petrus adalah
godaan kita: ketika Petrus menyangkal Yesus tiga kali, dia ditertawakan ayam
jago. Ketika Petrus mau lari dari realitas, dia diteriaki oleh murid yang dikasihi
Yesus dengan mengatakan: “Itu Tuhan”. Nostalgia adalah nostalgia, adalah masa
lalu, menjadi berharga kalau dimaknai, menjadi tidak bermakna, kalaudigunakan
sebagai pelarian dari realitas, dari kesulitan yang sedang kita hadapi saat
ini. Pengalaman dasar saat Allah pertama kali memanggil saya ke tempat ini,
atau saat Dia memanggil saya untuk jalan hidup sekarang ini, adalah sebuah musim
semi kehidupan. Pengalaman itu selalu indah dan memberi inspirasi, memberi
semangat dan memberi patokan orientasi tentang modal jatidiri atau model
kehidupan apa yang ingin saya realisasikan saat ini.
Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa untuk
menyeberang dari kapal ke tepi pantai, Petrus perlu berpakaian, meski
itu percuma, toh basah lagi! Laut kerap diidentikkan dengan kematian. Tepi laut
adalah batas dari kematian. Petrus yang berenang dari kapal ke pantai,
merupakan sebuah simbol dari orang yang bergerak dari kematian hidup menuju
kepada kehidupan yang sejati, yakni Yesus Kristus. Dimana kematian itu
berakhir, di situ ada Yesus Kristus. Maka tidak mengherankan bila Petrus perlu
mengenakan yang terbaik untuk berjumpa dengan seseorang yang telah merubah
hidupnya secara radikal, untuk berjumpa dengan masa lalu yang penuh ketidakkonsistenan
dalam hidup, penuh ingkar janji pada relasi dan tidak berkomitmen pada keputusan
untuk mengikuti Yesus.
Ekaristi adalah saat-saat
Petrus berjumpa dengan kerahiman Allah. Bila kita ingin menjadi saksi
kebangkitan, kita lah yang harus mengalami kerahiman Allah terlebih dahulu. Tidak
bisa kita memberikan sesuatu kepada orang lain, bila kita sendiri tidak punya
apa-apa untuk diberikan. Maka ucapan selamat paskah bisa merupakan ungkapan
kebahagiaan perjumpaan pribadi kita dengan Kristus, sekaligus merupakan sebuah
pengharapan, agar Yesus Kristus makin dihidupi dan berbuah dalam diri orang
yang kepadanya kita memberi salam.
Semoga, Kualitas Allah yang
saya jumpai dalam doa, makin berbuah dalam kehidupan kita semua setiap hari.
Rm. Alfonsus Widhi, sx
Wisma Xaverian, Cempaka Putih Raya
Nessun commento:
Posta un commento