Bangga dengan Yesus! Foto: M. Frasinetti |
Suatu sore, sambil memangku si Conforti kecil
dalam pangkuannya, ibu Antonia menunjukkan kepadanya sebuah salib. Sambil
memegang jari jemari Guido, si ibu menuntunnya untuk menyentuh bekas-bekas luka
pada paku di Salib sambil berkata: «lihatlah, betapa Allah bersengsara untuk
kita».[1]
Kesan pertama yang baik adalah sebuah titik pijak
yang kokoh untuk terus maju. Inilah saat pertemuan privat antara tatapan mata
si Conforti kecil dengan Yesus yang memandang dari salib. Ini adalah sebuah
peristiwa sederhana yang terjadi pada diri semua orang. Peristiwa ini bisa
terbang bersama dengan angin yang berlari bersama dengan waktu. Namun, tatapan
mata dari kayu salib pada sore hari itu membekas di hati si Conforti kecil,
merongrongnya dan mendesak dia sepanjang hidup untuk selalu berangkat dari Yang
Tersalib.
Inilah peristiwa “pertobatan” si Guido, sebuah
peristiwa yang menjadi karakter dari semua orang beriman. Disebut pertobatan
karena ada dua unsur penting di dalamnya. Pertama, karena ada rahmat Allah yang
berkarya dan kedua, ada sebuah gejala iman yang mentransformasi dinamika
kehidupan pribadi dan yang mempengaruhi cara si Conforti kecil untuk berada,
berpikir, bertindak dan berelasi di dalam sejarah.
Gejala iman itu bisa berupa sebuah kematian dari
beberapa aspek negatif atau egoisme yang manusia miliki. Pertemuan dengan Yang
Tersalib membantunya untuk keluar dari kematian ini dan melihat wajah Kristus
terpancar dalam wajah setiap orang yang dia temui. Maka, bisa dikatakan bahwa
tidak ada seorang katolik tanpa sebuah pengalaman bersama dengan dan di dalam
Salib. Pilihan mengikuti jejak Kristus tidak pernah berhenti pada saat
pembabtisan. Itulah sebabnya, di setiap jenjang kehidupan manusia, selalu ada
saat “kematian” dan “pertobatan” yang harus dirayakan.
Pada musim gugur di tahun 1872, si Conforti kecil
pindah dari Casalora ke kota Parma yang berjarak sekitar 13 kilometer. Di kota
ini dia memasuki jenjang sekolah dasar di Institut La Salle, dekat di rumah
keluarga Maini di jl. Borgo Torto, n° 8. Selama lima tahun tinggal di keluarga
ini, si Conforti kecil yang baru berusia delapan tahun belajar hidup sebagai
seorang katolik dengan kesederhanaan yang menjadi karakternya. Hidup terpisah
dari orang tuanya memberikan waktu kepadanya untuk mengenang saat-saat indah
bersama dengan keluarga dan mengingat bagaimana ibunya mengajarinya berdoa.
Pertemuan dengan Yesus yang tersalib di dalam
sebuah oratorio yang selalu dia lewati setiap pagi menuju ke sekolah
membangunkan kembali kenangan, ketika dia mengenal-Nya dari ibunya. Maka,
pertemuan dengan salib Kristus yang besar, amat indah, amat hidup dan sangat
menarik perhatian di oratorio tersebut, memanggil kembali kenangan hati masa
kecilnya dahulu: “lihatlah, betapa Allah bersengsara untuk kita”.
Kegembiraan bertemu dengan iman yang dimiliki oleh
ibunya menuntunnya untuk berlutut dan hening sejenak di depan Kristus yang
Tersalib. Keindahan itu tertuang ketika dia menulis “aku memandang Dia dan Dia
memandang aku. Seolah-olah, Dia mengatakan banyak hal kepadaku”.[2]
Dengan kesaksian ini, Santo Conforti kecil
menunjukkan keindahan pertemuan iman dengan Kristus yang Tersalib, sebuah
pertemuan yang dipenuhi dengan persahabatan dimana di dalamnya dia
berkomunikasi dan mendengar Yang Tersalib. Ketika tatapan-Nya yang memikat
melayang ke atas bumi dan tertumpu kepada dia yang berlutut di hadapan-Nya, Dia
melepaskan dahaga jiwa yang haus dan yang terus mencari-Nya. Tatapan tajam
matanya mengungkapkan keindahan dan kebesaran cinta kasih Allah kepada kita
semua melalui penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Melalui kesederhanaan
ini, terbukalah sebuah cakrawala peziarahan iman yang akan memperkaya dan
menopang Guido Conforti sebagai bapak para misionaris dan uskup bagi kota
Ravenna dan Parma.
P. Alfonsus Widhi sx
Postulat Xaverian di Bintaro
Nessun commento:
Posta un commento