Sebuah perkampungan di Thailand |
Barangkali inilah yang menjadi alasan mengapa
ada system kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Sebuah system yang
mengatur kebijakan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan
tidak baik untuk dilakukan. Kehendak untuk berbagi kerap mengiringi sebuah
system kehidupan bersama. Dalam sebuah tatanan yang sehat, tema pokok yang
kerap dibagikan berkaitan dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dengan
merujuk pada ketiga aspek ini, maka beberapa orang berkumpul bersama dan
berupaya menjaga dinamika kestabilan kehidupan mereka.
Tidak jarang pula ditemui di sekitar kita
sebuah tatanan yang berpikir autarki, karena mengandaikan bahwa masing-masing
orang memiliki permasalahannya sendiri-sendiri, masing-masing sanggup memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan berbagai kemajuan
teknologi saat ini, pola pikir demikian bisa makin disuburkan dan bisa juga
makin dimiskinkan.
Ketika manusia sudah menemukan daerah nyaman di
jejak kehidupannya karena memiliki rumah beserta dengan segala isinya tempatnya
berlindung, pekerjaan sebagai sarana mengaktualisasikan diri, status sosial
sebagai jalan untuk menempatkan diri dalam tatanan masyarakat dan harta yang
menjadi bukti kesuksesan hidupnya, bisa jadi manusia seperti terbentuk menjadi
individu autarkis. Segala sesuatu tercukupi, untuk apa bersosialisasi?
Ketika manusia ini menyadari bahwa segala
talentanya harus dibagi dan segala kerapuhannya itu harus ditopang oleh orang
lain, manusia yang lain bisa berharap bahwa mereka yang kerap nyaman dengan
dirinya dan seolah-olah tidak membutuhkan orang lain pun mau melangkah keluar
dari pagar, menyapa dan berbagi kehidupan. Sebelumnya sih sudah ada, tetapi
karena dunia cukup diri yang dibangunnya, maka yang ada di sekitar itu terbendung
sehingga tidak masuk dalam kesadaran jatidirinya.
Padahal, untuk memenuhi kebutuhan survival dan
realisasi diri, tak ada manusia yang bisa melakukan segala-galanya sendiri.
Ketika dia lahir, dia membutuhkan bantuan orang lain untuk keluar dari rahim
ibunya; dan ketika dia meninggal, dia pun membutuhkan bantuan sesamanya untuk
bisa dimasukkan ke rahim ibu pertiwi. Manusia selalu membutuhkan orang lain,
termasuk dalam berbagi penderitaan. Maka, konsep individu selalu mengandaikan
pengakuan dari orang lain.
Perkumpulan individu-individu dalam membentuk
sebuah komunitas, sebuah kampoeng maupun dalam lingkup lebih luas yaitu sebuah
tatanan hidup bernegara, hendak menggarisbawahi bahwa manusia tidak mampu
mencukupi dirinya sendiri. Adanya negara itulah yang merupakan legitimasi dari
situasi konkrit kehidupan manusia.
Perekat relasi di dalam komunitas kampoeng
maupun bernegara bisa berupa keserupaan dalam mengejar kebenaran sejati, kebaikan
yang tulus dan keindahan yang
memikat. Tentu saja untuk mencapai kesepahaman dalam ketiga agenda ini, tidak
mudah mempersatukan kemajemukan yang menyusun sebuah tatanan. Aristoteles berpendapat bahwa rumah
lebih autarkis daripada manusia. Negara lebih autarkis daripada rumah dan hal
ini terjadi ketika individu-individu menjadi autarki; merasa cukup diri secara
ekonomi dan mandiri bisa mengatur dirinya sendiri. Bukankah manusia menurut
kodratnya adalah mahluk yang membentuk negara? Jika tidak, maka menurut
Aristoteles, dia adalah seorang dewa yang dengan kemahakuasaannya tidak
membutuhkan orang lain atau orang liar di luar konsorsium manusiawi. Maka
negara menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan karena faktor penyusunnya
sangat beragam.
Majemuk berarti terdiri dari banyak orang dan
berbeda-beda. Tidak ada kesamaan yang tidak memiliki perbedaan sedikitpun.
Maka, negara tidak dapat terdiri dari orang-orang yang sama sekali dan mutlak
sama. Berbeda itu sebuah realitas. Keberbedaan, saling membutuhkan dan non
autarkis ini memerlukan komunikasi untuk saling menyatakan diri atau
merealisasikan diri. Tidak mungkin satu perbedaan menihilkan perbedaan yang
lain dan memaksakan diri untuk menjadi model tunggal yang harus ditiru oleh
yang lain. Bagaimana mungkin sebuah gaya hidup di Indonesia harus diterapkan dengan
cara yang sama di Eropa, bahan makanan di pantai harus diterapkan sebagai model
tunggal makanan yang sehat dan bergizi di pegunungan, atau system pemerintahan di
Jawa diterapkan sebagai model pemerintahan paling baik di dunia dan harus
diterapkan bagi semua Negara sebagai model terbaik memerintah sebuah tatanan social?
Tidak mungkin! Maka, komunikasi antar zoon politikon, mahluk politiknya filsuf
Aristoteles, dipahami sebagai proses penyingkapan individu-individu yang
berbeda-beda.
Sebuah contoh: dalam tradisi kehidupan
monastik, seorang pemimpin rahib dipilih bukan berdasarkan pada talentanya,
hartanya, ototnya atau kemurahan hatinya, tetapi karena karisma yang
dimilikinya atau karena penempatan oleh pimpinan yang lebih tinggi. Konsep
partisipasi setiap rahib dalam menentukan pemimpin inilah yang menjadi dasar
demokrasi. Dalam hal ini, model serangan fajar, kampanye hitam dan tipu daya
memiliki ruang gerak kecil sekali karena setiap anggota biara memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Meskipun setiap rahib memiliki keberbedaan, namun semuanya
sama kedudukannya di hadapan Allah, di dalam hukum dan tatanan hidup membiara.
Dalam proses politik, keanekaragaman dan
keberbedaan ini disatukan dalam konsep warga negara. Jika politik dipahami
sebagai komunikasi, maka politik adalah partisipasi warga negara / publik dalam
pengambilan putusan-putusan publik. Maka, dalam pengambilan keputusan publik,
masing-masing warga negara memiliki hak dan partisipasi yang sama di dalamnya.
Kalau masyarakat hendak menerima pluralitas,
ini mengandaikan bahwa masyarakat adalah individu yang tidak cukup diri
(dimensi anthropos) dan komunikasi mengandaikan pluralitas (dimensi
sosiologis). Menurut Aristoteles,
kehidupan sosial politik adalah tanda bahwa manusia tidak bisa sendiri. Kant menambahkan, bahwa dalam keadaan
bersama orang lain, manusia cenderung menarik diri. Ada tegangan antar individu
dan komunitas, karena tanda kedewasaan dalam berkomunitas adalah tahu batas.
Semoga, dengan menimba semangat dari ekaristi
yang kita sambut setiap hari minggu, kita makin menyadari identitas kita
sebagai warga negara, yang dalam kemajemukan jatidiri kita itu menyusun sebuah
tatanan masyarakat dalam kemajemukannya.
P. Alfonsus Widhi, sx
Nessun commento:
Posta un commento